esportsnesiaAvatar border
TS
esportsnesia
Apakah Kita Butuh Kompetisi Esports Khusus Perempuan?


Apakah kita butuh kompetisi esports khusus perempuan? via Glood Luck Have Fun


Pembahasan isu kesetaraan gender di dunia ini masihlah jauh dari selesai. Isu tentang pemisahan kategori laki-laki dan perempuan sudah menjadi isu yang mendarah daging dalam suatu kompetisi, terutama pada turnamen olahraga tradisional.

Banyak yang berpendapat bahwa pemisahan kategori di olahraga tradisional tidak berlandaskan isu kesetaraan gender. Perempuan dan laki-laki memiliki karakteristik biologis yang berbeda sehingga tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori yang sama. Pembagian kategori berdasarkan jenis kelamin sama saja dengan pembagian kategori berdasarkan berat badan pemain. Keduanya dilakukan demi menciptakan kompetisi yang adil.


Keadilan gender via Firebrand Talent


Akan tetapi, kompetisi dalam esports ‘hanya’ mengandalkan kemampuan, ketepatan, kecepatan, serta kerjasama tim. Tidak ada batasan biologis untuk membangun skill tersebut karena perempuan dan laki-laki memiliki kapasitas yang sama dalam hal kemampuan kognitif. Beberapa turnamen besar esports bahkan tidak melarang perempuan untuk berkompetisi di ranah mereka.

Lalu, mengapa tetap ada pertandingan khusus perempuan di esports?

Walaupun perempuan tidak memiliki hambatan biologis, namun perempuan tetap memiliki hambatan budaya patriakal yang secara turun temurun membayanginya di setiap pilihan kehidupan yang ia jalani.

Sebenarnya, stigma terhadap gamer secara umum juga belum bernilai positif. Masih banyak orang-orang yang menyepelekan profesi sebagai gamer karena game itu sendiri sering dianggap sebagai kegiatan tidak produktif yang hanya digunakan untuk bersenang-senang dan sekedar pengisi waktu senggang.

Namun perempuan menghadapi stigma yang berlipat ganda. Bukan hanya stigma sebagai gamer tapi juga sebagai perempuan.

Hambatan terbesar gamer perempuan untuk bisa berada di kompetisi yang sama dengan laki-laki adalah stigma sebagai perempuan yang menempel di pundaknya. Stigma bahwa perempuan tidak mampu bermain di ranah yang sama dengan laki-laki, tidak hanya datang dari orang lain namun dari diri perempuan itu sendiri.


via Pexels


Contoh perlakuan seksis di dalam komunitas esports yang kerap dianggap sebagai hal yang biasa; adalah pada tingkat kewajaran yang ditoleril ketika gamer laki-laki mengorbankan waktu tidur, mandi, bahkan makannya untuk melatih kemampuan bermain mereka.

Namun bila gamer perempuan melakukan hal yang sama, maka yang mereka korbankan bukan hanya waktu tidur, mandi dan makan, tetapi juga nilai keperempuanannya berdasarkan nilai gender yang normatif atas dasar patriarki. Tak sedikit gamer perempuan yang dicemooh karena terlalu sering bermain dengan laki-laki dan tidak bertingkah layaknya perempuan pada umumnya.

Belum lagi kata-kata “bermain seperti perempuan” yang sering dilontarkan kepada gamer yang memiliki performa bermain yang buruk, seolah-olah menggunakan kata “perempuan” sebagai ungkapan merendahkan adalah hal yang biasa.

Pada akhirnya, tidak sedikit perempuan yang merasa bahwa mereka pantas diperlakukan sebagai makhluk lemah. Bahwa, jika kemampuan bermain mereka lebih rendah dari laki-laki itu adalah wajar, karena toh mereka hanyalah perempuan.

Fenomena ini akan berlanjut hingga gamer perempuan merasa normal dan pantas jika ditempatkan di kompetisi khusus perempuan dan diberi hadiah yang jauh lebih kecil dibandingkan hadiah turnamen esports pada umumnya.

Apakah kita memerlukan kompetisi khusus perempuan di esports?

Kompetisi khusus perempuan bukanlah sebuah solusi tepat untuk mengakhiri stigma terhadap gamer perempuan. Kompetisi khusus perempuan biasanya hanya dipandang sebagai ajang pelengkap untuk memeriahkan pertandingan esports.

Hal tersebut justru membuktikan bahwa gamer perempuan tidak mampu bertanding bersama gamer laki-laki. Kompetisi khusus perempuan justru menonjolkan diskriminasi gender yang seharusnya dihilangkan.

Jika saat ini perempuan dianggap belum mampu berkompetisi di ranah turnamen berskala premier atau major, toh masih ada turnamen tingkat amatir yang tidak dibatasi oleh gender. Membiasakan diri untuk berkompetisi dengan laki-laki dan bahkan bisa menang tentunya akan memberi citra positif terhadap gamer perempuan. Tidak ada lagi alasan untuk menyepelekan eksistensi gamer perempuan dan tentunya tidak ada lagi suara-suara bernada seksis yang membatasi gamer perempuan dalam mengembangkan kemampuannya sebagai seorang atlet esports.


Sasha “Scarlett” Hostyn via Supreme Tech News


Salah satu atlet perempuan StarCraft II yang mampu mengikuti turnamen major dan premier, dan berhasil memenangkan beberapa di antaranya, adalah Sasha “Scarlett” Hostyn.

Apa yang harus dilakukan gamer perempuan untuk tetap berprestasi?

Dalam lingkungan yang masih patriarkal, tidak heran jika terkadang masih ada perempuan yang merasa nilai dirinya bergantung dari opini laki-laki terhadap dirinya.

Well, setiap perempuan tidak perlu menjadi seorang feminis untuk dapat membebaskan diri dari jeratan patriarkal yang memandang dirinya sebagai “hanya seorang perempuan”. Mereka hanya perlu menyadari bahwa mereka bukanlah sekedar pelengkap laki-laki.

Melakukan reformasi besar-besaran dalam mengubah pemikiran patriarkal yang diwarisi dari nenek moyang bukanlah hal yang mudah, walaupun bukan juga hal yang tidak mungkin.

Namun langkah paling efektif untuk membebaskan diri dari jeratan budaya patriarki adalah berhenti berpikir bahwa kamu hanyalah perempuan. Stigma perempuan terhadap peran gendernya sendiri memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kemajuan karirnya.

Seperti pesan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudji Astuti dalam memperingati Hari Perempuan Internasional, “… Jangan berpikir apa yang bisa aku lakukan sebagai perempuan, pikirkan apa yang bisa aku lakukan sebagai individu untuk dapat berkontribusi kepada masyarakat ….“ Pesan tersebut tentunya berlaku kepada semua perempuan, baik yang berkarir maupun yang berperan sebagai ibu rumah tangga.

Ketika atlet perempuan berhenti melihat keberadaan dirinya dalam komunitas esports sebagai pelengkap atau pemenuh demand laki-laki, dan mulai memfokuskan diri dalam mengembangkan kemampuan berkompetisi sebagai atlet esports, bukan sebagai atlet perempuan; maka persepsi gender terhadap dirinya pun secara perlahan akan berubah. Pada akhirnya, kicauan-kicauan bernada seksisme yang kerap membuntuti mereka dapat dieliminasi melalui prestasi dan penghargaan yang dicapai.

Sumber : esportsnesia.com
0
4.8K
58
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan