Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

trudiotAvatar border
TS
trudiot
Wedhus Lanang: An Innocent Mistake


Quote:




Prologue
Chapter 1: A Harmless Threat
Chapter 2: A Desperate Househusband
Chapter 3: The Greater Good
Chapter 4: (coming soon)
...




Sebuah pintu besar dan tinggi menyambut kedatanganku. Kayunya begitu kokoh, dengan ukiran-ukiran indah memanjakan mata yang memandang. Aku raih gagang pintu berlapis emas dan mendorongnya ke dalam untuk mengungkapkan isi ruangan yang dijaganya. Ruangan itu terlihat megah dan mewah, dihiasi lampu gantung penuh gemilang dan hiasan-hiasan atap penuh warna. Beberapa patung marmer ditempatkan di setiap sudut, dengan lampu-lampu menyorotinya dengan hangat.

Aku memandang sekitar dan menyadari bahwa aula ini dipenuhi dengan meja-meja bundar dan kursi duduk berbalut kain putih di sekelilingnya. Semua meja dihiasi dengan bunga dan hidangan lezat, dan semua kursi telah ditempati oleh para hadirin.

Mereka kemudian menyadari akan kehadiranku, dan segera berdiri dari tempat duduk. Mereka kompak bertepuk tangan, dan meneriakkan namaku dengan bangga. “Tom! Tom! Tom!”

Semua mata tertuju padaku, membuatku merasa tak nyaman. Aku melangkah mendekati keramaian itu. Selama berjalan menuju panggung depan, aku mengedarkan pandanganku ke segala arah. Wajah-wajah yang kukenal, teman, sahabat, keluarga… Semua menyambutku dengan suka cita. Mereka menepuk pundakku, menjabat tanganku, memberikan senyuman terbaik yang pernah kulihat. Aku merasakan sensasi kebahagiaan merambat ke seluruh tubuhku.

Aku hampir sampai di atas panggung, ketika sebuah benda lunak yang berair menghantam wajahku. Splash! Aku terkejut, kurasakan bau tomat busuk masuk ke hidungku. Aku mundur selangkah. Lalu datang lagi tomat busuk menghantam dadaku, dan kakiku, dan telingaku. Aku terjatuh ke lantai, dengan pakaianku dilumuri tomat busuk. Tomat-tomat itu datang dari para hadirin. Suara sorak ramai mereka kini berganti dengan tawa yang membahana. Mereka menertawakanku dan menikmati ketakberdayaanku. Tak kusadari aku meneteskan air mata dan mulai menangis.

Tak pernah aku semalu ini dalam hidupku,ucapku dalam batin ketika tiba-tiba lampu padam dalam sekejap. Semua gelap total. Aku kebingungan mencari cahaya. Mataku tak dapat melihat apapun. Telingaku tak mendengar suara apapun. Keriuhan tadi mendadak lenyap. Hanya hitam dan sunyi yang menyelimutiku sekarang.

Kemudian aku terbangun, dan mendapati diriku berada di kamar tidur yang kukenal. Ah, cuma mimpi. Mimpi yang aneh.




Aku beranjak dari tempat tidur dan segera memulai rutinitas harianku. Segelas jus wortel, dan semangkuk oatmeal di pagi hari membantu menyegarkan pikiran dan moodku. Aku selalu menyetel pikiran positif, khususnya di hari Jumat ini, ketika aku tahu segudang pekerjaan akan kulakukan hari ini.

Tapi, setibanya di kantor, aku tidak menyangka bahwa sebuah pesan singkat bisa merusak moodku di seketika. Pesan itu dikirim ke nomor kerjaku, dari nomor tak dikenal, yang berbunyi:

“Kamu sudah main api dengan saya..saya gag segan2 untuk menghabisi kamu!!!”

Spoiler for Figure 1 : The Text:

Awalnya, pikiran gampangku mengatakan bahwa ini hanya sebuah pesan lelucon biasa. Mungkin ini SMS spam yang lagi nge-tren saat ini? Meneror orang secara acak? Aku hanya bisa tersenyum saja, karena aku termasuk yang sering sekali mengabaikan SMS tak penting dari nomor tak dikenal. (Lagian, siapa pula masih mengirim SMS di jaman sekarang?)

Aku dengan santainya menutup SMS tersebut, dan memulai pekerjaanku. Jumat ceria katanya, tapi di luar sana terlihat mendung. Aku sempat melihat beberapa rekan kerjaku, yang bisa dihitung dengan jari, mondar mandir ke sana sini, melakukan aktivitas masing-masing. Kantor kami tidak bisa dibilang besar ataupun luas, secara fungsionalitas kantor kami adalah kantor kecil-kecilan. Semua aktivitas dilakukan hampir berdekatan. Ada Jarod sibuk menelepon calon pelanggan, Ricky dan Eddy sedang menyiapkan konter depan, Kikan sedang merapikan mejanya, dan Ana sedang terdiam di mejanya… Hmm. Ana.

Kemudian, aku menyadari sesuatu. Bagaimana kalau SMS ini bukan spam? Bagaimana kalau SMS ini benar-benar ditujukan untukku dan benar-benar sedang mengancamku? Tapi, siapa? Dan, yang paling penting, kenapa? Apa alasannya seseorang ingin “menghabisi”-ku? Aku mengingat-ingat pernah berbuat salah apa selama setahun ke belakang…

Well, banyak yang kuingat dan beberapa kesalahan yang mungkin sampai membuat seseorang sakit hati. Rekan kerjaku, mungkin? Atau teman sekolah? Teman kuliah? Kawan lama? Atau, mantan? Ah, Lana… Memoriku dengannya langsung terputar di otakku. Manisnya masa pacaran, honeymoon phase, hingga sakitnya ketika putus---Astaga, apa mungkin Lana yang mengirim SMS ini? Otakku jadi panas ketika membayangkan dia akan menjadi segila ini pasca putus.

Segera kuusir ide gila itu, dan memikirkan alternatif lain. Siapa lagi yang mempunyai dendam dengan diriku? Fakta bahwa si peneror mengirim SMS ini ke nomor kerjaku, bukan ke nomor pribadiku, semakin mengerucutkan kecurigaanku terhadap rekan kerjaku di sini. Sebagai catatan, aku masih bisa dibilang anak baru di tempat ini bekerja. Tak lebih dari 6 bulan, aku menggunakan nomor baru khusus untuk orang-orang di lingkungan kerja. Kupikir aku sudah berkelakuan baik dan menjaga hubungan baik pula dengan semua orang di sini. Kalaupun benar ada yang sakit hati ataupun diam-diam membenciku, itu di luar kuasaku. Oh, kumohon jangan. Aku bukan tipe pembenci maupun senang dibenci orang. Aku lebih ke tipe yang suka melupakan orang-orang yang resek dan gak penting saja.

Aku meyakinkan diri bahwa bukan rekan kerjaku di sini yang mengirim SMS itu. Jadi, ini masih menjadi misteri bagiku. Bagai seorang tokoh di film-film thriller atau novel-novel misteri pembunuhan yang sering kunikmati semenjak kecil, aku sekarang mengerti rasanya berada di posisi menjadi protagonis. Haha, mendadak aku tersenyum membayangkan ada orang di luar sana yang mau-maunya menyempatkan waktu dan tenaga untuk membuatku gelisah penasaran seperti ini. Mendadak adrenalinku terpacu dengan cepat ketika membayangkan apa yang akan terjadi padaku 24 jam dari sekarang. Apakah aku akan dihabisi? Atau aku akan diculik, kemudian dibunuh? Kemudian media massa meliput: Ditemukan mayat seorang pria tergantung di atas pohon mangga. Ditelanjangi dengan tulisan darah “BAJINGAN” di dadaku, dan mukaku yang hancur hingga tak dikenal. Polisi sampai berbulan-bulan mencari pembunuhku, dan media massa tak henti-hentinya meliput tentang misteri pembunuhanku. Layaknya kasus Mirna dan kopi sianida, aku akan menjadi kasus pembunuhan yang menjadi trending topic di sepanjang tahun 2017. Wow. I’m gonna be famous when I’m dead.

Oke. Stop.

Imajinasi liarku semakin bercampur aduk dengan cerita fiksi. Terima kasih ke Gillian Flynn yang sukses membangunkan sisi sociopath dalam diriku yang semula lugu dan polos ini.

Kembali kubuka SMS itu, dan kuperhatikan nomor pengirimnya. Hmm.. Ini bukan SMS spam biasa, ini dikirim dari nomor yang, bisa dibilang, nomor bagus. Nomor yang bukan acak. Nomor yang tidak bisa dibeli di konter hape pinggir jalan. Ini nomor terlalu mahal untuk dijadikan sebagai spam machine. Kemudian aku tersadar, dan segera lari ke ruangan Kikan.

Kikan sedang sibuk merapikan mejanya ketika aku menunjukkan SMS itu padanya. Aku menanyakan bagaimana pendapatnya tentang SMS anonim itu. Dia mengangkat kedua alisnya, dan menatap lekat-lekat padaku. Matanya seolah mempunyai jawaban atas kebingunganku.

“Kau sudah tunjukkan SMS ini ke siapa saja?” tanyanya cepat.
“Baru kau saja. Sebenarnya aku pikir---” sebelum aku menuntaskan kalimatku. Dia berkata pelan setengah berbisik. “Jangan kau tunjukkan ke Ana. Jangan!”
Aku melongo, setengah kebingungan dengan perintahnya. “Kenapa? Apa maksudmu? Apa hubungannya dengan Ana?”
“Pelankan suaramu!” desisnya kemudian memanggil Bu Monika, supervisor kami.
Dengan sekali gerak, hape mungilku sudah berpindah ke tangan Bu Monika dan tanpa disuruh ia juga membaca SMS itu.
“Sudah kuduga akan begini jadinya, Bu,” ucap Kikan. Bu Monika mengangguk pelan menyetujui. Mereka berdua seolah sudah memprediksi kedatangan SMS itu sejak lama.
“Apa maksudnya? Siapa yang ngirim SMS ini?” tanyaku sudah tak sabar.

Kikan kemudian menyerahkan hapeku dan menyuruhku keluar dari ruangannya. Semua pertanyaanku yang kini mulai menggunung tak dijawabnya.

Aku berjalan kembali ke mejaku, dengan membawa pesan singkat terror itu dan segudang pertanyaan yang masih menggantung di kepala. Siapa pengirim SMS ini? Bagaimana Kikan dan Bu Monika tahu pengirimnya? Dan, apa hubungannya dengan Ana? Aku sempat melirik Ana ketika lewat di meja kerjanya. Kutahan diriku untuk tidak menunjukkan SMS ini kepadanya, dan segera kembali ke tempat dudukku.

Setengah jam kemudian, Kikan memanggilku untuk ikut dengannya ke pantry. Satu-satunya tempat di kantor kami yang tak terlihat dari individu-individu yang sedang sibuk bekerja (selain toilet, tentunya). Ketika posisi kami sudah aman dan tak terlihat maupun terdengar, aku menodong Kikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama.

“Suaminya Ana. Dia yang ngirim SMS itu,” jawab Kikan dengan lugas. “Kemarin, sewaktu kau dan Ana pergi keluar untuk makan siang, suaminya menelepon Bu Monika menanyakan keberadaannya. Bu Monika bilang kalau istrinya sedang keluar denganmu. Dan… sepertinya dia cemburu padamu.”

Kemudian, seperti tubrukan mobil dengan dinding beton yang keras, aku sadar apa yang sebetulnya terjadi. Semua menjadi jelas---dan berbahaya.

***

Ana. Aku mengenalnya ketika pertama kali aku ditempatkan di kantor ini. Statusnya waktu itu sudah menikah, bahkan baru melahirkan anak pertamanya, seorang putri yang dinamainya Aurora. Kami sekantor sempat berkunjung ke rumahnya untuk merayakan kelahiran putrinya. Dia tinggal di kota seberang dengan suaminya. Setiap hari dia commute untuk bekerja. Berangkat di pagi buta, dan pulang ketika matahari sudah tak tampak. Dia orang yang kuat, tipikal wanita tangguh, tapi ada kerapuhan yang menyelimutinya.

Aku menganggapnya sebagai kakak perempuan, karena sifat keibuannya dan pengertiannya, aku bisa lepas dan membuka diri padanya. Beberapa kali aku curhat tentang kisah cintaku, dan hal-hal yang menggangguku memasuki usia seperempat abad. Kita mungkin cuma berbeda usia beberapa tahun saja, tapi dia sering menasehatiku tentang menjalani hidup selama pra-nikah. Kadang ada petuah darinya yang bikin aku jengkel, kadang ada pula beberapa yang bisa jadi pedoman hidup.

Kami sering keluar bersama untuk makan siang, atau berbelanja kebutuhan kantor. Semua dijalani dengan keadaan normal, kasual dan biasa-biasa saja. Aku tak pernah mengira kalau kegiatan kami ini menjadi petaka bagiku maupun bagi keluarga kecil Ana. Dan, aku tak pernah menyangka kalau suaminya adalah seorang yang possesif akut tingkat dewa.

Suami Ana, namanya Jony. Aku hanya sempat bertatap muka waktu ke rumahnya dan acara family gathering di kantor. Dia tampak biasa saja, seperti suami/bapak muda kebanyakan. Dia terlihat sayang sekali dengan istri dan putrinya. Sebagai seseorang yang baru mengenalnya dan melihatnya dari jauh, aku tak punya pemikiran aneh tentang Jony.

Kalau saja Ana tak pernah cerita soal rumah tangganya kepadaku, aku tak mungkin tahu kalau Jony adalah orang yang tempramental. Ia mudah emosi, sulit menahan amarah. Gesekan sedikit bisa membuatnya geram. Banyak cerita-cerita Ana dan Jony yang kadang membuatku tertawa, hanya karena dua insan yang berbeda ini bisa menjalani hidup bersama dengan bahagia, apapun situasinya. Aku juga mengambil sedikit pelajaran dari mereka, bahwa suami istri sebenarnya dipasangkan bagai air dan api, yin dan yang, keseimbangan untuk mencapai keharmonisan. Sesuatu yang sampai kini masih kucari.

Well, dari cerita-cerita Ana dan pertemuanku langsung dengan Jony, aku berkesimpulan bahwa Jony adalah pria yang berwatak keras, bertanggung jawab dan sangat menyayangi keluarganya. Tapi, semuanya menjadi berlebihan ketika kecemburuan tak berasalannya ditujukan padaku. Aku mengubah citra Jony sebagai suami super posesif, dengan kecenderungan sadomasochist.

***

Aku menatap Kikan tak percaya, dalam diriku muncul perasaan tak nyaman, setengah kecewa dan setengahnya lagi sedikit bangga. Pertama, aku kecewa karena ternyata penerorku adalah seorang suami yang super posesif. Klise sekali, bahkan untuk penikmat fiksi sepertiku ini adalah hal yang basic sekali. Maksudku, atas dasar apa dia meneror dan membenciku? Apakah dia pernah memergoki aku dengan istrinya berciuman? Apakah istrinya sering bertingkah laku mencurigakan ketika berdua dengannya? Sering menelepon secara sembunyi-sembunyi? Menemukan chat history kami yang mesra? Atau, dia merasakan cinta yang pudar di mata istrinya? Oh, Jeez. Aku bahkan tak ada rasa lain, selain sekedar teman dengan Ana. Aku bahkan tak ada niatan untuk menghancurkan rumah tangga orang lain (jika kau tahu latar belakangku, maka kau akan mengerti).

Kedua, aku tak menampik kalau aku sedikit bangga bisa menjadi ancaman bagi seorang suami. Maksudku, pernahkah kau menjadi marah hanya karena melihat pasanganmu tertawa mesra dengan orang lain? Atau, istrimu dirayu untuk membeli produk asuransi oleh teller Bank yang tampan? Atau, suamimu tak berhenti menatap salesgirl seksi di showroom? Atau, barista rupawan mengucap “Selamat pagi” kepada istrimu di Starbucks? Atau, polwan cantik membantu menyeberang jalan suamimu? Pernahkah?

Ada perasaan menggembirakan menjadi teller tampan itu, atau salesgirl seksi itu, atau barista rupawan itu atau polwan cantik itu. Mereka adalah ancaman bagimu. Sekalipun mereka sama sekali tak ada niat untuk memiliki pasanganmu, tapi ketika kau merasa cemburu, maka mereka telah berhasil memainkan perasaanmu. Mereka berhasil mengusik pikiranmu, membuatmu keluar dari zona nyamanmu. Mereka menjadi bahaya bagi keharmonisan rumah tanggamu. Hingga akhirnya, pada satu titik kau akan jadi gila dan buta pada hal-hal yang biasa saja.

Aku adalah ancaman bagi suami Ana. Aku merasa dipuji, sekaligus disanjung atas penghormatan ini. Aku menjadi tokoh penting di kehidupannya!

Aku bergeser dari tempat dudukku, kemudian Kikan melanjutkan ceritanya.

“Kau bukan yang pertama. Jarod juga pernah diancam hal serupa oleh suami Ana. Setahun yang lalu tepatnya. Dan, baru sebulan kemarin Ricky juga mengalami hal serupa, dia memposting foto Ricky dan mengatainya di medsos,” ucap Kikan.

“Atas dasar cemburu?”

“Atas dasar cemburu,” Kikan mengulangi ucapanku.

Kemudian Kikan menerangkan kalau fotoku juga diposting oleh Jony, dengan caption “Wedhus Lanang”. Aku yang sedari tadi terdiam, menjadi tertawa atas postingan kreatif tersebut. Aku tak merasa tersinggung, dan terlalu capek untuk memikirkan semua ini. Semuanya jadi terang di pikiranku mengapa Jony melakukan semua ini. Cemburu sudah menggerogoti mata hatinya, hingga ia tak bisa lagi membedakan mana yang benar-benar ancaman, dan mana yang bukan.

Gambaran Jony yang menstalking semua akun media sosialku (yang tidak banyak), kemudian mendapatkan fotoku untuk dia posting di akunnya, lalu ia dengan geramnya mengetik caption “Wedhus Lanang” dengan penuh kebencian, menggelitik pikiran terdalamku: Seberapa berpengaruh dan pentingnya diriku hingga harus menjadi pekerjaan dia di pagi hari?

“Aku sungguh kasihan dengan Ana. Aku benar-benar tak tahu kalau suaminya seperti ini,” ucapku menyesal. “Secara gak langsung, dia sudah merusak hubunganku dengan Ana. Aku sekarang berpikir untuk menjaga jarak dengannya. Dan, aku akan berpikir ratusan kali jika harus pergi keluar dengannya lagi. Semuanya akan terasa canggung dan kikuk mulai sekarang. Astaga, aku akan merasa kehilangan kakak perempuanku...”

“Tidak harus seperti itu, Tom. Kau tidak harus menghindarinya begitu saja, kasihan Ana,” kata Kikan terdengar iba.

“Iya, aku akan mencoba bersikap normal untuk menjaga perasaannya. Aku juga kasihan dengan Ana. Bagaimana dia bisa bertahan dengan suami seperti itu?”

“Dia sangat menyayanginya.”

“Mereka saling menyanyangi satu sama lain,” kuluruskan kalimat Kikan. “Hanya saja, Jony adalah orang yang sangat merugikan bagi Ana kalau dia tetap menjadi seagresif ini. Cuma orang sinting yang ingin bunuh orang tanpa penjelasan apapun!”

“Iya. Hey, kau tak usah khawatir dengan ancaman di SMS itu. Itu cuma gertakan saja, kok.” kata Kikan menenangkanku. “Jarod dan Ricky buktinya masih hidup sampai sekarang. Iya, kan?”

Aku mengangguk dan tersenyum lega. Setidaknya, kisah thriller dalam pikiranku semula tak akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat. Atau, benarkah demikian?

***
Diubah oleh trudiot 09-08-2017 23:25
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
2.8K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan