Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

xenoprotonAvatar border
TS
xenoproton
Hukum Mendoakan & Menyalatkan Orang Yang Wafat Karena Bunuh Diri Dalam Islam
Hukum Mendoakan Dan Menyalatkan Orang Yang Wafat Karena Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam

Bolehkah menyalatkan orang yang mati bunuh diri? Misalnya, ia sengaja menggantung dirinya, menusuk diri dengan sebilah pisau, membakar diri, mengonsumsi racun atau menenggelamkan dirinya di tepi pantai. Sebagian muslim menganggap ia tidak boleh dishalatkan. Namun bagaimana pandangan Islam itu sendiri?
Ada yang pernah bertanya pada Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam,

“Kami pernah dapati orang yang mati tergantung di atas pohon dan di lehernya terdapat tali. Kami tidak mengetahui apakah orang tersebut mati tercekik (karena bunuh diri) atau ada yang membunuhnya lalu menggantungnya di atas pohon. Jika dia membunuh dirinya sendiri dengan menggantung dirinya di atas pohon, apakah ia dishalatkan oleh kaum muslimin?”

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menjawab, “Jika ia seorang muslim, maka ia tetap dishalatkan baik ia mati bunuh diri atau dibunuh oleh orang lain. Jika ia sampai membunuh dirinya sendiri, itu termasuk dosa besar. Karena seorang muslim tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Allah mengharamkan seseorang membunuh dirinya sendiri.

Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِن اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya pada hari kiamat, niscaya ia akan disiksa dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika ia jelas bunuh diri, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar. Namun ia tetap dishalatkan. Walau ada yang berbeda penilaian, namun yang tepat ia tetap dishalatkan. Sebagian muslim tetap menyolatkan, memandikan, mengafani dan menguburkannya.

Begitu pula ketika diketahui ia dibunuh oleh orang lain secara zalim, ia tetap dimandikan dan dishalatkan. Ia dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin. Wallahul musta’an. Laa hawla wa laa quwwata illa billah, tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari Allah.

Demikian fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang penulis ambil dari website pribadi beliau.
Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Umat Islam bersepakat bahwa orang yang melakukan dosa meskipun melakukan dosa besar tetap dishalatkan. Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

صلوا على كل من قال لا إله إلا الله محمد رسول الله
“Shalatkanlah setiap orang yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallahu Muhammad Rasulullah (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah)”, meskipun dalam sanadnya ada kelemahan. Apa yang kami sebutkan dari ijma (konsensus) dapat menguatkan dan menshahihkannya.” (Al Istidzkar, 3: 29)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Al Qadhi mengatakan, menurut pendapat para ulama, setiap jenazah muslim baik meninggal karena suatu hukuman, dirajam, bunuh diri dan anak zina tetap dishalatkan. Imam Malik dan lainnya berpendapat bahwa pemimpin umat sebaiknya tidak menyalati orang seperti itu ketika ia dihukum mati karena suatu hukuman. Dari Az Zuhri, ia berkata bahwa orang yang terkena hukuman rajam dan yang diqishash tetap dishalatkan. Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang berbuat keonaran dan orang yang terbunuh dari kalangan kelompok pembangkang tidak dishalatkan.” (Lihat Syarh Muslim karangan Nawawi)

Dalil yang menunjukkan akan kewajiban shalat kepada pelaku kemaksiatan adalah apa yang diriwayatkan oleh Samurah radhiyallahu anhu,
أَن رَجُلا قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَ : أَما أَنَا فَلا أُصَلي عَلَيْه
“Ada orang yang bunuh diri dengan pisau, maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Kalau saya, maka saya tidak shalatkan dia.” (HR. An Nasa’i no. 1964 dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)

Nampaknya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyetujui para sahabat yang menyalatinya. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam enggan menyalatinya sebagai hukuman terhadap kemaksiatannya dan sebagai pelajaran bagi orang lain atas perbuatannya.

Ini menunjukkan dianjurkannya menyalatkan pelaku maksiat kecuali pemimpin umat. Seyogyanya dia tidak menyalatkan pelaku dosa besar yang terus menerus dan mati dalam kondisi seperti itu. Hal ini dilakukan karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya yang lain jera dan tidak melakukan semacam itu.
Ibnu Abdul Barr rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menyalati pelaku dosa besar. Akan tetapi tidak boleh melarang orang lain menyalatkannya. Bahkan ia harus memberikan arahan pada orang lain sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan, ‘Shalatkanlah sahabat kalian’.” (Al Istidzkar, 5: 85)

Orang yg mati bunuh diri tidak kesemuanya dalam kekufuran, demikian dalam madzhab syafii, sebab ada hadits riwayat shahih muslim bahwa dua orang dimasa Rasul saw Hijrah menuju madinah, lalu salah satu temannya sakit parah, ia tak tahan menahan sakitnya dan bunuh diri, setelah menguburkan temannya, maka ia yg tinggal seorang diri meneruskan perjalanan berhari hari tentunya ke madinah, ditengah perjalanan ia tertidur dan bermimpi jumpa dg temannya dan tangannya hangus, maka si wafat itu berkata :

aku diampuni Allah karena hijrahku pada Rasul saw, kecuali tanganku ini..!, maka temannya terbangun, lalu melanjutkan perjalanan sampai tiba di madinah, ia jumpa dg rasul saw dan menceritakan mimpinya dan masalah temannya yg bunuh diri, maka Rasul saw mengangkat tangannya dan berdoa : Wahai Allah ampunilah tangannya, wahai Allah ampunilah tangannya (Shahih Muslim)

Walau sahabat itu bermimpi dan mimpi tak bisa dijadikan dalil, namun mimpi itu dibenarkan oleh Rasul saw hingga Rasul saw mendoakan orang yg bunuh diri itu, ini menjadi dalil bahwa tidak semua orang mati bunuh diri itu dalam keadaan kufur.

sedangkan dalil orang yg mati bunuh diri adalah kufur adalah riwayat shahih Bukhari dan lainnya, seorang yg berjihad bersama Rasul saw dan dipuji oleh para sahabat, namun Rasul saw bersabda: ia akan mati masuk neraka, maka sahabat bingung karena orang itu sangat hebat dan bakti dalam jihad, tak lama orang itu luka parah dan bunuh diri.

maka menengahi kedua riwayat ini, imam syafii menghukumi orang yg mati bunuh diri untuk tetap diperlakukan sebagai muslim, dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman muslimin secara islami.

karena tidak diketahui mungkin saat ia sudah memotong urat nadinya atau sudah minum racun dll lalu ia menyesal dan bertobat, namun ia sudah terlanjur tak bisa lagi menggagalkan perbuatannya, dan wafat dalam keadaan tobat, mungkin itu yg terjadi pada orang yg bunuh diri kemudian didoakan Rasul saw sebagaimana riwayat shahih muslim diatas,

Dan mungkin mujahid yg teguh dan bakti itu ketika luka parah, ia kesal dan bunuh diri, dan dalam hatinya ia menyesal kenapa ia masuk islam hingga akhirnya sakit luka parah, maka ia wafat dalam keadaan kufur,
kita tidak tahu orang yg bunuh diri diantara kita, apa niat akhirnya sebelum ia wafat?

Sumber
https://islamqa.info

Sekedar menambah wawasan dan pengetahuan
Diubah oleh xenoproton 19-12-2017 09:45
0
13.2K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan