irnasyaAvatar border
TS
irnasya
My Lady Isabelle
CHAPTER SATU
Gadis berambut sebahu itu memandang layar ponselnya dengan kesal. Berkali-kali dia menghubungi nomor seseorang yang sangat dia butuhkan untuk saat itu, Robie. Gadis itu kini menghentakkan kaki jenjangnya ke jalan, mata bulatnya terasa panas ingin mengelurkan sesuatu. Dia memasukkan ponsel yang tinggal hanya itulah harta yang dia miliki ke dalam tas selempang hitam miliknya. Berjalan gontai menyusuri jalanan kota London, tidak tertahan lagi bulir-bulir bening melewati pipi chubynya dan terisak. Harapannya pupus sudah mengadu nasib di kota metropolitan, nasib buruk menimpanya beberapa hari yang lalu.

Isabell POV
Aku menggeliat perlahan, melirik jam dinding yang tergantung manis di kamar kostku. Mengerjapkan mata berkali-kali setengah menguap, masih mengantuk efek kurang tidur semalaman. Hari ini Kakakku menikah dan sayangnya aku tidak dapat hadir dalam acara sakral tersebut karena pekerjaan yang menumpuk. Nasib memang tidak mudah ditebak, aku berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kantoran. Malah yang ada sekarang aku harus jadi buruh cuci gosok dan terkadang menjaga balita, milik wanita-wanita karier yang sibuk bekerja, memilih menggaji orang lain untuk mengurus rumah dan anaknya.
“Astaga! Oh Tuhan aku telat ... aduh Nyonya pasti sudah marah-marah di rumah, ini jam berapa? Mati kau Isabell!” pekikku sambil lari tersandung selimut dan segera mencuci muka sembarangan dan menggosok gigi dengan terburu-buru, hingga sikatnya membentur gusi beberapa kali membuatku mengaduh kesakitan.
Aku mengganti pakaian dengan cepat dan sembarangan mengikat rambut, segera berlari secepat mungkin. Aku melirik jam di tangan, perutku terasa perih minta diisi hanya saja aku bingung harus memakan apa. Tidak ada uang sepeser pun di dompet, uangku habis diambil pemilik kost karena sudah menunggak selama 2 bulan berturut-turut. Aku berusaha mencari pekerjaan sampingan lainnya sambil mencoba melamar ke beberapa perusahaan dan pabrik tetap saja hasilnya nol. Taxi berhenti membuyarkan lamunan, aku turun dan segera berlari menuju ke sebuah komplek perumahan mewah.
“Ini jam berapa Isabell? Kau bukan ratu ingat itu,” ucapku pada diri sendiri membayangkan sang pemilik rumah tengah menunggu dengan kesal. Pintu cokelat itu terbuka, menampilkan sosok wanita cantik dengan baju kantornya yang rapi. Tidak ada senyum atau sapa, aku menunduk dan sudah tahu kalau dia pasti marah besar.
“Masuklah! Aku ingin bicara denganmu,” ujarnya. Aku mengangguk pada dan mengikuti langkah wanita yang berwajah mirip Soraya Montenegro pemeran antagonis di drama kesukaan ibuku.
“Duduklah!” perintahnya, aku menurut dan duduk berhadapan dengannya. Dia menatapku sejenak dan mengambil sesuatu dari tas kulit berwarna hitam mengkilat yang bahkan aku tidak dapat bayangkan berapa harganya.
“Ini gajimu dan pesangon dariku. Kau tidak perlu lagi menjaga Ellena, kinerjamu sangat buruk Isabell, apa kau tahu aku ini sibuk. Ellena akan kutitipkan saja di tempat penitipan anak.” Demi apa, aku seperti mendengar suara petir menyambar di pagi bolong. Aku meremas tas selempang kumal dan mengatupkan bibir rapat-rapat.
“Maafkan saya, tapi ....”
“Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi, sekarang kau bisa pergi.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku memang bermasalah dan selalu telat dalam bekerja. Tidak hanya itu, beberapa kali Ellena terjatuh karena aku teledor dan malah ketiduran saat mengasuhnya. Aku menunduk dan berjalan gontai, kemana lagi sekarang kakiku melangkah? Uang ini harus kusimpan dan dipakai dengan hemat, mencari pekerjaan di ibukota tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Ayah, Ibu ... oh maafkan aku,” desahku meninggalkan rumah megah bergaya Eropa itu.

NORMAL POV
Isabell merutuki nasibnya yang selalu sial, setelah dipecat dari tempat si Nyonya cantik dia mencari pekerjaan kemana-mana dan hasilnya nihil. Di saat seperti itu, dia membutuhkan Robie—kekasihnya untuk sebuah semangat atau sekedar ucapan untuknya yang membuat energinya penuh untuk menghadapi kesulitan hidup. Ellena melihat isi dompetnya yang perlahan menipis dan berkurang, hanya satu nama yang terlintas di benaknya Dean, dia adalah kakak kandungnya yang beberapa hari lalu menikah dan dia tidak sempat datang.
“Halo, Isabell? Kau kah itu? Apa kabarmu? Kenapa kau tidak datang saat pernikahanku?” pertanyaan-pertanyaan dari Dean membuat Isabell pusing dan bingung harus menjawab yang mana dulu. Dia pun akhirnya menutup kembali ponselnya dan duduk di bangku taman kota, menghirup napas sebanyak mungkin dan membuangnya dengan keras ke udara.
“Memangnya kau bisa apa? Meninggalkan rumah dan nekat pergi ke London? Mencari uang atau pacarmu yang tidak jelas!”
“Aku ingin bekerja, aku tidak mau memakai uang Ayah lagi, aku bisa!”
“Bisa apa? Hah?! Ayah yakin kau hanya bertahan satu bulan di London Isa!”
“Cukup! Aku tidak mau dengar lagi Ayah,”
“Bagus, sekarang kau mulai menjadi pembangkang Isabell, silakan pergilah kemana pun kau suka tapi awas saja jangan sampai kau menyusahkan kakakmu Dean, awas saja kau berani meminta apa-apa darinya!”
Kata-kata ayahnya terngiang di telinga Isabel. Memang benar apa kata ayahnya, dia semata-mata pergi ke London bukan untuk bekerja, tapi mencari Robie—kekasih yang dikenalnya enam bulan lalu di sebuah pesta dan mereka selama ini berhubungan jarak jauh. Robie mengatakan jika dia pergi ke London dan meneruskan kuliahnya di sana. Sedangkan Isabell, oh bukan karena dia miskin atau bodoh. Orangtuanya terpandang dan memiliki perusahaan, Isabell hanya enggan meneruskan sekolah dan memilih menjadi penulis lepas, terkadang dia pergi ke tempat-tempat yang menurutnya bisa memberikan ide-ide cemerlang. Downey Salvador—sang ayah tidak menyukai hobi putri satu-satunya itu, dia menginginkan Isabell meneruskan kuliah dan menjadi pemegang perusahan berikutnya. Dean, tidak bisa diharapkan. Dia sudah pergi ke London dan memilih menjadi bakery atau pembuat roti, dia sudah memiliki toko kue sendiri. Sebenarnya Isabell bisa saja bekerja di sana dan membantu Dean, namun dia sudah berjanji tidak akan meminta bantuan siapa pun selama tinggal di London dan ingin mencari uang hasil kerja kerasnya sendiri.
Isabell merasakan tenggorokannya kering, dia hanya dapat menelan ludah melihat jejeran minuman segar di toko swalayan. Isabel ingin menjerit dan berteriak dalam hatinya, tiba-tiba ponsel yang sejak tadi digenggamnya bergetar, menandakan satu panggilan masuk. Isabell tersenyum ketika melihat naman seseorang tertera di layar ponselnya.
“Robie? Oh hanny kemana saja kau selama ini? Aku menghubungimu tapi nomormu selalu tidak aktif,” ujar Isabell.
“Kau di London?” tanya Robie suaranya terdengar parau,
“Ya, kau tahu aku sengaja ke sini untuk ....”
“Temui aku di cafe Aurora, kau tahu ‘kan?”
“Iya, tentu saja aku tahu. Kapan? Aku sangat rindu padamu ... sayang kau tahu itu ‘kan?’
“Hm, aku akan bersiap tunggu saja di sana, Isa.” Robie pun menutup teleponnya membuat Isabell sedikit kecewa, namun dengan tergesa-gesa dia merapikan rambut dan wajahnya dengan sedikit dipoles bedak dan lipstik berwarna pink. Isabell segera menuju sebuah cafe bertuliskan ‘Aurora’ dia duduk di bangku dan merapikan bajunya yang dirasa berantakan.
“Aku sudah menunggu lama dan mencarimu Robie, kupikir dia lupa padaku.” Isabell tersenyum sendiri membayangkan Robie datang dengan merentangkan tangan padanya dan berkata,”Aku rindu padamu, sayang. Peluk aku sekarang.” Dengan senyumnya yang secerah sinar matahari pagi, seorang pelayan cafe datang menghampiri Isabell dan memberikan gadis itu buku menu.
“Mau pesan apa Nona?”
“Nanti, tunggu kekasih saya datang.”
Si pelayan pun pergi meninggalkan Isabell yang sibuk membenahi rambutnya, tak berapa lama pintu cafe berdecit membuat Isabell memalingkan wajahnya melihat siapa yang datang. Dia berdiri dan tersenyum secantik mungkin,”Robie, sudah lama aku mencarimu sayang, aku ....”
Robie tidak menjawab pertanyaan kekasihnya dan memilih duduk di seberang Isabell, Isabell ikut duduk di kursinya dan menatap Robie dengan penuh rindu, berharap pria itu mau menatapnya seperti dulu, memeluk dan mencium lembut bibirnya.
“Isabell, pulanglah!” Robie menatap Isabell dengan tatapan sulit dimengerti,
“Robie, tapi kenapa tiba-tiba kau menyuruh aku pulang? Aku ingin di sini bersama denganmu, bukankah kau yang memintaku datang ke sini?” Isabell meraih tangan sang kekasih dan menggemgamnya erat.
“Iya, tapi ... kau tahu Isabell ayahmu tidak suka padaku,” ujar Robie mengusap tengkuknya resah. Isabell melepaskan tangan Robie dan menatapnya tidak suka.
“Kenapa? Kenapa kau sekarang seperti takut? Bukankah kau yang bilang akan mencintaiku sepenuh hati dan menyuruhku datang ke London untuk kimpoi lari? Lalu , kenapa sekarang kau menyuruhku pulang kembali ke Paris?” Isabell merasakan dadanya seperti dihantam pukulan keras. Dia rela mengeluarkan semua tabungannya demi membeli tiket ke London, menjadi pengasuh balita demi kekasihnya. Tapi, apa yang dia dapat? Sebuah penolakan yang bahkan tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Isa, maafkan aku. Tapi, rasanya kita tidak bisa meneruskan hubungan ini. Aku ... lebih baik kau pulang saja Isabell,” ujar Robie. Percakapan mereka terganggu dengan suara dering ponsel milik Robie, pria berumur 26 tahun itu meminta izin pada Isabell untuk mengangkatnya. Isabell hanya diam dan merasa kesal dengan Robie, Robie menjauhkan diri dari Isabell dan terlihat tengah berbicara dengan seseorang dengan wajah frustrasi. Dia kemudian mematikan teleponnya dengan kesal dan kembali pada Isabell, ponselnya berdering kembali tetapi, kini Isabell yang dengan secepat kilat mengangkatnya.
“Robie! Kau di mana sekarang? Aku hamil kau harus tanggung jawab!” suara perempuan melengking dari seberang sana, membuat Isabell membulatkan mata sedangkan Robie berusaha meraih ponselnya kembali dari tangan Isabell yang tetap mempertahankan ponsel itu berada di tangannya.
“Halo, kau siapa?” tanya Isabell,
“Ya, Hallo. Aku Chris, aku kekasih Robie dan kau siapa? Kenapa ponsel dia ada padamu?” ujar suara di sana terdengar kasar dan kesal, Isabell mematikan telepon itu dan memberikan ponsel pada Robie dengan setengah membantingnya. Isabell tidak berkata apa-apa dan meninggalkan Robie dengan tatapan penuh penyesalan.
“Brengsek!”
“Kau bodoh, Isabell ... kau bodoh,” Isabell terisak dan menghapus airmatanya. Hatinya terasa sakit dan perih, dia begitu berjuang demi cintanya di kota London. Namun, Robie mematahkan hatinya hanya dengan sekejap saja.
“Kau pembohong!”
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 2 suara
Genre apa yang disukai rata-rata para remaja dalam membaca sebuah novel?
Romance
50%
Horor
50%
Fantasy
0%
Thrill
0%
komedi
0%
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
3.1K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan