- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
The Day of Wong Jowo, Menjaga Tradisi Leluhur di Tanah Orang


TS
angKung88
The Day of Wong Jowo, Menjaga Tradisi Leluhur di Tanah Orang

Quote:
The Day of Wong Jawa, Orang Jawa Suriname di Persimpangan Jalan
Hari ini, 9 Agustus, tepat 125 tahun orang Jawa untuk kali pertama menginjakkan kaki di Suriname, negara kecil di Amerika Selatan. Banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa Jawa ke depan.
Laporan Arief Santosa , Suriname
SEJARAH mencatat, orang-orang Jawa mulai dikirim ke Suriname pada 1890. Kelompok imigran Jawa pertama berjumlah 94 orang. Mereka dibawa dengan menggunakan kapal laut dalam perjalanan berbulan-bulan dan tiba di koloni Belanda itu pada 9 Agustus 1890.
Kelompok itu direkrut De Nederlandsche Handel Maatschappij untuk dipekerjakan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg.
Empat tahun kemudian perusahaan yang sama kembali mengirim 582 orang Jawa. Pada 1897 pemerintah Hindia Belanda mengambil alih proses pengiriman imigran dari Indonesia itu. Hingga 1939, jumlah orang-orang Jawa yang dibawa ke Suriname mencapai 32.956 orang dengan menggunakan 34 kali pengangkutan.
Orang-orang Jawa tersebut bekerja di perkebunan Belanda berdasar sistem kontrak. Dalam perjanjian, mereka mempunyai hak untuk pulang ke tanah air (repatriasi) bila masa kontraknya sudah habis. Maka, sejak 1890 hingga 1939, ada 8.120 orang yang memilih kembali ke Indonesia. Kemudian, pada 1947, gelombang kedua repatriasi membawa 1.700 orang, dan terakhir pada 1954 sebanyak 1.000 orang.
Dengan demikian, total tak lebih dari 11 ribu orang Jawa yang memilih pulang ke tanah air. Sedangkan sebagian besar lainnya memutuskan untuk menetap di Suriname dan kemudian beranak pinak hingga generasi keempat sekarang ini.
”Mereka itulah nenek moyang kita. Karena itu, setiap tanggal 9 Agustus kita peringati sebagai The Day of Wong Jawa untuk menghormati para leluhur yang telah banyak berkorban. Dinggo pengeling-eling nek awak dewe isih wong Jawa (untuk pengingat bahwa kita masih orang Jawa),’’ ujar tokoh keturunan Jawa paling populer di Suriname, Paul Salam Somohardjo, ketika ditemui Jawa Pos di kantor pusat Partai Pertjajah Luhur, Paramaribo, Selasa (4/8).
Paul Somohardjo adalah pendiri dan ketua umum partai orang Jawa terbesar di Suriname itu. Dia juga pernah membidani lahirnya Partai Pendawa Lima bersama Sahidi Rasaam, Rasiman, Muhammad Usman, dan Admin Adna. Namun, kepemimpinannya kemudian dikudeta anak-anak muda yang dimotori Raymond Sapoen pada 1997.
Paul juga pernah menjadi menteri kesosialan dan perumahan pada 2000–2005. Ketika Pertjajah Luhur menang dalam Pemilu 2005, dia diangkat menjadi ketua parlemen. Puncaknya, pada 2010 Paul menjadi orang keturunan Jawa pertama yang maju menjadi calon presiden. Namun, dia gagal menyatukan partai-partai Jawa untuk mendukung dirinya. Akibatnya, dalam pemilihan presiden di parlemen, dia pun kalah.
Menurut Paul, sudah saatnya orang Jawa meninggalkan paradigma lama sebagai bangsa terjajah. Sudah saatnya sekarang orang Jawa membangun Suriname. Sebab, hidup mati mereka ada di negara ini.
”Mulane, awak dewe ojo isin dadi wong Jawa. Ojo mung jenenge wae sing Jawa, tapi ora duwe rasa dadi wong Jawa (Maka, kita jangan malu jadi orang Jawa. Jangan hanya namanya yang Jawa, namun tidak punya rasa sebagai orang Jawa),” papar pria 72 tahun yang lebih separo hidupnya dihabiskan di dunia politik itu.
Paul mengakui, orang Jawa masih sulit bisa memimpin negara karena Suriname adalah negara multietnis yang kalah-menang dalam pemungutan suara ditentukan banyak-sedikitnya warga. Sampai saat ini, jumlah penduduk keturunan Jawa masih nomor empat di bawah etnis Hindustan (India), Kreol (keturunan Afrika), serta keturunan Maroon (Negro alasan).
Memang, belum ada data statistik akurat yang memastikan jumlah orang Jawa di Suriname sekarang. Namun, kata Paul, jumlahnya masih sekitar 15 persen atau 80 ribu di antara total penduduk Suriname yang berjumlah 530 ribu jiwa. Jumlah itu tak banyak berubah dalam sepuluh tahun terakhir.
”Mergane bocah-bocah saiki ora gelem duwe anak akeh. Paling-paling mung loro. Beda karo wong alasan (Maroon) sing duwe anak iso sampai 10, malah ono sing duwe 18 anak (Sebab, anak-anak sekarang tidak mau punya banyak anak. Paling-paling hanya dua. Berbeda dengan warga Maroon yang sampai punya 10, bahkan 18 anak),” ungkap bapak sebelas anak dari dua istri itu.
Selain soal jumlah warga yang kalah bila dibandingkan dengan bangsa lain, bangsa Jawa belum mau menyatu, manunggal. Bangsa Jawa terpecah-pecah dalam banyak kepentingan. Baik dalam politik, keagamaan, maupun kemasyarakatan.
”Dalam riwayatnya, sejak masih menjadi buruh perkebunan, orang Jawa memang tidak pernah bersatu. Padahal, kalau mau bersatu, bangsa ini akan sangat kuat,” ucap Salimin Ardjooetomo, tokoh keturunan Jawa di Suriname yang aktif bergerak melalui pelestarian bahasa dan kesenian Jawa.
Menurut catatan dia, pada Pemilu 2010 sebenarnya partai-partai Jawa yang selama ini terpecah-pecah sudah bisa bersatu. Mereka adalah Partai Pertjajah Luhur, Partai Pendawa Lima, Partai D-Selikur, NPLO (National Party voor Leaderschap en Outwikkeling), dan PPRS (Partij Pembangunan RakjatSuriname). Hanya KTPI (Kerukunan Tulada Pranatan Inggil) yang masih enggan bergabung.
’’Lantaran partai Jawa belum bulat menyatu, majunya Paul Somohardjo sebagai calon presiden pertama dari bangsa Jawa pun gagal total. Suara orang Jawa di parlemen kalah dengan suara bangsa lain,’’ kata Salimin.
Pada Pemilu 2015 Mei lalu, lanjut Salimin, ketika Partai Pertjajah Luhur kembali hendak mengusung Raymond Sapoen sebagai calon presiden kedua dari keturunan Jawa, sebenarnya KTPI sudah berhasil didekati. Namun, menjelang hari bitingan (pemungutan suara) dilakukan, partai yang dipimpin Willy Sumita itu mendadak keluar dari koalisi partai Jawa. KTPI memilih bergabung dengan partai milik bangsa Maroon, ADOB. Partai Jawa pun kembali tidak mampu bersaing dengan partai bangsa lain.
”Sepertinya partai Jawa sengaja dipecah-pecah biar tidak menyatu dan besar. Sebab, kalau bersatu, orang Jawa pasti kuat,” tegas Salimin.
Bila partai bersatu, yang dicita-citakan bangsa Jawa bisa dicapai. Yakni, terangkatnya martabat dan harga diri bangsa ini. Selama ini bangsa Jawa masih dipandang sebelah mata oleh bangsa lain. Bangsa Jawa masih sering dianggap ndeso, udik, kampungan, dan tradisional.
”Ini tantangan bangsa Jawa. Bagaimana bisa bergerak menjadi bangsa yang modern tapi tetap menjaga adat istiadat, tradisi yang diwariskan nenek moyang. Seperti yang dilakukan bangsa Jepang. Mereka menjadi bangsa yang modern tapi tetap memelihara budaya warisan nenek moyangnya,” papar pria 65 tahun itu.
Keprihatinan juga disampaikan anggota parlemen Raymond Sapoen. Menurut dia, bangsa Jawa masih sulit memimpin negeri ini selama masih terpencar-pencar dan cakar-cakaran sendiri. Selain itu, partai-partai Jawa perlu direformasi agar tidak terkesan eksklusif, tertutup (untuk bangsa lain), dan antidemokrasi.
”Partai Jawa harus terbuka untuk bangsa lain. Harus nasionalis. Yang ada selama ini sangat eksklusif hanya untuk orang Jawa. Sehingga bagaimana bisa meraih suara banyak kalau hanya menggantungkan dari kalangan orang Jawa yang sudah dipecah-pecah di banyak partai,” kata mantan menteri pendidikan dan pembangunan wilayah itu.
Pada Pemilu 2015, keturunan Jawa hanya diwakili sembilan orang di parlemen. Itu pun lima di antara mereka berada di partai pemerintah (Nationale Demokratische Partij/NDP). Sedangkan empat lainnya dari Partai Pertjajah Luhur. Padahal, untuk bisa memenangi pemilihan presiden di parlemen, minimal dibutuhkan 32 suara dari 52 anggota dewan.
Dengan kenyataan seperti itu, Sapoen tidak bisa memperkirakan kapan bangsa Jawa bisa memimpin Suriname. Masih butuh waktu lama dan formula baru dalam kehidupan politik bangsa Jawa.
”Yang mendasar, partai Jawa harus mau mengubah platform politiknya dari partai tertutup menjadi partai nasional demokratis yang bisa menarik bangsa lain,” tandas sarjana hukum yang mengaku memiliki nenek moyang dari Banyumas, Jawa Tengah, tersebut.
Sementara itu, Staf Bidang Politik Kedutaan Besar RI di Suriname Chairil Susena menilai, di tengah kompleksitas bangsa multietnis di Suriname, bangsa Jawa berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada kalangan yang sudah berpikiran maju dan modern. Di pihak lain, banyak keturunan Jawa yang masih berpikiran tradisional.
”Hal ini berdampak hingga dalam kehidupan politik bangsa ini. Diperlukan kajian mendalam serta gerakan radikal agar bangsa Jawa bisa segera sejajar dengan bangsa lain di Suriname,” tuturnya.
Yang turut memperlambat proses kemajuan bangsa Jawa di Suriname adalah enggannya anak-anak muda yang berpendidikan tinggi untuk mengabdi di negara sendiri. Mereka memilih ke luar negeri untuk merintis karir yang konon lebih menjanjikan.
”Selulus SMA, biasanya anak-anak cerdas itu memilih kuliah ke Belanda, Amerika, atau Kanada. Mereka jarang yang mau kembali. Mereka baru pulang ke Suriname setelah pensiun atau bila sedang vakansi (liburan),” bebernya.
”Bagi mereka, Suriname itu bukan untuk meniti karir, tapi untuk menikmati hidup,” tambahnya.
Padahal, kata Chas –panggilan alumnus Hubungan Internasional UGM itu– di Suriname orang gampang mencari uang. Hanya, kalau tidak hati-hati, gampang pula menghabiskannya. Terutama untuk biaya kelakuan (foya-foya).
Misalnya, di Suriname kini ada sedikitnya 26 kasino yang tersebar di kota-kota besar. Belum termasuk yang kecil-kecil dan tidak jelas izinnya. ”Untuk ukuran negara dengan jumlah penduduk sekecil ini (530 ribu jiwa), jumlah kasino sebanyak itu jadi kelihatan luar biasa,” terangnya.
Belum lagi tempat-tempat mesum yang diiklankan secara bebas dan terbuka di koran-koran. Bagi para pemilik modal, itu kesempatan untuk mencuci uang sekaligus mengeruk untung. Sedangkan bagi yang ingin bersenang-senang, Suriname memberi tempatnya.
”Di sini semua itu dianggap wajar, normal-normal saja. Belum ada ketentuan yang tegas mengaturnya. Jadi, ya kita sendiri yang pandai-pandai mengeremnya,” tandas Chas. (*/c10)
SUMBER
Spoiler for Lanjutan:
Quote:
Nonton Lukisan, Disuguhi Tape Ketan dan ”Banyu Londo”

Lewat kesenian, orang-orang keturunan Jawa di Suriname mengungkapkan kerinduan terhadap kampung halaman nenek moyang di Indonesia. Mereka ingin tahu sekali seperti apa tanah leluhur itu.
RENE Tosari, 67, girang sekali begitu mengetahui bahwa ada wartawan dari Indonesia di acara pembukaan pameran lukisan 13 seniman keturunan Jawa yang paling kondang di Suriname Sabtu malam (1/8). Dia buru-buru mencari saya yang datang agak telat karena baru turun dari pesawat yang membawa saya dari Indonesia.
”Wah, piye kabare, Pak (bagaimana kabarnya, Pak)? Apik-apik wae to (Baik-baik saja, kan)?” ujarnya sembari menjabat tangan saya dengan erat.
Wajahnya berbinar. Senyumnya terus mengembang. ”Kapan tekane (Kapan datangnya)? Karo sopo (Dengan siapa)? Turu ning endi (Tidur di mana)?” cerocos Tosari.
Setelah berbasa-basi, mulailah dia bercerita tentang lukisannya yang diberi judul Kangen Simbah. Lukisan tersebut menggambarkan seorang yang tua sedang memangku anak kecil bersama dua orang lain di kanan dan kirinya. Gambar utama itu diberi hiasan pohon-pohon kelapa yang melambai.
”Ini aku dipangku simbah. Kalau ini orang tua angkatku dan ini saudaraku,” tutur Tosari sambil menunjuk gambar dirinya waktu masih kecil itu.
”Tapi, aku wis lali kabeh jenenge (Tapi, saya sudah lupa nama mereka),” imbuh pelukis plontos yang tidak mengetahui orang tua kandungnya itu.
Masih dalam satu frame, di sebelah kiri kanvas, Tosari juga menggoreskan cat minyaknya yang menunjukkan ”sejarah” leluhurnya. Digambarkan kapal Besoeki yang katanya membawa nenek moyangnya dari Jawa ke Suriname pada 16 Juni hingga 27 Agustus 1907. Terus, di bawahnya tertulis Kedoe, Poerworejo.
Menurut bapak tiga anak itu, leluhurnya berasal dari Desa Kedoe, Purworejo, Jawa Tengah. Tapi, dia tidak tahu letak Purworejo. Karena itu, Tosari berharap di sisa-sisa hidupnya masih bisa merunut sejarah leluhurnya itu di Indonesia. Kalau toh sekarang sudah tidak ada lagi yang tersisa, paling tidak dia bisa mengetahui lokasi Desa Kedoe dan kondisinya kini. Dia juga penasaran, mengapa diberi nama Tosari.
”Aku ingin sekali datang ke desa itu. Karenanya, nanti, kalau Pak Gubernur Jateng (Ganjar Pranowo) datang ke sini, aku ingin menyampaikan unek-unek hidupku di tanah Suriname ini kepada dia,” paparnya.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memang dijadwalkan akan datang di acara Indo Fair 2015 yang dilaksanakan September mendatang di Sana Budaya, Paramaribo. Indo Fair merupakan ajang promosi perdagangan yang menampilkan produk-produk Indonesia. Kegiatan itu diselenggarakan setiap tahun. Tahun ini KBRI di Suriname secara khusus mengundang Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai tamu kehormatan. Biasanya, delegasi pengusaha dan pemerintah yang ditunjuk sebagai tamu kehormatan akan dipimpin gubernurnya langsung. Karena itu, Tosari, seperti disarankan Dubes RI di Suriname Dominicus Supratikto, akan menemui langsung Ganjar di Indo Fair nanti.
”Aku tadi diberi tahu Pak Dubes bahwa pas Indo Fair nanti gubernur Jawa Tengah akan datang. Aku mau ngomong dengan dia,” kata dia.
”Jeritan hati” Tosari itu hanya satu di antara puluhan lukisan dari 13 pelukis keturunan Jawa paling top di Suriname yang sedang berpameran di Gedung De Hal, Paramaribo, mulai Sabtu (1/8). Pameran lukisan itu merupakan cara para seniman untuk turut meramaikan perayaan peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname yang jatuh pada 9 Agustus mendatang.
Selain Tosari, ada 12 pelukis lagi. Antara lain Soekijan Irodikromo, Sri Rubinah, Ogust Buhe, Asmorejo, Robert Bosari, Steven Towiryo, dan Sadirin Singo Astro. Juga ada Rasidin, Ardi Setro Prawiro, Daeri Joyo Atmo, Suhada Kasto, dan Kim Sonto Sumata. Hampir seluruh lukisan bertema Jawa. Ada yang berkisah tentang kerinduan akan sosok leluhur atau objek yang terkait dengan khazanah budaya Jawa.
Sambil menikmati suguhan peyek kacang, tape ketan, pisang goreng, lemper, dan Parbo Bier (bukan pabro bir seperti tertulis kemarin), banyu londo khas Suriname, para tamu dapat membayangkan ”mimpi” para pelukis saat menggoreskan cat minyaknya pada bidang gambar. Misalnya karya Soeki, sapaan Soekijan Irodikromo, yang paling menonjol di antara karya-karya pelukis lain.
Dalam pameran itu, pelukis 70 tahun tersebut membawa lima karyanya. Semuanya bertema tari. Ada tarian gebyar batik, asmoro, selendang, dan kerincing mas.
”Ini kegelisahan saya kepada anak-anak Jawa di Suriname yang mulai meninggalkan budaya tradisi nenek moyangnya,” ujar pelukis yang ngangsu kaweruh di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (kini ISI) pada 1979–1980 itu.
Dia lalu menceritakan, semasa kecil di Desa Roos en Weerk, Commewijn, dirinya hanya mendengar alunan gamelan yang ditabuh bapak-ibunya. Tidak ada televisi dan produk kebudayaan Barat lainnya.
”Pokoke, saben-saben mung krungu suara gamelan. Ora ono liyan (Pokoknya, setiap saat hanya mendengar suara gamelan. Tidak ada yang lain),” tuturnya.
Selain dikenalkan dengan gamelan, tentu saja dia diajari melukis oleh orang tuanya. Sampai akhirnya bakat itu benar-benar tertanam dalam jiwanya dan menjadi sumber penghidupannya. ”Ya, aku hidup dari melukis, dari kesenian Jawa,” ujar Soeki, yang lukisan tarian kerincing masnya laku USD 2.900 (sekitar Rp 38,5 juta dengan kurs Rp 13.300 per dolar).
Menurut dia, pameran lukisan itu merupakan bentuk respek para seniman kepada leluhur yang telah melahirkan dan membawa mereka hingga negara yang kaya emas, bauksit, dan kayu itu. ”Kalau bukan kita yang respek, lalu siapa lagi? Wong para leluhur itu mbah-mbah kita sendiri,” tegas pelukis yang fasih berbahasa Indonesia itu.
”Ben wong Jowo ora lali karo leluhure dewe (Biar orang Jawa tidak lupa kepada nenek moyangnya),” tambah dia.
Kini Soeki merintis sekolah khusus melukis yang dinamai Soeki Irodikromo Academy Culture en Kunst. Untuk sementara, akademi itu menempati ruang di belakang kompleks Sana Budaya. Akademi itu dia biayai sendiri. Sedikit pun tidak mendapat subsidi dari pemerintah.
”Iki wis mlaku limang taun. Tak biayai dewe. Ora popo. Sing penting, wong Jowo iso sinau ngelukis. Ben ora ketinggalan karo bangsa liya (Ini sudah jalan lima tahun. Saya biayai sendiri. Tidak apa-apa. Yang penting, orang Jawa bisa belajar melukis. Biar tidak kalah oleh bangsa lain),” tutur dia.

Lewat kesenian, orang-orang keturunan Jawa di Suriname mengungkapkan kerinduan terhadap kampung halaman nenek moyang di Indonesia. Mereka ingin tahu sekali seperti apa tanah leluhur itu.
RENE Tosari, 67, girang sekali begitu mengetahui bahwa ada wartawan dari Indonesia di acara pembukaan pameran lukisan 13 seniman keturunan Jawa yang paling kondang di Suriname Sabtu malam (1/8). Dia buru-buru mencari saya yang datang agak telat karena baru turun dari pesawat yang membawa saya dari Indonesia.
”Wah, piye kabare, Pak (bagaimana kabarnya, Pak)? Apik-apik wae to (Baik-baik saja, kan)?” ujarnya sembari menjabat tangan saya dengan erat.
Wajahnya berbinar. Senyumnya terus mengembang. ”Kapan tekane (Kapan datangnya)? Karo sopo (Dengan siapa)? Turu ning endi (Tidur di mana)?” cerocos Tosari.
Setelah berbasa-basi, mulailah dia bercerita tentang lukisannya yang diberi judul Kangen Simbah. Lukisan tersebut menggambarkan seorang yang tua sedang memangku anak kecil bersama dua orang lain di kanan dan kirinya. Gambar utama itu diberi hiasan pohon-pohon kelapa yang melambai.
”Ini aku dipangku simbah. Kalau ini orang tua angkatku dan ini saudaraku,” tutur Tosari sambil menunjuk gambar dirinya waktu masih kecil itu.
”Tapi, aku wis lali kabeh jenenge (Tapi, saya sudah lupa nama mereka),” imbuh pelukis plontos yang tidak mengetahui orang tua kandungnya itu.
Masih dalam satu frame, di sebelah kiri kanvas, Tosari juga menggoreskan cat minyaknya yang menunjukkan ”sejarah” leluhurnya. Digambarkan kapal Besoeki yang katanya membawa nenek moyangnya dari Jawa ke Suriname pada 16 Juni hingga 27 Agustus 1907. Terus, di bawahnya tertulis Kedoe, Poerworejo.
Menurut bapak tiga anak itu, leluhurnya berasal dari Desa Kedoe, Purworejo, Jawa Tengah. Tapi, dia tidak tahu letak Purworejo. Karena itu, Tosari berharap di sisa-sisa hidupnya masih bisa merunut sejarah leluhurnya itu di Indonesia. Kalau toh sekarang sudah tidak ada lagi yang tersisa, paling tidak dia bisa mengetahui lokasi Desa Kedoe dan kondisinya kini. Dia juga penasaran, mengapa diberi nama Tosari.
”Aku ingin sekali datang ke desa itu. Karenanya, nanti, kalau Pak Gubernur Jateng (Ganjar Pranowo) datang ke sini, aku ingin menyampaikan unek-unek hidupku di tanah Suriname ini kepada dia,” paparnya.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memang dijadwalkan akan datang di acara Indo Fair 2015 yang dilaksanakan September mendatang di Sana Budaya, Paramaribo. Indo Fair merupakan ajang promosi perdagangan yang menampilkan produk-produk Indonesia. Kegiatan itu diselenggarakan setiap tahun. Tahun ini KBRI di Suriname secara khusus mengundang Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sebagai tamu kehormatan. Biasanya, delegasi pengusaha dan pemerintah yang ditunjuk sebagai tamu kehormatan akan dipimpin gubernurnya langsung. Karena itu, Tosari, seperti disarankan Dubes RI di Suriname Dominicus Supratikto, akan menemui langsung Ganjar di Indo Fair nanti.
”Aku tadi diberi tahu Pak Dubes bahwa pas Indo Fair nanti gubernur Jawa Tengah akan datang. Aku mau ngomong dengan dia,” kata dia.
”Jeritan hati” Tosari itu hanya satu di antara puluhan lukisan dari 13 pelukis keturunan Jawa paling top di Suriname yang sedang berpameran di Gedung De Hal, Paramaribo, mulai Sabtu (1/8). Pameran lukisan itu merupakan cara para seniman untuk turut meramaikan perayaan peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname yang jatuh pada 9 Agustus mendatang.
Selain Tosari, ada 12 pelukis lagi. Antara lain Soekijan Irodikromo, Sri Rubinah, Ogust Buhe, Asmorejo, Robert Bosari, Steven Towiryo, dan Sadirin Singo Astro. Juga ada Rasidin, Ardi Setro Prawiro, Daeri Joyo Atmo, Suhada Kasto, dan Kim Sonto Sumata. Hampir seluruh lukisan bertema Jawa. Ada yang berkisah tentang kerinduan akan sosok leluhur atau objek yang terkait dengan khazanah budaya Jawa.
Sambil menikmati suguhan peyek kacang, tape ketan, pisang goreng, lemper, dan Parbo Bier (bukan pabro bir seperti tertulis kemarin), banyu londo khas Suriname, para tamu dapat membayangkan ”mimpi” para pelukis saat menggoreskan cat minyaknya pada bidang gambar. Misalnya karya Soeki, sapaan Soekijan Irodikromo, yang paling menonjol di antara karya-karya pelukis lain.
Dalam pameran itu, pelukis 70 tahun tersebut membawa lima karyanya. Semuanya bertema tari. Ada tarian gebyar batik, asmoro, selendang, dan kerincing mas.
”Ini kegelisahan saya kepada anak-anak Jawa di Suriname yang mulai meninggalkan budaya tradisi nenek moyangnya,” ujar pelukis yang ngangsu kaweruh di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Jogjakarta (kini ISI) pada 1979–1980 itu.
Dia lalu menceritakan, semasa kecil di Desa Roos en Weerk, Commewijn, dirinya hanya mendengar alunan gamelan yang ditabuh bapak-ibunya. Tidak ada televisi dan produk kebudayaan Barat lainnya.
”Pokoke, saben-saben mung krungu suara gamelan. Ora ono liyan (Pokoknya, setiap saat hanya mendengar suara gamelan. Tidak ada yang lain),” tuturnya.
Selain dikenalkan dengan gamelan, tentu saja dia diajari melukis oleh orang tuanya. Sampai akhirnya bakat itu benar-benar tertanam dalam jiwanya dan menjadi sumber penghidupannya. ”Ya, aku hidup dari melukis, dari kesenian Jawa,” ujar Soeki, yang lukisan tarian kerincing masnya laku USD 2.900 (sekitar Rp 38,5 juta dengan kurs Rp 13.300 per dolar).
Menurut dia, pameran lukisan itu merupakan bentuk respek para seniman kepada leluhur yang telah melahirkan dan membawa mereka hingga negara yang kaya emas, bauksit, dan kayu itu. ”Kalau bukan kita yang respek, lalu siapa lagi? Wong para leluhur itu mbah-mbah kita sendiri,” tegas pelukis yang fasih berbahasa Indonesia itu.
”Ben wong Jowo ora lali karo leluhure dewe (Biar orang Jawa tidak lupa kepada nenek moyangnya),” tambah dia.
Kini Soeki merintis sekolah khusus melukis yang dinamai Soeki Irodikromo Academy Culture en Kunst. Untuk sementara, akademi itu menempati ruang di belakang kompleks Sana Budaya. Akademi itu dia biayai sendiri. Sedikit pun tidak mendapat subsidi dari pemerintah.
”Iki wis mlaku limang taun. Tak biayai dewe. Ora popo. Sing penting, wong Jowo iso sinau ngelukis. Ben ora ketinggalan karo bangsa liya (Ini sudah jalan lima tahun. Saya biayai sendiri. Tidak apa-apa. Yang penting, orang Jawa bisa belajar melukis. Biar tidak kalah oleh bangsa lain),” tutur dia.
SUMBER
Orang-orang di keturunan Jawa di perantauan walau bukan lagi warga negara Indonesia (WNI) dan tinggal jauh di seberang benua sana, sampai sekarang masih belum lupa akan nenek moyangnya dulu dan masih menjaga tradisi leluhurnya.
Menginjak usia negara Republik Indonesia yang pada 17 Agustus nanti telah menginjak 70 tahun, kita disini dapat belajar dari mereka hendaknya tidak pernah lupa akan budaya sendiri agar kelak anak cucu kita masih dapat melihat keanekaragaman bangsa Indonesia


0
3.5K
Kutip
24
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan