- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Agama Lokal Berlabel Hindu


TS
dewaagni
Agama Lokal Berlabel Hindu
Agama Lokal Berlabel Hindu
Agama lokal Tolotang secara struktural terafiliasi dengan Hindu. Namun kultural mereka memiliki ajaran sendiri. Hindu bisa mengakomodasi keyakinan-keyakinan lokal mereka.
Ada yang menarik di Kecamatan Tellu Limpoe, Kelurahan Amparita, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Di balik mayoritas penduduk Bugis muslim, ternyata wilayah itu memiliki jumlah pemeluk agama Hindu cukup besar, mencapai 11.290 orang. Uniknya, di sana tak tampak satu pun bangunan tempat peribadatan pura.
Ternyata Hindu Amparita berbeda dengan Hindu di Bali. Dalam identitas resmi negara, mereka tercatat sebagai penganut agama yang berasal dari India tersebut. Namun secara kultural mereka punya keyakinan sendiri dengan ajaran Tolotang, sebuah agama lokal dari tanah Bugis.
Yang membuat mereka tercatat sebagai pemeluk Hindu, karena kebijakan negara ketika itu memaksa Tolotang bergabung dengan Hindu sebagai salah satu agama resmi yang diakui. 'Bisa saja membangun pura, tapi untuk apa? Karena orang Tolotang sudah punya tempat ibadah sendiri,' kata Uwa Narto kepada Gatra, awal Juni lalu. Uwa merupakan sebutan untuk tokoh agama komunitas Tolotang.
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, Syamsurijal Ad'han, memaparkan alasan yang membuat umat Tolotang bertahan dan akhirnya berafiliasi dengan agama Hindu. Dalam upaya eksistensinya, mereka sempat mengalami memori tak mengenakan dengan Islam. Bibitnya muncul 1966 silam, ketika muncul ketegangan antara Tolotang dengan mayoritas penduduk muslim.
Waktu itu, Bupati Sidrap, Sapada Mapangila menerbitkan empat kebijakan yang merugikan umat Tolotang. Pertama, tidak mengakui Tolotang sebagai agama tersendiri. Kedua, setiap penganut Tolotang harus mendaftarkan proses perkimpoian, rujuk, dan thalaq di KUA setempat. Ini mengacu pada UU Nomor 22/1964 juncto UU Nomor 23/1954, harus dilakukan secara Islam atau menurut peraturan pencatatan yang berlaku dalam Negara RI.
Ketiga, dilarang melakukan perkimpoian, talak, dan rujuk secara liar dan tidak didaftarkan. Keempat, memerintahkan pada seluruh kecamatan di Sidrap untuk melakukan hal-hal tersebut. Siapa saja yang tidak menuruti kebijakan tersebut tidak akan dilayani oleh pemerintah daerah.
Meski kepemimpinan Sapada Mapangile berakhir di tahun yang sama, empat regulasi itu tetap dipertahankan oleh penggantinya, Bupati Arifin Nu'man. Selain itu, peta politik nasional yang carut marut akibat peristiwa 1965 juga menambah sulit posisi Tolotang.
Saat itu tengah gencar pembasmian Partai Komunis Indonesia (PKI). Kondisi ini turut memengaruhi nasib Tolotang. Mereka ditekan oleh kebijakan pemerintah daerah untuk masuk ke dalam salah satu agama resmi yang diakui pemerintah. 'Nah, kalau tidak mengikuti, bisa diasumsikan sebagai bagian dari PKI,' kata Rijal, sapaan akrab Syamsurijal.
Terlebih, kebijakan Bupati itu mendapat dukungan militer setempat. Dandim 14015 Sidrap mengeluarkan radiogram Nomor T100/1966/27 September 1966, tentang kewajiban Towani-Tolotang memiliki salah satu agama. Belum lagi organisasi Islam turut mendukung upaya penghapusan Tolotang. Posisi Tolotang semakin sulit waktu Departemen Agama Sidrap mengeluarkan pernyataan Tolotang bukanlah agama.
