Dalam sejarah Indonesia sampai hari ini, hanya ada 12 orang wanita yang mendapat gelar Pahlawan Nasional dari sedekit wanita hebat itu yang paling cepat muncul dalam ingatan kita sebagai orang Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan ningrat yang sudah berpendidikan juga mahir berbahasa Belanda ini menginspirasi perempuan modern karena sikapnya terhadap emansipasinya melalui tulisan-tulisan yang dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Tulisan yang dikirimkan kepada teman korespodensinya di Belanda, dan salah satunya bernama Rosa Abendanon, yang notabene adalah orang yang dekat dengan “pemerintahan” waktu itu. Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Secara tidak langsung, R.A Kartini memang mempunyai peran bagaimana mendorong perempuan Indonesia untuk maju, begitu juga denga seorang Raden Dewi Sartika yang sejak tahun 1904 sudah mendirikan Saloka Istri untuk memberikan pendidikan kepada perempuan di lingkungan sekitar. Dua perempuan hebat ini punya peran yang hampir sama yaitu untuk memberikan pendidikan terhadap perempuan, juga secara perjuangan keduanya menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Martha Christina Tiahahu dan Nyi Ageng Serang yang dengan terang-terangan melawan Belanda secara fisik juga mendukung pertempuran melawan Belanda.
Perempuan-perempuan ini turun langsung melawan Belanda, bahkan sampai ada yang dihukum mati oleh Belanda. Dan bagi Belanda, bentuk perlawanan apapun oleh siapapun merupakan bentuk kejahatan yang harus ditumpas sampai tak tersisa, hal ini karena ada maksud-maksud tertentu, diantara untuk menumpas perlawanan, mematikan semangat baru sekaligus memberikan “contoh” hukuman bagi yang berani melawan Belanda, sehingga secara emosional orang yang melawan Belanda itu sangat dibenci oleh Belanda.
Raden Ajeng Kartini dan Raden Dewi Sartika berbeda dengan perempuan-perempuan diatas, selain secara fisik tidak melawan Belanda, mereka berdua punya kedekatan sejarah dengan Belanda, kedua perempuan ini merupakan keturunan ningrat yang mempunyai hak lebih seperti hak mendapatkan pendidikan, ketidakharusan melakukan tanam paksa dan dihormati oleh Belanda, bahkan tak sedikit teman-temannya adalah nona-nona Belanda.
Terlebih Kartini muda mendapatkan pendidikannya di ELS (Europese Lagere School) sampai usia ke-12 tahun, karena pada usia 12 tahun dia harus di pingit oleh keluarganya. Ketika dalam masa pingitannya, Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Dalam masa pingitannya itu, Kartini yang sudah bergaul dengan banyak buku dan tulisan tentang perempuan mulai merasakan keresahan dalam hatinya, bagaimana keinginan-keinginannya dibatasi oleh orang tua dan adat istiadat.
Apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh Kartini? Dirinya sendiri, wanita ningrat atau kaum wanita secara keseluruhan? Pertanyaan-pertanyaan ini memang masih harus diteliti lebih dalam lagi. Karena keterbatasannya mengakses dunia luar termasuk pendidikan. Dalam masa pingitannya itu keresahan-keresahannya dikuatkan oleh bacaan tentang perlawanan kaum perempuan barat yang lebih bebas daripada dirinya yang notabene adalah perempuan jawa.
Selain itu masih banyak pertanyaan tentang keotentikan tulisan Kartini yang selama ini diterbitkan. Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis.

16 April 2016