Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

frontalbabyAvatar border
TS
frontalbaby 
Pengrajin Tragedi




Kita semua setuju bahwa tragedi dapat membuat cerita fiksi menjadi menarik. Tapi, tidak akan ada yang menganggap tragedi sebagai sesuatu yang menarik ketika benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. Tidak ada yang mendambakan tragedi untuk datang mengacaukan dunia nyata, termasuk aku.


Sebagai penulis, aku menyukai tragedi yang kelam sebagai nyawa dalam tulisan-tulisan fiksiku. Namun, entah bagaimana caranya, semua tragedi dalam tulisan fiksiku itu tampaknya selalu menjadi kenyataan. Awalnya aku selalu menganggap kejadian itu hanya kebetulan semata. Tidak ada penjelasan ilmiah yang menerangkan bahwa khayalan manusia dapat meloncat dari alam fiksi ke alam nyata. Meskipun ada beberapa penjelasan mistis tentang keberadaan penulis yang memiliki mata batin yang tajam sehingga bisa meneropong masa depan dan menuliskannya dalam bentuk cerita. Suatu saat di masa depan, cerita penulis itu akan menjadi kenyataan karena yang ia khayalkan sesungguhnya adalah masa depan yang tak sengaja terintip oleh mata batinnya. Apakah aku termasuk penulis yang memiliki mata batin yang tajam itu? Ah, aku bahkan menganggap orang-orang yang mempercayai mistisme seperti itu sangat tidak logis. Aku hanya percaya pada hal-hal saintifik, bukan pseudo-saintifik, apalagi mistik!

Tragedi demi tragedi yang menghampiri kehidupanku memang sangat mirip dengan tulisan fiksi yang kutulis beberapa waktu sebelumnya. Dulu, aku pernah membuat cerpen tentang seorang lelaki yang menjadi korban tabrak lari lalu sang pelaku menjadi gila karena tak kuat menahan rasa bersalahnya sendiri. Dua minggu berselang, Zafran, abangku satu-satunya, menjadi korban tabrak lari. Untungnya ada pihak asuransi yang menanggung biaya pengobatan Zafran sehingga kami cukup terbantu meski tidak ada yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Tapi tetap saja orang tuaku jadi cemas dan repot. Apalagi saat itu, kakiku baru saja pulih akibat terjatuh dari eskalator kantor yang error hingga menyebabkanku pingsan dan cedera cukup parah.

Sebulan kemudian, sepasang suami istri datang ke rumah kami membawa puteranya yang seusia dengan Zafran. Mereka menangis memohon maaf kepada keluarga kami dan mengakui bahwa sesungguhnya yang melakukan tabrak lari adalah anak mereka. Mereka berharap ampunan dari kami dapat menyembuhkan penyakit jiwa anak mereka. Katanya, anak itu depresi memendam rahasianya sendiri sebagai pelaku tabrak lari hingga menunjukkan gejala gila.

Tak hanya keluargaku, teman-temanku pun tak luput menjadi ‘korban’ dari tulisanku. Aku pernah menulis novel yang berkisah tentang sepasang kekasih yang hampir menikah, namun tiba-tiba hubungan mereka putus karena orang ketiga. Dua minggu setelah novelku terbit dan didistribusikan ke toko-toko buku, sahabat dekatku mengalami kejadian yang sama dengan kisah dalam novel karyaku. Untungnya novel itu berakhir indah karena sang perempuan menemukan pangeran yang jauh lebih baik daripada bajingan bermuka manis yang telah menyelingkuhinya. Sahabatku itu kini sudah menikah dengan seorang pengusaha muda yang tampan dan kaya raya. Itu hanya sebagian dari karya-karya fiksiku yang kebetulan terjadi juga di kenyataan. Masih banyak tulisanku yang lain yang seolah menjelma nyata di kehidupanku.

Sekali lagi kutegaskan, semua itu hanya kebetulan! Aku tidak percaya jika tragedi yang muncul dalam kehidupan orang-orang terdekatku terjadi akibat aku menuliskan tragedi itu dalam sebuah karya fiksi. Fiksi ya fiksi saja!

*

Aku tetap bersiteguh pada keyakinanku bahwa tragedi yang terjadi dalam kehidupanku bukan diakibatkan oleh tulisan fiksiku. Aku tetap produktif menulis fiksi bertema tragedi. Banyak orang yang menyukai kisah-kisah tragedi hasil berimajinasiku itu. Seorang redaktur media cetak bahkan pernah memuji bahwa caraku menuturkan tragedi sangat emosional sehingga mampu membawa pembaca ke dalam cerita. “Jangan berhenti berimajinasi dan menulis!” tulisnya menyemangati dalam sebuah surel kepadaku.

Tak hanya pihak media cetak, keluargaku juga selalu menyemangati. Bahkan kekasihku, Gema, juga tak kalah berperan dalam mendukungku untuk terus berkarya. Ia selalu menyemangati dan mengingatkanku agar tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak masuk akal.

Suatu hari, dengan semangat dan penuh rasa percaya diri, kukirimkan sebuah cerpen tentang tragedi kecelakaan maut sepasang suami-istri ke sebuah media cetak. Kepercayaan diriku tak berlebihan karena terbukti, dalam beberapa hari, cerpenku dimuat. Meskipun itu adalah cerpenku yang kesekian kalinya dimuat, aku selalu merasa bahagia tak terkira saat karyaku bisa lolos penilaian tim redaksi untuk tampil di rubrik sastra. Persis seperti penulis pemula yang baru merasakan karya pertamanya diangkat ke rubrik fiksi media cetak.

Kebahagiaanku tak bertahan lama. Seminggu berlalu, ayah dan ibuku mengalami kecelakaan lalu lintas hingga tewas. Kejadiannya persis seperti yang kutuliskan dalam cerpenku. Aku benar-benar terpukul mengetahui kejadian itu. Mereka adalah dua orang yang sangat kucintai, yang merawatku sejak aku dalam rahim ibu. Dan kini mereka direnggut dari kehidupanku dalam satu waktu sekaligus!

Duka menyelimutiku dan Zafran. Bedanya, abangku itu bisa memulihkan dukanya dengan cepat. Dalam seminggu, ia sudah bisa kembali tersenyum dan bekerja seperti biasa. Sementara aku, masih tenggelam dalam duka yang pekat. Kegiatanku hanya menyendiri di kamar sambil menangis. Sesekali Gema atau teman-temanku datang dan berusaha menghiburku. Tapi tetap saja air mataku tidak berhenti mengalir ketika aku ingat lagi kedua orang tuaku.
Aku mulai percaya bahwa setiap duka dan tragedi yang menghampiri kehidupanku disebabkan oleh tulisan fiksiku. Entah bagaimana menerangkannya, yang jelas aku merasa bahwa aku dikutuk untuk bisa membuat imajinasi tragisku menjadi nyata setelah kuwujudkan dalam bentuk tulisan. Aku menyesal telah menulis kisah kecelakaan maut itu. Dalam hati, aku berjanji untuk tidak pernah menulis fiksi lagi.

*

Komputer di kamarku sampai berdebu akibat terlalu lama tidak kusentuh. Menulis fiksi yang dulu adalah hobi dan mata pencaharian sampinganku, kini menjadi fobia bagiku. Sebisa mungkin kujauhi hal-hal yang dapat membangkitkan hasrat menulisku. Sejauh mungkin kuhindari hal-hal yang dapat merangsang imajinasiku bergerak menciptakan cerita-cerita tragedi. Bahkan buku-buku fiksi koleksiku pun tampak usang karena aku terlalu takut untuk membaca atau sekadar menyentuhnya. Perpustakaan dan toko buku juga tak pernah kukunjungi lagi.

Teman-teman di komunitas menulis mulai menyapaku di dunia maya. Mereka menanyakan kabarku dan perkembangan karya-karyaku. Bahkan beberapa redaktur media cetak juga ada yang menagih tulisanku. Katanya, aku sudah terlalu lama tidak memunculkan tulisan baru. Biasanya, selain aktif mengirim tulisan ke media cetak, aku juga memang sering menulis di blog atau media sosial. Wajar jika kini mereka mempertanyakan karya baruku.

Keputusanku berhenti menulis fiksi tidak pernah kukatakan pada siapapun. Aku yakin tidak ada seorangpun yang akan mengerti keadaan dan alasanku ini. Bahkan akal sehatku sendiri juga tidak paham dengan fenomena aneh yang terjadi pada tulisan-tulisan fiksiku. Aku hanya mengikuti kata hatiku sendiri untuk tidak menulis karena sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa tulisan-tulisan tragediku bisa berbahaya bagi dunia nyata di sekelilingku.

Tapi aku tidak sanggup membiarkan diriku tidak menulis terus-menerus seperti itu. Bagaimanapun, aku adalah seorang penulis. Menulis adalah hidupku. Jika aku tidak menulis, sama saja aku tidak hidup. Perlahan, aku mulai memberanikan diri untuk kembali menulis. Namun, tentu saja aku tidak menulis fiksi. Hasrat menulisku kini kuarahkan pada dunia non-fiksi. Aku belajar menulis esai dan artikel.

Tulisan non-fiksi pertamaku akhirnya kuunggah di blog. Isinya tentang sisi lain dari duka kehilangan. Sebuah tulisan yang terinspirasi dari kematian orang tuaku. Artikel itu mengajak semua orang yang merasa kehilangan untuk tidak berlama-lama melarutkan diri dalam duka. Kehilangan karena kematian, jarak yang menjauh, atau karena putus hubungan, semua hanya sementara dan kita harus menyambut masa depan. Karya yang sebenarnya kupersembahkan untuk menghibur diriku sendiri agar segera bangkit dari kelamnya rasa kehilangan.

Belum selesai urusanku menata hati yang diterjang duka, kini aku harus menghadapi tragedi baru. Gema tiba-tiba datang dan menyatakan bahwa ia merasa hubungan kami tidak berjalan semulus dulu. Dengan jujur, ia juga mengungkapkan bahwa perasaannya padaku sudah berubah.

"Maaf, Ra. Aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku tidak ingin membuatmu berlama-lama dalam hubungan yang sudah tidak bernyawa," ucap Gema getir. Ia ingin hubungan kami usai.

Hatiku yang sedang dalam masa perawatan berminggu-minggu, sekarang kembali remuk. Aku kembali pada hobiku yang sebetulnya sudah mulai kutinggalkan; menyendiri dan menangis di kamar. Bahkan, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri kepada atasanku melalui surel (ya, aku tak sanggup untuk sekadar keluar rumah dan bertemu orang-orang, lagipula mataku yang bengkak pasti tampak menyeramkan untuk mereka lihat).

Aku merindukan ibu yang selalu bisa mendengarkan curahan hatiku. Aku merindukan ayah yang selalu menasihatiku agar tetap tegar menghadapi apapun. Aku merindukan Gema yang selalu menyemangati dan menghiburku. Aku masih menginginkan Gema untuk menemaniku, tapi aku juga tidak bisa memaksanya tinggal di sisiku.

Ketika kubaca kembali blogku, aku baru tersadar bahwa tulisan terakhirku menyinggung tentang putus hubungan. Apakah putusnya hubunganku dengan Gema juga diakibatkan tulisan itu? Lama-lama aku bisa gila! Semua yang kutulis benar-benar berakhir menjadi nyata! Sepertinya aku memang harus berhenti total dari dunia menulis. Kutekadkan diriku untuk tidak lagi menulis, baik fiksi ataupun non-fiksi.

Tiga minggu kemudian, Joan, teman dekatku saat di kantor berkunjung. Kami mengobrol banyak dan ia mengabariku tentang keadaan mantanku. “Kamu tau gak? Sekarang Gema udah pacaran lagi loh! Gila banget deh ceweknya! Entah kerjaannya SPG rokok atau LC atau apalah! Suka pake baju seksi, maen ke mana-mana pake hot pants, pamer-pamer paha! Selfie pake tank top, pamer-pamer belahan dada! Liat foto-fotonya di instagram, jijik! Gak nyangka banget seleranya Si Gema kayak gitu!” cerita Joan nyinyir.

Aku bergeming meski permukaan hatiku seakan disiram air keras ketika mendengar kabar itu.

"Terus, aku scrollakun instagram si ceweknya. Idiiih, banyak foto sama om-om gitu! Om-omnya gonta-ganti lagi! Iiih, parah banget, kan?!" Joan bergidik jijik.

Bagaimanapun Gema adalah lelaki yang pernah mengisi hatiku. Kepergiannya yang tiba-tiba tidak lantas membuat perasaan cintaku berhenti tiba-tiba juga. Namun, bagaimana bisa lelaki itu secepat ini beralih ke perempuan lain?!

Cemburu masih menguasai hatiku meski Gema bukan lagi kekasihku. Yang lebih mengesalkan, perempuan baru yang kini menjalin asmara dengannya itu adalah perempuan yang… ya begitulah. Aku tidak tega menyebutkan berbagai kata negatif untuk perempuan itu. Aku sungguh merasa disisihkan. Aku merasa dibuang dan dilupakan sebegitu mudahnya oleh Gema. Apakah aku kurang cantik? Kurang berani berpakaian seksi nan mengundang nafsu? Mengapa ia sampai tega meninggalkanku demi perempuan yang senang bersedekah aurat itu?

Kecemburuan dan kekesalanku berubah menjadi amarah. Aku mulai bisa berhenti menangis. Seakan-akan amarahku membakar air mata hingga menguap tak bersisa. Aku juga tidak bersedih lagi. Dampaknya, imajinasiku kembali berjalan normal. Aku tidak bisa berhenti berkhayal, terutama berkhayal tentang aneka skenario pembalasan dendam kepada mantanku, Gema.

*

Berbulan-bulan tidak menulis cerita fiksi, kini kutemukan waktu yang tepat untuk kembali berkarya. Kali ini akan kutulis salah satu tragedi yang paling berat namun menarik; sebuah cerpen yang mengisahkan seorang lelaki bernama Echo yang meninggalkan kekasihnya demi perempuan berpenampilan seksi. Echo bahkan berani mengajak perempuan itu untuk ‘bersenang-senang’ di hotel. Sayang, niat mereka tidak berjalan mulus karena Satuan Polisi Pamong Praja sedang mengadakan operasi ke setiap hotel dan tempat hiburan. Sepasang kekasih itu terjaring razia dan digelandang ke kantor Pol PP. Echo dipecat dari pekerjaannya, sementara kekasih barunya diusir dari rumah orang tuanya. Di akhir cerita, aku menutupnya dengan kalimat ‘Cinta buta memang berbahaya. Tapi ternyata cinta yang bodoh jauh lebih berbahaya.’ Iya, yang kumaksud 'bodoh' itu Gema!

Kutunggu dua minggu hingga akhirnya cerpen itu dimuat di salah satu harian nasional. Teman-teman komunitas menulis menyambut baik karya terbaruku. Linimasa media sosialku dipenuhi ucapan selamat disertai foto halaman koran rubrik cerpen. Ada juga yang mengungkapkan kerinduannya pada cerpenku.

Esoknya, Joan mengirimiku pesan WhatsApp. Ia juga menyertakan foto headlinekoran lokal di kota kami.

"Koran hari ini, Ra. Untung kamu udah putus dari Gema. Wkwkwk," tulis Joan dalam chat.

Kulihat foto di headline koran itu, tampak beberapa orang yang menutupi wajahnya sedang berjalan didampingi para Polisi Pamong Praja. Meski wajahnya tak terlihat, sepertinya aku mengenali salah satu di antara mereka. Dari postur tubuh dan pakaian yang dikenakannya, aku cukup yakin siapa lelaki yang terdapat di tengah foto tersebut. Mantanku, Gema. Di atas foto itu, tertera tulisan besar-besar, “SEJUMLAH PASANGAN MESUM TERJARING RAZIA PEKAT*”

Untuk pertama kalinya setelah kabut duka mengungkung kehidupanku, aku kembali tersenyum. Untuk pertama kalinya pula aku tidak merasa bersalah atas tulisan fiksi tragisku yang selalu membuahkan tragedi di dunia nyata. Aku malah sangat senang dan merasa ‘kutukanku’ itu sesungguhnya merupakan sebuah bakat istimewa.

Hari selanjutnya, ku amati orang-orang masih sibuk membicarakan Gema di media sosial. Mantan kekasihku itu kini seolah menjadi trending topic di kotaku. Maklum saja, ia sempat menjadi duta pariwisata. Jadi, namanya cukup dikenal oleh masyarakat lokal. Yang kudengar, sekarang Gema diberhentikan dari pekerjaannya sebagai dosen akibat skandal seksnya. Mengetahui berita itu, khayalanku kembali tergerak untuk menciptakan cerita baru. Cerita lanjutan yang lebih tragis.

Aku akan membuat semacam sekuel dari kisah Echo. Dalam cerpen baruku ini, kekasih Echo hamil dan menuntut pertanggungjawaban. Namun Echo menuduh janin di rahim kekasihnya itu berasal dari lelaki lain. Mereka pun bertengkar hingga Echo tak sengaja melakukan kekerasan yang menyebabkan kekasihnya terbunuh. Kasus itu kemudian tercium pihak kepolisian dan Echo dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Bagaimana? Menarik bukan? Aku saja sampai tersenyum lebar saat membayangkannya. Baiklah, mari kita mulai menulis agar lelaki itu cepat masuk penjara dan kekasihnya segera ke neraka!

Kunyalakan musik untuk membakar semangat menulisku. Sesekali aku melakukan headbanging, terbawa arus dentuman musik yang membelai telingaku.


Quote:


Dalam waktu kurang dari 3 jam saja, mahakaryaku selesai! Namun musik yang kuputar dari album Sempiternal milik Bring Me The Horizon belum berakhir. Nada-nadanya masih mengalun dan masih kunikmati. Tubuhku sampai terbawa menari-nari mengikuti setiap nada sambil membayangkan cerpenku menjadi kenyataan. Aku bahkan meloncat ke atas meja laptop-ku dan kembali berjingkrak diselingi headbangingyang membuat rambutku berantakan.

"Eh! Eeh!" Hampir saja kakiku menginjak laptop. Untungnya aku cukup cekatan untuk segera menghentikan langkahku. Tapi, tubuhku limbung, kehilangan keseimbangan gara-gara berhenti bergerak tiba-tiba.

Braakkkkk!!

Tahu-tahu tubuhku sudah ada di lantai. Kulitku bisa merasakan dinginnya keramik. Aku meringis. Ngilu di kaki, punggung, leher, kepala, entah di mana lagi. Rasanya semua sakit. Lalu semuanya berputar. Dan gelap.

*

Lebam di kaki dan tanganku akibat jatuh dari meja tempo hari belum hilang. Tapi aku tetap bahagia karena cerpenku itu langsung dimuat di koran edisi akhir pekan. Aku tinggal menanti ceritanya mewujud nyata di kehidupan Gema.

Satu minggu. Dua minggu. Hingga akhirnya sebulan berlalu. Namun tidak kudengar kabar buruk apapun tentang Gema. Ada apa ini? Kenapa saat aku butuh cerita fiksiku menjadi kenyataan, justru tidak terjadi apa-apa?!

"Kakak berangkat dulu, Ra!" suara Zafran mengagetkanku yang sedang berdiri di balkon kamar.

"Eh?" aku menoleh. "Iya, Kak! Hati-hati!"

"Iya. Rara juga hati-hati! Jangan berdiri di sini, ah. Nanti Rara jatuh lagi. Pingsan lagi. Repot, kan! Berat bawa-bawa badan Rara!" ujar Zafran diakhiri cengiran.

Aku menghampiri kakakku itu sambil mencubitnya. "Idih! Rara kan, cuma 50 kilo! Berat dari mananya?!"

"Iya deh! Terserah Rara aja! Yang penting jangan jatuh dan pingsan lagi!" ia mengacak-acak rambutku, kemudian berlalu ke lantai bawah. "Dadah, Rara!"

Aku tidak menjawab kakakku karena tiba-tiba teringat dengan tragedi eskalator yang error di gedung kantorku dua tahun lalu. Setelah jatuh dan pingsan, fiksi-fiksi yang kutulis menjadi kenyataan. Sebelum kecelakaan itu, tulisan fiksiku tidak ada yang menjadi nyata. Dan kali ini, setelah aku jatuh dan pingsan lagi, kemampuanku menulis fiksi yang menjadi kenyataan itu hilang!

Ya! Aku baru sadar, kecelakaan itu juga bisa membuat bakatku sirna! Berarti, untuk memunculkannya kembali, aku harus mengalami kecelakaan lagi! Aku tidak mengerti bagaimana logikanya sebuah kecelakaan bisa memunculkan dan menghilangkan sebuah kemampuan istimewa. Yang jelas, hari ini, aku harus jatuh dan pingsan lagi! Aku harus bisa menciptakan tragedi lagi untuk mengakhiri kebahagiaan Gema dan kekasih barunya!

Kulangkahkan kaki menuju pagar balkon kamarku. Kuperkirakan terjatuh dari atas sini ke bawah cukup untuk membuatku pingsan. Tanpa takut, aku memanjat ke atas pagar. Rasanya sedikit pusing melihat jalan kompleks dari atas. Tapi aku harus jatuh! Aku pasti bisa!

Aku meloncat dan kini tubuhku sudah melayang sangat cepat. Tiba-tiba kulihat sebuah motor melaju cukup kencang dari arah rumahku.

"Aaaargh!!!" suara seorang lelaki menjerit.

Kubuka mataku. Sepertinya aku terbaring di tengah jalan. Sekitar satu meter di depanku, ada sepotong tangan berdarah. Pasti tangan pengendara motor yang menabrakku, karena aku tidak merasakan tanganku sakit.

"Raraa!!" Zafran menghampiriku. Kemeja kerjanya nampak kotor dan berdebu. Ia melepaskan helm menggunakan kedua tangannya sambil terisak. "Rara kenapa tiba-tiba ada di depan kakak?! Maafkan kakak...," ucapnya lirih dan penuh penyesalan.

Jadi, yang menabrakku itu kakakku sendiri? Dan sepotong tangan di depanku? Itu tanganku? Aku menangis. Ingin kubalas kata-katanya Zafran, tapi tak bisa. Rasanya beku dan ringan, seperti melayang. Semua yang kulihat tampak blur, menggelap. Semua yang kudengar menjadi dengungan. Lalu hilang tak bersisa.

Aku tidak merasakan apa-apa lagi.

~ TAMAT ~


*Pekat = akronim ‘penyakit masyarakat’.

Gambar: dari SINI, edited by me.
Diubah oleh frontalbaby 01-02-2018 17:11
Mr.Panda.
anasabila
anasabila dan Mr.Panda. memberi reputasi
2
10.5K
72
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan