Bentrokan antarpendukung sepak bola sudah sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia. Tidak jarang juga bentrokan yang konon dilakukan demi kehormatan klub sampai membuat nyawa orang melayang.

Entah apa yang melandasi perilaku ala preman tersebut. Mereka seolah menjadi mesin pembunuh yang tak memandang konsekuensi.

Ironis memang ketika bangsa ini miskin prestasi di dunia sepak bola, tapi menjadi tersohor karena ulah suporter yang sangat keji.

Keganasan para pendukung klub memang bukan hal yang baru terjadi akhir-akhir ini, tetapi sudah berlangsung sejak lama. Perilaku biadab tersebut seolah menjadi budaya yang sakral dan sulit dihilangkan. Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas terpeliharanya budaya tersebut?



Baru beberapa hari yang lalu tersiar kabar pendukung Persib Bandung melakukan penganiayaan terhadap sesama pendukung klub tersebut hingga tewas. Hal tersebut terjadi karena kesalahpahaman. Para pendukung Persib, yang dikenal dengan sebutan Bobotoh, mengira korban Ricko Andrean adalah seorang pendukung Persija atau The Jakmania.

Apapun alasannya, hal tersebut sepatutnya tidak terjadi. Tak peduli siapa yang menjadi korban, para pendukung seharusnya memberikan dukungan tanpa kekerasan di dalam ataupun di luar stadion.

Ironis memang peristiwa tersebut menimpa pendukung Persib sendiri. Apakah wajah suporter sepak bola Tanah Air sudah sedemikian buruk?

Jika bicara siapa yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini, tentunya si pelaku. Namun, rasanya tidak akan efektif jika sumber kekerasan itu tidak ditelusuri.

Fanatisme pendukung sepak bola memang sudah menjamur di berbagai belahan dunia. Sebagai olahraga yang mendunia, sepak bola umumya memiliki basis pendukung yang fanatik.

Pendukung sebuah klub yang tergabung dalam sebuah basis cenderung memiliki ideologi yang sama dengan pendukung klub lain. Apa yang terjadi jika keadaan tersebut diperburuk dengan adanya doktrin-doktrin fanatisme yang menyulut kekerasan? Sialnya, kekerasan suporter ini kerap digawangi oleh pihak-pihak yang memiliki pengaruh besar dalam suatu kelompok.

Orang awam mungkin akan heran input apa yang diberikan kepada para anggota sampai mereka membenci dan berniat menyerang kelompok suporter lain. Padahal, basis pendukung diharapkan dapat mengakomodasi para pendukung klub bersangkutan agar menjaga citra baik dan memberikan kenyamanan, bukan dengan dogma yang menyesatkan.



Kasus bentrokan pendukung Persib dan Persija memang sudah berkali-kali terjadi. Meski ini hanya sebagian kecil bentuk bentrokan di dunia sepak bola, sudah saatnya mereka tak lagi berkiblat pada sisi kelam cabang olahraga tersebut.

Basis pendukung sepatutnya memberikan contoh yang baik dengan mengedukasi anggotanya, bukan menanamkan kebencian kepada pendukung klub lain. Dengan edukasi, mereka diharapkan bisa meredam oknum tindak kekerasan dan memberikan efek jera jika memang ada anggota yang terlibat bentrok.

Menciptakan kerja sama apik dengan pihak-pihak berwenang, seperti dengan induk organisasi pun bisa ditempuh agar segala macam bentuk kegiatan tidak lagi mengundang reaksi negatif. Di lain sisi, induk organisasi pun harus dapat menjamin hak-hak suporter tanpa pandang bulu.

Menyikapi kasus-kasus anarkisme dengan tegas dapat memberikan rasa adil dan meredam kericuhan yang mungkin terjadi di kemudian hari. Selain itu, sikap tegas juga bisa menjadi contoh agar siapa pun yang ingin menjadi "jagoan" harus berpikir dua kali sebelum bertindak.

Jangan heran jika korban kembali berjatuhan di dunia sepak bola dalam negeri jika basis pendukung atau induk organisasi sepak bola masih bersikap permisif terhadap tindakan-tindakan anarkis dan agresif. Bukankah pada dasarnya kita menginginkan sepak bola yang sportif?