'Mereka disuruh memeluk salah satu agama, dan kecenderungannya itu masuk Islam. Ada banyak orang ditangkap pada saat itu,' kata Rijal, yang tengah mengambil program doktor bidang sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, tersebut. Mereka tidak melawan, terutama karena tekanan juga datang dari pihak militer. Asumsi yang menguat mereka akan dianggap tak beragama (yang resmi diakui negara) dan bisa dikategorikan sebagai PKI.
Satu peristiwa menyedihkan dan membekas dalam memori orang Tolotang adalah ketika salah satu anggota komunitasnya meninggal. Saat jenazah hendak dikubur, dipaksakan menjalani prosesi pemakaman secara Islam. Meski bukan muslim, jenazah dipaksa dibawa ke masjid untuk disalatkan.
Peristiwa ini membuat mereka melapor ke pemerintah pusat. Tiga tokoh Tolotang berangkat ke Jakarta, yaitu Makkutengeng (seorang guru PNS), Tayyeb (guru dari Wajo), dan Tobo Tiwu (mahasiswa). Mereka mengadu terkait dengan perlakuan diskriminatif serta meminta perlindungan dari tindakan kekerasan.
Usaha mereka berbuah titik terang. Saifuddin Zuhri, selaku Menteri Agama yang juga ayah dari Menteri Agama saat ini, Lukman Hakim Saifuddin, mengirim surat kepada pemerintah Sidrap. Dalam surat bernomor DEPAG PM/II/794/19 April 1966, dinyatakan Tolotang sedang dalam penelitian Departemen Agama untuk ditentukan masuk agama resmi yang paling sesuai. Surat ini disusul dengan surat bernomor DEPAG/B/III/3/1519/22 Juli 1966 yang isinya melarang adanya unsur paksaan dalam memilih agama.
Berdasarkan hasil penelitian Depag, ajaran Tolotang dinilai paling mirip dengan Hindu. Maka terbitlah keputusan Dirjen Bimas Hindu Nomor 2/1996 yang menyatakan Towani-Tolotang bagian dari Hindu. Keputusan ini akhirnya diterima orang Tolotang. Kebijakan pemerintah memaksa mereka harus bergabung dengan salah satu agama resmi, juga untuk menghapus stigma ateis.
Kaum Tolotang adalah bagian dari orang Bugis, yang mayoritas menganut Islam. Bahasa Bugis pun menjadi bahasa percakapan sehari-hari mereka.
Dalam upacara keagamaan mereka, para pria terbiasa menggunakan kain sarung dan kopiah. Wanita memakai kebaya dan kain sarung. Tidak hanya itu, ritual pemakaman mereka juga sangat mirip umat muslim. Jenazah orang Tolotang akan dikafani dan dikuburkan.
Rijal menyayangkan sikap pemerintah daerah terdahulu yang mengenalkan Islam dengan cara memaksa. Ia melihat, jika pendekatannya lebih baik, kecenderungan Tolotang akan lebih memilih Islam daripada Hindu. 'Tapi karena ada perlakuan seperti ini, mereka betul-betul talak tiga dengan Islam dan memilih Hindu,' ungkapnya.
Menurut Rijal, umat Tolotang punya prinsip bahwa kalau sudah diingkari tidak akan kembali lagi. 'Cara-cara yang dilakukan umat Islam saat itu kurang bagus. Mereka punya kenangan sangat buruk dengan situasi itu,' ujarnya.
Kekecewaan terhadap Islam pula yang membuat komunitas Tolotang berafiliasi ke Golkar ketika penguasa Orde Baru menyederhanakan sistem politik ke dalam dua partai politik (PDI dan PPP) dan Golkar, bukannya ke partai yang berbasis Islam (PPP). Pilihan politik ini juga dipengaruhi oleh uluran tangan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), organisasi sayap Golkar, yang menindaklanjuti pengaduan warga Tolotang atas perlakukan diskriminatif terhadap mereka. Ketika itu, MKGR menurunkan peneliti untuk melihat situasi Tolotang dan membantu menyampaikan aspirasi ke para elite di Jakarta. 'Langkah yang dilakukan Tolotang merupakan strategi mereka untuk survive,' ujar Rijal.
Dijelaskan Rijal, keputusan Tolotang memilih Hindu merupakan langkah sangat strategis. 'Stategi mereka memilih Hindu, karena Hindu bisa mengakomodasi keyakinan-keyakinan lokal semacam ini,' katanya. Hindu tidak terlalu banyak mencampuri kultural Tolotang. Sampai sekarang mereka tetap bisa menjalankan ajaran para leluhurnya.
Pernyataan Syamsurijal ini dibenarkan Uwa Narto. Sejak bergabung ke Hindu, segala hak-hak sebagai warga negara terpenuhi. Tidak ada kesulitan dalam mengurus berbagai keperluan administrasi negara seperti akta kelahiran, kartu tanda penduduk, maupun kartu keluarga. Akses di bidang politik maupun berkarir di militer pun nyaris tanpa jegalan.
'Kita punya hubungan baik dengan Hindu. Ada kesepakatan yang terjalin lama," ujar Uwa Narto. Bahkan ketika ada anggota DPR dan DPD menawarkan bantuan agar Tolotang menjadi aliran kepercayaan yang dilindungi negara, umatnya menolak. "Orang Tolotang pantang melanggar jika Hindu masih patuh dengan kesepakatan tersebut,' ia menegaskan.
Meski tergabung dengan Hindu sejak 1966, umat Tolotang Sidrap baru memiliki perwakilan di pemerintah daerah pada 2013. 'Tugas saya perpanjangan tangan dari Bimas Hindu yang ada di Kanwil, baik di bidang urusan agama maupun pendidikan agama Hindu,' kata Penyelenggara Hindu di Kantor Kementerian Agama Sidrap, I Gusti Ayu Uik Astuti.
Permasalahan lain yang dirasakan umat Tolotang adalah dalam hal pemenuhan kebutuhan guru agama Hindu di sekolah serta terbatasnya ketersediaan mata pelajaran agama itu di sekolah. Menurut Ayu, pelajaran agama itu baru ada di sekolah tertentu di mana Hindu mayoritas, seperti Tellu Limpoe dan Watang Pulu.
Setidaknya ada 3.870 siswa Hindu yang harus mendapatkan hak pengajaran itu. Mereka hanya ditangani oleh 14 guru PNS yang telah berkualifikasi pendidikan agama Hindu. Serta ada perbantuan dari hampir 30 guru non-PNS. 'Kami sangat membutuhkan tenaga pendidik agama hindu,' Ayu menegaskan.
Namun, menurut Ayu, pengangkatan guru itu kebijakan dari pemda. Pihaknya hanya sebagai pengusul kebutuhan. Memang, untuk daerah bersiswa Hindu sedikit, pemerintah mengakomodasi lewat lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu, Pasraman. 'Pasraman ini stastusnya non-formal. Belum ada di bawah Kemenag,' ujar Ayu.
Umat Tolontang lekat dengan agama Hindu. Juga memiliki kemiripan dengan islam. Tidak hanya itu, mereka juga terbiasa hidup rukun dan penuh tolerasi dengan pemeluk agama lain di Sidrap. Hal itu diakui Kasman Salmih, penganut Islam yang tinggal di Tellu Limpoe.
Penduduk asli Sidrap berusia 73 tahun itu bertetangga dengan penganut Tolontang Hindu dan juga Tolontang Benteng, sebutan bagi pemeluk Tolotang yang mualaf. Di kawasan itu ia menjadi minoritas yang membaur dan hidup harmonis. 'Tidak pernah ada ribut. Dia kerjakan dia punya agama, saya juga,' kata mantan guru tersebut.
Sama halnya dalam hal perpindahan agama. Di komunitas Tolotang, itu bukanlah perkara genting yang merusak hubungan keluarga. Begitu pun ketika ada umat agama lain yang menikah dengan orang Tolotang dan memilih agama Tolotang atau sebaliknya.
Kondisi itu yang dirasakan Eka Sutra, orang Tolontang yang lahir di Sidrap. Dalam keluarga pengusaha mebel tersebut, ada kerabatnya yang berpindah memeluk Islam. 'Soal siapa yang mau ikut agama apa, itu menjadi urusan pribadi yang akan menjalani. Kita masih bersaudara,' ujar pria berusia 38 tahun itu.
Dalam hal perkimpoian, Uwa Narto menjelaskan tidak ada larangan bagi umat Tolotang menikah dengan penganut agama lain. Meskipun begitu, biasanya mereka menikah dengan orang dari komunitas sendiri. Tidak heran, sesama orang Tolotang saling kenal meskipun mereka sudah berpindah ke tempat lain di luar Sidrap.
Putri Kartika Utami (Sidrap)
= = =
TOLOTANG
Tolotang adalah agama lokal yang menyembah Dewata Seuwae, Tuhan yang Maha Esa Pencipta alam semesta. La Panaungi sebagai penerima wahyu pertama yang diutus tuhan untuk menyebarkan ajaran ini. I Goliga dan I Paberre merupakan dua tokoh yang dianggap pelopor ajaran ini.
Asal:
Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan
Lokasi penganut:
Penganut Tolotang terkonsentrasi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Meski jumlahnya tak sebesar di Sidrap, beberapa dapat djumpai di Kabupaten Wajo. Ada juga yang bermukim di Kabupaten Barru, Kota Parepare, dan wilayah lain karena urusan pekerjaan.
Jumlah penganut:
Berdasarkan data Penyelenggara Hindu Kemenag Sidrap tahun 2015, pemeluk Tolotang berjumlah 30.672 orang.
Kitab suci:
Lontara
Kekuasan Tertingi:
Dewata Seuwae
Upacara keagamaan:
Parinyameng merupakan hari raya umat Tolotang. Ritual ini diselenggarakan setiap Januari dengan berziarah massal ke makan I Pabbere. Selain itu, umat Tolotang juga menggelar ritual untuk peristiwa kelahiran, kematian, dan pernikahan.
http://arsip.gatra.com/2016-07-04/ma...l=23&id=162386
Agama lokal Tolotang secara struktural terafiliasi dengan Hindu. Namun kultural mereka memiliki ajaran sendiri. Hindu bisa mengakomodasi keyakinan-keyakinan lokal mereka.
Ada yang menarik di Kecamatan Tellu Limpoe, Kelurahan Amparita, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Di balik mayoritas penduduk Bugis muslim, ternyata wilayah itu memiliki jumlah pemeluk agama Hindu cukup besar, mencapai 11.290 orang. Uniknya, di sana tak tampak satu pun bangunan tempat peribadatan pura.
Ternyata Hindu Amparita berbeda dengan Hindu di Bali. Dalam identitas resmi negara, mereka tercatat sebagai penganut agama yang berasal dari India tersebut. Namun secara kultural mereka punya keyakinan sendiri dengan ajaran Tolotang, sebuah agama lokal dari tanah Bugis.
Yang membuat mereka tercatat sebagai pemeluk Hindu, karena kebijakan negara ketika itu memaksa Tolotang bergabung dengan Hindu sebagai salah satu agama resmi yang diakui. 'Bisa saja membangun pura, tapi untuk apa? Karena orang Tolotang sudah punya tempat ibadah sendiri,' kata Uwa Narto kepada Gatra, awal Juni lalu. Uwa merupakan sebutan untuk tokoh agama komunitas Tolotang.
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar, Syamsurijal Ad'han, memaparkan alasan yang membuat umat Tolotang bertahan dan akhirnya berafiliasi dengan agama Hindu. Dalam upaya eksistensinya, mereka sempat mengalami memori tak mengenakan dengan Islam. Bibitnya muncul 1966 silam, ketika muncul ketegangan antara Tolotang dengan mayoritas penduduk muslim.
Waktu itu, Bupati Sidrap, Sapada Mapangila menerbitkan empat kebijakan yang merugikan umat Tolotang. Pertama, tidak mengakui Tolotang sebagai agama tersendiri. Kedua, setiap penganut Tolotang harus mendaftarkan proses perkimpoian, rujuk, dan thalaq di KUA setempat. Ini mengacu pada UU Nomor 22/1964 juncto UU Nomor 23/1954, harus dilakukan secara Islam atau menurut peraturan pencatatan yang berlaku dalam Negara RI.
Ketiga, dilarang melakukan perkimpoian, talak, dan rujuk secara liar dan tidak didaftarkan. Keempat, memerintahkan pada seluruh kecamatan di Sidrap untuk melakukan hal-hal tersebut. Siapa saja yang tidak menuruti kebijakan tersebut tidak akan dilayani oleh pemerintah daerah.
Meski kepemimpinan Sapada Mapangile berakhir di tahun yang sama, empat regulasi itu tetap dipertahankan oleh penggantinya, Bupati Arifin Nu'man. Selain itu, peta politik nasional yang carut marut akibat peristiwa 1965 juga menambah sulit posisi Tolotang.
Saat itu tengah gencar pembasmian Partai Komunis Indonesia (PKI). Kondisi ini turut memengaruhi nasib Tolotang. Mereka ditekan oleh kebijakan pemerintah daerah untuk masuk ke dalam salah satu agama resmi yang diakui pemerintah. 'Nah, kalau tidak mengikuti, bisa diasumsikan sebagai bagian dari PKI,' kata Rijal, sapaan akrab Syamsurijal.
Terlebih, kebijakan Bupati itu mendapat dukungan militer setempat. Dandim 14015 Sidrap mengeluarkan radiogram Nomor T100/1966/27 September 1966, tentang kewajiban Towani-Tolotang memiliki salah satu agama. Belum lagi organisasi Islam turut mendukung upaya penghapusan Tolotang. Posisi Tolotang semakin sulit waktu Departemen Agama Sidrap mengeluarkan pernyataan Tolotang bukanlah agama.
'Mereka disuruh memeluk salah satu agama, dan kecenderungannya itu masuk Islam. Ada banyak orang ditangkap pada saat itu,' kata Rijal, yang tengah mengambil program doktor bidang sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, tersebut. Mereka tidak melawan, terutama karena tekanan juga datang dari pihak militer. Asumsi yang menguat mereka akan dianggap tak beragama (yang resmi diakui negara) dan bisa dikategorikan sebagai PKI.
Satu peristiwa menyedihkan dan membekas dalam memori orang Tolotang adalah ketika salah satu anggota komunitasnya meninggal. Saat jenazah hendak dikubur, dipaksakan menjalani prosesi pemakaman secara Islam. Meski bukan muslim, jenazah dipaksa dibawa ke masjid untuk disalatkan.
Peristiwa ini membuat mereka melapor ke pemerintah pusat. Tiga tokoh Tolotang berangkat ke Jakarta, yaitu Makkutengeng (seorang guru PNS), Tayyeb (guru dari Wajo), dan Tobo Tiwu (mahasiswa). Mereka mengadu terkait dengan perlakuan diskriminatif serta meminta perlindungan dari tindakan kekerasan.
Usaha mereka berbuah titik terang. Saifuddin Zuhri, selaku Menteri Agama yang juga ayah dari Menteri Agama saat ini, Lukman Hakim Saifuddin, mengirim surat kepada pemerintah Sidrap. Dalam surat bernomor DEPAG PM/II/794/19 April 1966, dinyatakan Tolotang sedang dalam penelitian Departemen Agama untuk ditentukan masuk agama resmi yang paling sesuai. Surat ini disusul dengan surat bernomor DEPAG/B/III/3/1519/22 Juli 1966 yang isinya melarang adanya unsur paksaan dalam memilih agama.
Berdasarkan hasil penelitian Depag, ajaran Tolotang dinilai paling mirip dengan Hindu. Maka terbitlah keputusan Dirjen Bimas Hindu Nomor 2/1996 yang menyatakan Towani-Tolotang bagian dari Hindu. Keputusan ini akhirnya diterima orang Tolotang. Kebijakan pemerintah memaksa mereka harus bergabung dengan salah satu agama resmi, juga untuk menghapus stigma ateis.
Kaum Tolotang adalah bagian dari orang Bugis, yang mayoritas menganut Islam. Bahasa Bugis pun menjadi bahasa percakapan sehari-hari mereka.
Dalam upacara keagamaan mereka, para pria terbiasa menggunakan kain sarung dan kopiah. Wanita memakai kebaya dan kain sarung. Tidak hanya itu, ritual pemakaman mereka juga sangat mirip umat muslim. Jenazah orang Tolotang akan dikafani dan dikuburkan.
Rijal menyayangkan sikap pemerintah daerah terdahulu yang mengenalkan Islam dengan cara memaksa. Ia melihat, jika pendekatannya lebih baik, kecenderungan Tolotang akan lebih memilih Islam daripada Hindu. 'Tapi karena ada perlakuan seperti ini, mereka betul-betul talak tiga dengan Islam dan memilih Hindu,' ungkapnya.
Menurut Rijal, umat Tolotang punya prinsip bahwa kalau sudah diingkari tidak akan kembali lagi. 'Cara-cara yang dilakukan umat Islam saat itu kurang bagus. Mereka punya kenangan sangat buruk dengan situasi itu,' ujarnya.
Kekecewaan terhadap Islam pula yang membuat komunitas Tolotang berafiliasi ke Golkar ketika penguasa Orde Baru menyederhanakan sistem politik ke dalam dua partai politik (PDI dan PPP) dan Golkar, bukannya ke partai yang berbasis Islam (PPP). Pilihan politik ini juga dipengaruhi oleh uluran tangan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), organisasi sayap Golkar, yang menindaklanjuti pengaduan warga Tolotang atas perlakukan diskriminatif terhadap mereka. Ketika itu, MKGR menurunkan peneliti untuk melihat situasi Tolotang dan membantu menyampaikan aspirasi ke para elite di Jakarta. 'Langkah yang dilakukan Tolotang merupakan strategi mereka untuk survive,' ujar Rijal.
Dijelaskan Rijal, keputusan Tolotang memilih Hindu merupakan langkah sangat strategis. 'Stategi mereka memilih Hindu, karena Hindu bisa mengakomodasi keyakinan-keyakinan lokal semacam ini,' katanya. Hindu tidak terlalu banyak mencampuri kultural Tolotang. Sampai sekarang mereka tetap bisa menjalankan ajaran para leluhurnya.
Pernyataan Syamsurijal ini dibenarkan Uwa Narto. Sejak bergabung ke Hindu, segala hak-hak sebagai warga negara terpenuhi. Tidak ada kesulitan dalam mengurus berbagai keperluan administrasi negara seperti akta kelahiran, kartu tanda penduduk, maupun kartu keluarga. Akses di bidang politik maupun berkarir di militer pun nyaris tanpa jegalan.
'Kita punya hubungan baik dengan Hindu. Ada kesepakatan yang terjalin lama," ujar Uwa Narto. Bahkan ketika ada anggota DPR dan DPD menawarkan bantuan agar Tolotang menjadi aliran kepercayaan yang dilindungi negara, umatnya menolak. "Orang Tolotang pantang melanggar jika Hindu masih patuh dengan kesepakatan tersebut,' ia menegaskan.
Meski tergabung dengan Hindu sejak 1966, umat Tolotang Sidrap baru memiliki perwakilan di pemerintah daerah pada 2013. 'Tugas saya perpanjangan tangan dari Bimas Hindu yang ada di Kanwil, baik di bidang urusan agama maupun pendidikan agama Hindu,' kata Penyelenggara Hindu di Kantor Kementerian Agama Sidrap, I Gusti Ayu Uik Astuti.
Permasalahan lain yang dirasakan umat Tolotang adalah dalam hal pemenuhan kebutuhan guru agama Hindu di sekolah serta terbatasnya ketersediaan mata pelajaran agama itu di sekolah. Menurut Ayu, pelajaran agama itu baru ada di sekolah tertentu di mana Hindu mayoritas, seperti Tellu Limpoe dan Watang Pulu.
Setidaknya ada 3.870 siswa Hindu yang harus mendapatkan hak pengajaran itu. Mereka hanya ditangani oleh 14 guru PNS yang telah berkualifikasi pendidikan agama Hindu. Serta ada perbantuan dari hampir 30 guru non-PNS. 'Kami sangat membutuhkan tenaga pendidik agama hindu,' Ayu menegaskan.
Namun, menurut Ayu, pengangkatan guru itu kebijakan dari pemda. Pihaknya hanya sebagai pengusul kebutuhan. Memang, untuk daerah bersiswa Hindu sedikit, pemerintah mengakomodasi lewat lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu, Pasraman. 'Pasraman ini stastusnya non-formal. Belum ada di bawah Kemenag,' ujar Ayu.
Umat Tolontang lekat dengan agama Hindu. Juga memiliki kemiripan dengan islam. Tidak hanya itu, mereka juga terbiasa hidup rukun dan penuh tolerasi dengan pemeluk agama lain di Sidrap. Hal itu diakui Kasman Salmih, penganut Islam yang tinggal di Tellu Limpoe.
Penduduk asli Sidrap berusia 73 tahun itu bertetangga dengan penganut Tolontang Hindu dan juga Tolontang Benteng, sebutan bagi pemeluk Tolotang yang mualaf. Di kawasan itu ia menjadi minoritas yang membaur dan hidup harmonis. 'Tidak pernah ada ribut. Dia kerjakan dia punya agama, saya juga,' kata mantan guru tersebut.
Sama halnya dalam hal perpindahan agama. Di komunitas Tolotang, itu bukanlah perkara genting yang merusak hubungan keluarga. Begitu pun ketika ada umat agama lain yang menikah dengan orang Tolotang dan memilih agama Tolotang atau sebaliknya.
Kondisi itu yang dirasakan Eka Sutra, orang Tolontang yang lahir di Sidrap. Dalam keluarga pengusaha mebel tersebut, ada kerabatnya yang berpindah memeluk Islam. 'Soal siapa yang mau ikut agama apa, itu menjadi urusan pribadi yang akan menjalani. Kita masih bersaudara,' ujar pria berusia 38 tahun itu.
Dalam hal perkimpoian, Uwa Narto menjelaskan tidak ada larangan bagi umat Tolotang menikah dengan penganut agama lain. Meskipun begitu, biasanya mereka menikah dengan orang dari komunitas sendiri. Tidak heran, sesama orang Tolotang saling kenal meskipun mereka sudah berpindah ke tempat lain di luar Sidrap.
Putri Kartika Utami (Sidrap)
= = =
TOLOTANG
Tolotang adalah agama lokal yang menyembah Dewata Seuwae, Tuhan yang Maha Esa Pencipta alam semesta. La Panaungi sebagai penerima wahyu pertama yang diutus tuhan untuk menyebarkan ajaran ini. I Goliga dan I Paberre merupakan dua tokoh yang dianggap pelopor ajaran ini.
Asal:
Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan
Lokasi penganut:
Penganut Tolotang terkonsentrasi di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Meski jumlahnya tak sebesar di Sidrap, beberapa dapat djumpai di Kabupaten Wajo. Ada juga yang bermukim di Kabupaten Barru, Kota Parepare, dan wilayah lain karena urusan pekerjaan.
Jumlah penganut:
Berdasarkan data Penyelenggara Hindu Kemenag Sidrap tahun 2015, pemeluk Tolotang berjumlah 30.672 orang.
Kitab suci:
Lontara
Kekuasan Tertingi:
Dewata Seuwae
Upacara keagamaan:
Parinyameng merupakan hari raya umat Tolotang. Ritual ini diselenggarakan setiap Januari dengan berziarah massal ke makan I Pabbere. Selain itu, umat Tolotang juga menggelar ritual untuk peristiwa kelahiran, kematian, dan pernikahan.
http://arsip.gatra.com/2016-07-04/ma...l=23&id=162386
0
1.8K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan