a112adityaAvatar border
TS
a112aditya
[SFTH CHALLENGE] 24 Hours


Sekali lagi kesempatan mengembangkan tulisan dari forum tercinta kita ini. Ditambah tantangan lain dari kolega penulis lainnya, dengan tidak melupakan ciri khas dan gaya penulisan sendiri.
~•Selamat menikmati•~

24 HOURS

3

2

1

Begin




Spoiler for Opening Song:


"Kebencian... Selalu saja kebencian yang sama yang menuntun kita pada akhir yang memilukan ini."


Pukul 21.00

Hildan terpeluh, terluka, bertaruh dengan batas kewarasannya di puncak nestapa yang dengan berat hati ia daki. Hanya karena menuruti kegilaan yang bersemayam di sudut gelap bawah sadarnya. Cahaya satu-satunya yang menerangi, seirama arah pandangannya, menyisir kabut tipis yang sekilas menampakkan siluet Iris dan hilang seketika bersama kedipan mata.

"Sial kau, Iris... Mau berapa banyak lagi?"

Pukul 17.00

"Tidak adil jika hanya menyalahkan ku! Bukankah sudah ku katakan dari awal. Ini tidaklah mudah."

Iris kembali mendramatisir. Hanya karena tatapan Flo seolah tampak menghakimi. Padahal dia hanya berharap belas kasih. Yang mereka lalui memang mengikis ketahanan tubuh. Risty saja sampai bertumpu lemas pada Hildan dan Gege.

"Iris... Sudahlah. Jangan berlebihan."jelas Hildan menenangkan.

"Kalau saja bukan karenanya, Hildan tidak akan berbicara seperti itu pada ku."rapal Iris berbisik.

Sudah 5 jam mereka berjalan dari pemukiman tempat mereka menitipkan mobil, barulah tampak kabin peninggalan mendiang orang tua Iris. Kabin di dasar lembah yang dihiasi pepohonan pinus dan sebuah danau cermin. Perbukitan yang mengelilingi membuat tempat itu terisolasi.

"Is it acceptable yet?"

Pukul 08.30

Segaris cahaya mentari mengintip di sela tirai jendela kamar. Hildan terbangun. Tapi bekas pukulan di tengkuk memintanya kembali tertunduk, berlutut pasrah meresapi nyeri yang terasa kembang kempis.

Dia tersadar tempatnya terbangun berbeda dari kamarnya.Detil yang ada sempat menggelitik keingintahuan Hildan. Tapi begitu ia mengintip keluar jendela, matanya terbelalak. Ada seseorang tergeletak tanpa busana di pinggir danau. Di saat ia mencoba bergegas, saat itu juga ia sadar sedang terkunci.

"A... Apa-apaan ini?!! Iris!!! GG!!! Siapa pun!!! Buka pintunya!!!"teriak Hildan.

Perasaannya meyakinkan bahwa ada sesuatu yang bisa membantunya keluar dari situasi yang tak bersahabat itu. Ranjang, lemari, meja kerja, tak luput dari penelusurannya. Hingga ia melihat lubang kecil di lantai kayu dekat salah satu kaki meja. Ketika diketuk pun bunyinya terdegar berbeda.

Hildan kembali memeriksa tempat alat tulis. Aneh melihat sebuah sumpit di sana, Hildan langsung mengambil dan memasukannya ke dalam lubang. KLIK! Sebuah suara terdengar dan sebagian lantai kayu di sekitar lubang itu sedikit terangkat. Terdapat sebuah tuas di dalamnya.

Hildan memutarnya. Sebuah suara decit terdengar di dalam lemari. Untuk kedua kali Hildan memeriksa lemari itu. Bagian dalamnya terbuka. Ia tidak menyangka lemari itu terhubung dengan lorong di dekat tangga lipat. Tapi yang membuatnya terkejut adalah coretan darah di hadapannya.

JANGAN MENGACAU 24 JAM INI


Pukul 18.00 - 22.00

"Penjaga selalu datang sebulan sekali untuk membersihkannya. Seminggu yang lalu ia mempersiapkan semuanya untuk kita."jelas Iris sebelumnya ketika Flo dan Risty terkejut betapa terawatnya kabin tua itu saat berkeliling.

"Aku harus punya satu yang seperti ini. Just in case..."ucap Gege.

Menjelang senja, Iris mulai menyiapkan makan malam. Namun dia terganggu dengan potongan daging yang terlalu besar dan pisaunya yang hilang. "Dasar... Sebenarnya dia mempersiapkannya atau tidak sih."

Di pinggir danau, Gege dan Flo sedang menikmati dinginnya air yang begitu menyegarkan tanpa sehelai benang pun. Tingkah bodoh mereka menjadi tontonan membosankan untuk Risty. Semua karena tidak banyak yang bisa ia nikmati selama berkeliling.

Malamnya, kelima muda-mudi menikmati daging panggang yang memanjakan lidah. Gege mengoper alkohol kalengan dari kotak pendingin pada mereka yang butuh kehangatan lebih. Untuk sesaat, semua menikmati kebebasan mereka dari penat dunia.

Karena tak tahan lagi dengan gejolak yang terus mendesak, Flo dan Gege kembali lebih awal ke kamar. Risty yang kalah dengan reaksi alkohol di otaknya harus kembali dipapah. Iris kali ini yang menawarkan diri membantunya. Dia hanya tidak ingin Hildan lebih dekat dengan gadis itu.

Hildan yang selalu memimpikan kekosongan kini mendapatkannya. Hanya saja perasaannya tidak senyaman yang ia kira. Akhirnya ia berkeliling mengamati sekitar kabin. Dari hasil pengamatannya, ke arah barat pepohonan pinus berbaris mendaki bukit, di utara terdapat tanah landai dengan bakal-bakal pinus yang baru tumbuh, sedang di selatan arah mereka datang adalah padang ilalang yang luas.

Masih di tengah pepohonan pinus, Hildan merasakan sesuatu bergerak. Baru saja ia ingin menoleh... Dugh!!! Benda tumpul yang menghantam tengkuknya mengakhiri rasa penasarannya. Ketakutannya terjawab.

Pukul 09.00

Entah badai mana datang bertamu, ruang utama kabin, dapur, porak poranda. Keadaan makin memburuk. Tak ingin berlama-lama, Hildan menuju pintu belakang. Namun baru saja ia berbalik badan, kaca jendela dapur pecah. Sekilas cahaya melintas di pipi kanannya dan menghamburkan isi bantalan sofa. Segaris luka tertoreh di wajah Hildan.

"Ughh!!!" Tangan kanannya spontan menutupi rasa perih.

Tak sempat berpikir, bahu kirinya yang kini diserang hingga tubuhnya terbanting. Dia tahu harus segera bersembunyi. Dia berguling ke arah titik buta serangan. Kali pertama ia merasakan timah panas tertanam di tubuhnya.

"Gaaaahhh!!! Sial!!! Apalagi ini?!!"umpat Hildan.

Seorang penembak jitu bersembunyi di arah ilalang. 15 menit berlalu tak ada tanda-tanda serangan lanjutan. Hildan yang berhasil membendung derasnya darah, berhati-hati ia memeriksa keadaan dari pintu depan.

Lalu sosok yang tak asing tampak turun menyeberangi hutan pinus. Hildan mencoba mengingatkan Gege agar berhati-hati. Tapi setelahnya ia keheranan melihat Gege tidak mengalami hambatan. Yang lebih membingungkan itu raut wajahnya.

Hildan tak bisa berkata-kata. Wajar. Gege memukul rahangnya cukup telak. Hingga membawanya kembali lebih dalam pada gelap dunia. Hildan pingsan untuk kesekian kali.

Pukul 23.00

"Kami harus memastikan keamanan informan kami. Jadi jika tidak ada kabar lebih lanjut, rekan kami bergerak. Ingat! Siapa yang jadi taruhannya."

Flo membayangkan kengerian yang terjadi seandainya ia sampai gagal. Ia bahkan tidak bisa menikmati keahlian Gege di ranjang malam ini. Belum lagi tubuhnya terasa makin panas. Pikirannya tidak karuan.

"Kau ingin gantian, sayang?"tawar Gege.

"Tidak... Tidak apa-apa."jawab Flo berbohong. "Ge... Boleh aku mencoba sesuatu? Aku melihatnya di internet."lanjut Flo.

Gege tersenyum dan mengangguk. Flo pun mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dia lalu memasangkannya pada Gege, sebuah penutup mata. Flo menjelaskan pada Gege agar mengimajinasikan kenikmatan yang akan dia berikan.

Flo berpikir Gege tidak mengetahui apa yang akan datang. Tapi Flo salah.

"Kau kalah cepat, sayang... Risty sudah memberitahu ku semuanya. Sakit sekali bujan dikhianati orang yang kita cintai. Jadi... Bagaimana rasanya sebuah racun mengalir di tubuhmu?"

Flo terkejut mendengar apa yang dikatakan Gege. Di saat yang bersamaan, pandangan matanya mulai kabur. Begitu ia mengambil ancang-ancang, tubuhnya tiba-tiba mengejang tanpa sebab. Hingga akhirnya ia terkapar tak berdaya di samping Gege.

Raut wajah Gege berubah drastis. Raut yang sama yang selalu ia tunjukan pada para pimpinan besar dunia bawah. Ia menyeret mayat Flo ke pinggir danau. Setelahnya, Gege mencari Risty dan yang lainnya di kamar dengan tujuan menemukan siapa informan yang memberitahu keberadaannya saat ini.

Sayang ia tak menemukan apa-apa. Kamar yang ada di kabin semuanya kosong. Akhirnya ia memilih berkeliling di sekitar kabin. Memburu apa yang tersisa.

Pukul 21.00 - 24.00

Di puncak bukit pepohonan pinus, terdapat sebuah gubuk kecil di dekat tepian tebing yang mengarah langsung ke tanah yang penuh bakal pinus. Kabin tampak di arah tenggara gubuk itu. Ke sanalah Iris memapah Risty, bukan ke kamarnya di kabin. Di sana ia menyandera Risty.

Ketika ia ingin kembali ke kabin, ia mendapati Hildan di kejauhan sedang berkeliling layaknya pencuri. Iris tidak ingin Hildan menemukan gubuk itu. Dia pun mengendap-endap di belakangnya bersiap menyerang dengan sebilah kayu yang ia temukan di sekitar sana.

Hildan sempat menyadari keberadaannya, tapi Iris terlalu cepat. Kini giliran Hildan yang ia seret sepanjang pepohonan pinus. Begitu sampai di kabin, Iris menarik gantungan lilin di dinding di samping pintu utama. Tangga lipat turun dari langit-langit menuju loteng.

Setelah menyekap Hildan di kamar tersembunyi, Iris yang khawatir Hildan mengganggu acara tahunannya, meinggalkan sebuah pesan singkat. Lalu ia kembali ke bawah. Memeriksa dengan hati-hati kamar Flo dan Gege.

Amarahnya memuncak. Kehadiran Risty, Hildan yang mengganggu, kini mangsanya lepas. Iris berharap sekali kehadiran Glu saat ini. Agar bisa membantunya menyelesaikan ritual sintingnya. Sebagai ganti, seluruh ruangan menjadi bulan-bulanan. Setelah puas, ia mulai memburu ulang mangsanya lagi.

Pukul 13.00

Hildan berharap masih terus bermimpi. Tapi rasa sakit yang ia terima terlalu nyata. Gege menyiksanya agar ia memberitahukan keberadaan Iris yang menurut penuturan Risty adalah informan saingannya. Sayangnya Hildan tak tahu menahu tentang semua itu.

"Jangan berlagak pahlawan teman. Itu bukan seperti dirimu."geretak Gege. "Mengenalmu itu seperti mimpi buruk. Nasib sial terlalu lekat dengan..."

Belum selesai Gege menyampaikan gagasannya tentang Hildan, isi kepalanya berhamburan di wajah dan tubuh Hildan. Si penembak jitu kembali. Hildan tak bisa berkata apa-apa. Ia pasrah. Mungkin gilirannya pergi menemui Yang Kuasa selanjutnya.

Tapi waktu Hildan sepertinya masih belum berakhir. Si penembak jitu menghilang lagi. Hildan bingung harus bersyukur atau kecewa. Setidaknya, kesempatan menyelamatkan nyawa yang masih tersisa masih ia punya. Susah payah Hildan membebaskan diri sebelum akhirnya berhasil.

Hildan kembali bergegas. Ia menuju pinggir danau untuk memeriksa tubuh yang terbaring di sana. Mengetahui itu Flo, Hildan kembali menyalahkan diri. Mungkin akan membutuhkan waktu lama untuknya berkabung seandainya perhatian dia tak teralih torehan di telapak tangan Flo.

TETAP DI KABIN! CAHAYA TIDAK PERNAH BAIK UNTUKMU


Pukul 00.15

Iris menemukan Flo di pinggir danau. Berpulang tanpa pamit. Hanya saja Iris tidak tertarik dengan yang bangkai. Kenyataannya, daging segar yang ia punya hanya tersisa satu. Dan Risty... Tak ubahnya lalat pengganggu.

Risau jika Hildan kembali ikut campur, Iris yang tak ubahnya bocah pramuka, mengambil peralatan lipat serbagunanya. Mata pisau menjadi pilihan. Lalu meninggalkan pesan yang ia pikir akan menahan Hildan, jika ia masih tetap pada pendiriannya. Setelah itu, ia melanjutkan permainannya. Sebelum ia semakin lapar.

Pukul 09.00 - 13.00

Tidak adanya kabar dari Flo membuat suruhan pesaing Gege mulai bergerak. Dia memililh bersembunyi di jalan masuk yang penuh dengan ilalang. Cukup lama ia menunggu, tapi tidak ada tanda-tanda seorang pun berada di kabin. Akhirnya dia mulai menduga-duga.

Lalu sekelebat pergerakan tertangkap teropong, dari jendela dapur sedang melintasi ruang utama. Melihat postur tubuhnya, dia pikir sosok itu adalah targetnya yang berhasil lolos dari maut. Kini giliranya tiba. Sayang tembakan pertama meleset. Pun yang kedua, hanya mengenai bahu.

Targetnya pintar bersembunyi di titik buta. Ia mencoba sabar, menyangka targetnya akan kembali terlihat. Si penembak bergeser mencari pandangan yang jelas. Karena terlalu fokus, ia tak sadar ada yang sedang mengintai di belakangnya. Jleb!!! Mata pisau menembus ubun-ubun.

Sang algojo suruhan mati di tangan wanita gila. Makhluk yang setiap harinya ia rendahkan serendah alat kelaminnya. Dan sekarang wanita itu mengamati Hildan dengan senapan yang tergeletak di bawah mayat penembak.

Tapi karena lelah, ia sempat terlelap. Entah bermimpi apa ia sebelumnya, ketika terbangun ia melihat Gege sedang memukuli Hildan di kursi dapur. Senyum mengembang. Nafas terhembus perlahan. Pelatuk tertarik. Hasratnya terpuaskan, sebagian. Kini tinggal mengisi kekosongan Flo. Risty harus siap menggantikannya.

Pukul 13.15 - 20.00

Tak butuh waktu lama Hildan menyadari siapa yang meninggalkan dua pesan untuknya. Iris. Di ruang utama kabin ia merenungkan semua yang telah diperbuat Iris. Pukulan-pukulan Gege yang diterimanya membuatnya kembali teringat dengan apa yang telah terjadi sepekan terakhir. Dimana ia mengetahui rencana gila Iris, ritual tahunan berdarahnya.Hildan ternyata sudah menyiapkan rencana cadangan.

Demi menghentikan Iris dari kegilaannya, dan keluar dengan selamat, ia rela bertaruh dengan iblis. Gege bisa menjadi kuncinya. Setelah ia pelajari semua calon korban Iris, ia tidak sedikit pun merasa iba pada Gege. Terlebih dari caranya memperlakukan wanita. Hildan pikir ia pantas mati.

Ia pun memberitahu posisi Gege yang sedang diburu pada para pesaingnya. Kesepakatannya jelas. Ia ingin lepas dari cengkraman Iris. Hanya saja ia meminta agar Flo yang melakukannya. Iris akan menggila jika calon korbannya mati bukan di tangannya. Terakhir, ia meminta sugesti ringan agar pertemuan itu bisa ia lupakan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bukan Iris. Tapi sesuatu yang lebih buruk.

Hildan merasa bersalah. Mengetahui dirinya tidak lebih baik dari Iris. Menyadari mayat Flo dan Gege teronggok begitu saja, setidaknya ia bisa melakukan satu hal baik di sisa hidupnya, dengan membuatkan makam untuk mereka.

Di lahan penuh bakal pinus ia menggali. Sambil mengingat kembali semua pesan yang ditinggalkan Iris. Hildan menyadari Iris dimana selama semua kejadian itu berlangsung. Atau paling tidak seperti itu. Ke sanalah Hildan akan pergi.

Pukul 18.00

Iris sudah tiba di gubuk tempat ia meninggalkan Risty. Tak menyangka dengan apa yang ada di hadapannya. Calon korban selanjutnya malah berdiri tegak menantangnya bersiap menanti gebrakan Iris selanjutnya. Namun entah kenapa Iris malah tersenyum.

"Aku tidak menyukaimu. Tapi mendapat sedikit perlawanan rasanya akan menyenangkan. Dan aku ingin pisau daging ku kembali."jelas Iris tak gentar.

Risty memang terlihat berbeda dengan awal kedatangannya. Tidak tampak lagi gadis berkacamata yang lugu. Yang ada hanya iblis berparas cantik yang senyumnya mampu membunuh segala sesuatu yang ia benci.

"Tidak akan ku biarkan kak Hildan berada di sisi kanibal sepertimu. Dia pantasnya bersama ku. Kami adalah pasangan yang sempurna."sahut Risty membalas geretakan Iris.

Kedua perempuan yang hilang akal sehatnya ini mulai menari. Ayunan benda-benda tajam yang mereka genggam masih mengalir lembut jauh di tubuh. Risty yang kalah stamina mulai membatasi geraknya.

Tak ada lagi serangan yang ia lancarkan. Ia menghindari lintasan mata pisau dengan anggun. Tapi Iris tidak kalah mengerikan. Tenaganya seolah-olah tak habis. Belum lagi kecepatannya membuat Risty kewalahan.

Hingga satu sayatan mengenai lengan kanan Risty yang menggenggam pisau. Risty mulai terdesak. Ia mulai memelas memohon-mohon belas kasih dan ampunan. Iris tak peduli. Ia tahu jelas siapa Risty sebenarnya. Seperti melihat pantulan dirinya di cermin.

Duaghhh!!! Pukulan melingkar Risty telak. Iris tumbang seketika. Tapi untuk kesempatan itu, harga yang ia bayar sangat mahal. Mata pisau perlengkapan lipat serbaguna Iris menancap di perut Risty. Tenaganya sudah hampir terkuras. Ia pun terkapar di tanah yang sama dengan Iris.

Matanya menatap langit yang rona merahnha semakin pudar. Ia membayangkan Hildan berada di dekatnya. Ia pun bertanya-tanya. Tentang bagaimana keadaan pria pujaannya. Apakah masih berada di sana? Apakah ia membutuhkan bantuannya?

Pukul 22.00

Sampai di puncak deritanya, dimana jalan singkat menuju neraka, disambut binar-binar bintang di mata. Hildan hampir tak berdaya menumpu tubuh sendiri. Terluka, lapar, ia tetap bertahan. Tapi ia belum sepenuhnya menyelesaikan kegilaan yang makin menjadi-jadi.

"Jadi Iris... Dia ya yang menyelesaikan kegilaan ini?"ucap Hildan menatap mata Iris dalam-dalam, menatap senyum si pemenang yang mengembang.

Untuk sebuah permainan, yang satu ini tidak berbeda dengan yang lain. Jika ada pihak yang kalah, selalu ada yang memenangkan semua yang dijanjikan. Dengan obsesinya yang jauh dari nalar dan moral, Risty berdiri angkuh di atas segalanya, di atas mayat-mayat yang bergelimang dosa.

"Tapi bagaimana... Kau hanya figuran dalam permainan ini." Hildan sungguh tak menyangka. Cinta sejati Flo menyelesaikan semua yang Iris mulai.

"Semua karena kau memilikinya... Kebencian... Kebencian yang sama yang menuntun kita pada akhir yang memilukan ini. Kebencian akan hidup. Aku menyukainya. Karena itu aku tergila-gila padamu."jelas Risty.

Hildan tertunduk. Air mata mengalir di pipinya. Ya. Hildan membenci hidupnya. Hildan membenci Glu yang selalu menuruti permainan gila wanitanya. Hingga tiba-tiba, tawa itu merusak suasana. Tawa yang pelan perlahan semakin kencang.

"Anomali dalam permainan ini... Risty... Kau membawa kejutan yang berbeda dari yang pernah ada. Mungkin saja aku mendapatkan tontonan menarik lainnya jika bersama mu. Kalian bisa menjadi pasangan yang lebih baik."

"Cukup... Aku memilih opsi ketiga, dimana tidak ada yang menang atau pun kalah."

Hildan dan Glu tak sepaham. Itu membuat raut wajah Risty berubah. Dia tidak suka mendengar apa yang terucap terakhir kali dari mulut Hildan. Walaupun Glu telah mengakuinya, tapi tidak akan sama bila Hildan memiliki pandangan yang berbeda.

"Kau menolak ku?!!"bentak Risty yang berniat menyerang Hildan dengan pisau daging di tangan kirinya.

Hildan masih bergeming. Bukan gentar. Hanya saja semua beban itu terlalu berat untuk dipikul. Tangan kiri Risty mengayunkan pisau pemberian sang malaikat maut. Sedang malikat maut sendiri telah membisikkan hal yang lebih nikmat di pandang mata. Dia membuat waktu seolah-olah melambat.

Hildan mengelak. Dan dengan sisa tenaga di raga, segenap jiwa, ia melingkarkan lengannya di perut Risty yang begitu ramping dan mendorong badannya menuju tepian hidup mereka. Glu tertawa dan meneriakkan kalimat terakhirnya.

"Dengan kematian ini, hasilnya seimbang!!! Pilihan yang tepat kawan ku... Hahaha!!!"

Tubuh mereka melayang jatuh dari tebing tinggi. Risty meneriakkan kewarasannya, rasa takut akan kematian, melengking di tengah malam gelap. Sedangkan Hildan menatap langit dengan tawa tanpa jiwa. Warasnya hilang bersama hembusan nafas terakhir di kala tubuh yang lelah menyentuh tanah basah. Berguling di tengah benih-benih pohon pinus yang mulai tumbuh di atas mayat-mayat korban kegilaan dunia.

24 Hours
END


Spoiler for Ending Song:


Special Thanks To :
@MayangDT
Rival terindah*bohong yang ide-idenya bikin keki

@WahyuPK
Kritikus dan story junkies yang rela rokok-an 4 bungkus dalam 6 jam terakhir

Source Code :
Tulisan ini berdasarkan ide pribadi

Inspired movie :
We Need To Talk About Kevin
Memento
Gone Girl
Battle Royale
The Cabin in The Woods

Opening song :
L's Theme - OST Deathnote

Ending Song :
Kanede - Amamiya Sora Ver.

Data Penguat :
Checking Google
Soundcloud

Diubah oleh a112aditya 08-02-2018 03:15
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
4.7K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan