BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Jangan biarkan pendidikan kehilangan arah

DARURAT MUTU | Ujian Nasional diijanjikan sebagai pemetaan mutu pendidikan nasional. Sudahkah janji itu dilaksanakan?
Di tengah ingar-bingar pemberitaan tentang korupsi atau pemilihan kepala daerah di Ibu Kota, sepanjang Maret hingga Mei 2017 adalah masa ujian bagi para siswa. Khususnya bagi para siswa di tingkat akhir pada jenjang pendidikan menengah.

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) untuk SMK direncanakan pada 3-6 April 2017, dan untuk jenjang SMA/MA pada 10-13 April. UN untuk SMP/MTs dirancang dua gelombang, pertama pada 2, 3, 4, dan 15 Mei, dan gelombang kedua pada 8, 9, 10, 16 Mei.

UN di jenjang SMP sederajat menguji mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA. Adapun di jenjang SMA, hanya menguji Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.

Sedangkan jadwal pelaksanaan USBN, untuk jenjang SMA/SMK pada 20-23 Maret, dan untuk jenjang SMP sederajat pada 17-19 April 2017.

Meski tak juga bebas dari kontroversi, UN tetap diselenggarakan. Editorial media ini sudah pernah mengulas isu moratorium UN, yang akhirnya kandas. UN jalan terus, lalu ujian sekolah ditingkatkan menjadi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) untuk beberapa mata pelajaran.

Mendorong pelaksanaan USBN, artinya pemerintah tetap melaksanakan pengembangan standar nasional pendidikan meski kewenangannya didesentralisasikan ke daerah. Desentralisasi kewenangan itu terutama dalam hal pembuatan soal.

Soal UN tetap dibuat oleh pusat (Kemendikbud) berdasarkan kisi-kisi yang dikeluarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Untuk USBN, naskah soalnya dibuat guru-guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG) sebagai organisasi profesi. Soal-soal itu dipadukan dengan soal dari pusat, sebesar 20 sampai dengan 25 persen.

Pemerintah provinsi bertanggung jawab untuk soal USBN di jenjang SMA/SMK, dan pemerintah kota/kabupaten untuk jenjang SMP.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, USBN-lah yang kini menentukan kelulusan. "Malah sekarang," katanya, "Ujian Nasional yang nggak. Sekarang yang rawan (bocor) itu USBN karena menentukan kelulusan."

Benar saja, kita mendapat kabar buruk tentang siswi yang bunuh diri karena merasa diintimidasi. Mulanya, dugaan kebocoran kunci jawaban soal USBN di Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Kebocoran itu memang tengah ditelisik, namun tragedi di atasnya nyata.

Kriteria kelulusan, kini di tangan sekolah. Sekolah paling tidak harus mempertimbangkan apakah siswa telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran, sikap dan perilakunya minimal memperoleh nilai "baik", dan telah lulus Ujian Sekolah dan USBN.

Sedangkan hasil UN, kini digunakan sebagai dasar pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, seleksi untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, dan pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan demi peningkatan mutu pendidikan.

Pertanyaan penting untuk pelaksanaan Ujian Nasional selama ini adalah, seperti apa gambaran mutu pendidikan kita?

Apakah gambaran mutu pendidikan cukup dengan angka-angka partisipasi, rasio jumlah guru-murid, atau jumlah bangunan sekolah/satuan pendidikan?

Peringatan tentang mutu pendidikan, sudah muncul dalam laporan Global Education Monitoring (GEM) Report 2016. Laporan ini mengklaim memperlihatkan kelayakan ukuran yang jauh lebih baik menyangkut unsur, kualitas dan pencapaian pendidikan.

Alih-alih mengandalkan ukuran yang bersifat kasar seputar pendaftaran dan penyelesaian sekolah, data besar, alat survei lebih baik, pemantauan fasilitas dan teknologi informasi, bisa menghasilkan ukuran yang mengandung jauh lebih banyak nuansa bagi proses dan hasil pendidikan di semua jenjang.

"Kesenjangan mutu pendidikan masih menjadi kendala banyak negara, khususnya Indonesia," kata Asisten Direktur Jenderal untuk Pendidikan dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Qian Tang, dalam peluncuran laporan itu di Jakarta, akhir 2016 silam.

Indikator mendasar untuk mengukur mutu yang diajukan di tingkat global adalah keterampilan membaca dan matematika. Namun untuk mengukurnya, butuh konsensus mengenai isi kegiatan belajar yang akan dinilai, standar kualitas yang perlu dipenuhi oleh penilaian, serta tolok ukur pelaporan dan karakteristik penentu yang akan dipakai.

Gambaran kualitas kedua aspek, bisa dilihat dari hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA), yang dilakukan bersama dengan puluhan negara oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

OECD melakukan evaluasi berupa tes dan kuisoner pada beberapa negara terhadap siswa-siswi berumur 15 tahun, atau setara kelas IX atau X di Indonesia. Survei ini dilakukan tiga tahun sekali sejak 2000, mencakup aspek sains, membaca, dan matematika.

Survei PISA pada 2015, melibatkan 540.000 siswa di 70 negara. Hasilnya, Singapura menjadi pemuncak daftar itu. Performa siswa-siswi Indonesia untuk aspek sains, membaca, dan matematika, masing-masing di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Nyaris di urutan buncit dalam daftar tersebut.

Skor Indonesia di bidang sains 403, naik 3 poin dibanding rata-rata hasil survei tiga tahun sebelumnya. Di bidang membaca skornya 397, turun 2 poin; sedangkan di bidang matematika membaik, skornya 386 atau naik 4 poin dibanding rerata survei tiga tahun sebelumnya. Adapun rerata skor OECD adalah 493, 493, dan 490 untuk ketiga bidang.

Di balik angka-angka itulah mutu pendidikan Indonesia tergambar dengan lebih jelas.

Kembali ke pertanyaan terhadap UN, apakah hasilnya selama ini telah memotret hal yang sama? Apakah hasilnya sudah digunakan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan--seperti yang dijanjikan selama ini?

Keriuhan seputar kecurangan UN--atau hal-hal yang berkaitan dengan itu--bukan tak ada gunanya. Namun sudah waktunya mutu pendidikan menjadi isu utama, mulai dari kualitas soal UN hingga implementasi hasilnya.

Alih-alih memuncaki daftar PISA OECD, namun untuk mengatasi ketimpangan yang kian melebar. Bank Dunia pun sudah merekomendasikan, akses yang adil dan merata terhadap pendidikan bermutu, menjadi salah satu dari enam strategi yang berpeluang memberi dampak nyata untuk mengatasi ketimpangan sosial-ekonomi.

Ibarat menara suar, hasil UN bisa menjadi panduan bagi daerah untuk mengevaluasi diri, sehingga bisa mencapai tujuan mulia pendidikan nasional. Namun menara suar yang buruk, akan menyesatkan kapal-kapal yang berusaha menjangkau pelabuhan.

Kita tentu tidak ingin pendidikan kita kehilangan arah, membuat lebih dari 20 persen anggaran negara yang telah dialokasikan sia-sia belaka.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...ehilangan-arah

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Berharap keadilan dalam keterbukaan informasi data perbankan

- Selamatkan para penegak hukum dari teror dan intimidasi

- Mewaspadai terorisme

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan