Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sanggarx2Avatar border
TS
sanggarx2
LONDO IRENG (Black African) PURWOREJO.Jejak Sejarah yang Terlupakan.
LONDO IRENG (Black African) PURWOREJO.Jejak Sejarah yang Terlupakan.
Ketika saya masih kecil, ditahun-tahun ‘30-an akhir, bila saya diajak menengok orang sakit di Zending/RSD Purworejo, di daerah Pangen (Juru Tengah) kami melewati sebuah kompleks sebelah timur Rumah Sakit, di sebelah kanan jalan, yang dihuni oleh “orang2 aneh”. Yang paling menyolok adalah kulit mereka yang hitam legam, “ireng-tuntheng”, sehingga bila ketawa kelihatan sederet gigi mereka yang sangat kontras dengan warna kulit mereka. Kenangan saya yang terpatri dalam memori saya tentang kompleks pemukiman itu adalah sederetan rumah-rumah gedung yang cukup bagus dengan hiasan pohon “pisang kipas” yang banyak menghias halaman depannya. Anak anak yang bermain di halaman depannya dengan penampilan mereka, sungguh merupakan pemandangan yang betul-betul ajaib dan “menakjubkan”.


Foto keluarga “Londo Ireng” di depan rumahnya di Purworejo sekitar thn 1922. Mereka termasuk Indo Afrika, karena ibu-ibu mereka wanita setempat seperti yang nampak pada foto tsb.

Siapa mereka ini, darimana asal-usulnya, mengapa dan bagaimana mereka bisa berada di Purworejo, sampai berkembang biak dan bermasyarakat, dan hidup dalam kompleks perkampungan di daerah Pangen itu? Dan selanjutnya, mengapa pada satu saat tiba-tiba menghilang hampir tanpa bekas, ibarat kabur terbawa angin. Sungguh kisah yang menarik, dan berdasar atas apa yang saya baca dari kepustakaan yang ada*) dan observasi lapangan secara pribadi berikut ini adalah yang bisa diceritakan secara singkat.

Perang Diponegoro.

Bermula dari jaman Perang Diponegoro (1825-’30), Belanda “kehilangan” sekitar 8000 tentara kulit putih, baik yang gugur dalam pertempuran maupun korban penyakit tropis. Serdadu itu direkrut dari berbagai negara Eropah, khususnya Jerman, sebagai prajurit bayaran. Belanda sendiri sebagai negara kecil tidak mungkin menyediakan tentara, yang kemudian menjadi korban, sebanyak itu. Sebagai contoh, Belanda tahun 1827 ditengah-tengah berkecamuknya Perang Diponegoro, mengirim bantuan pasukan satu resimen terdiri dari 3000 orang tentara bayaran kulit putih. Dua tahun kemudian resimen tersebut tinggal 1000 orang. Itulah dahsyatnya Perang Diponegoro yang oleh Belanda dinamakan “Perang Jawa” (Java Oorlog), perang yang paling berdarah dalam sejarah perang kolonial Belanda, dalam jumlah korban, tenaga-pikiran dan keuangan Belanda.
Dengan berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda mulai berpikir bila nanti ada peperangan lagi di daerah jajahannya, dari mana mereka merekrut pasukan, disamping mahal biayanya juga adanya pembatasan-pembatasan dari negara yang bersangkutan untuk tidak memperbolehkan warganya di rekrut sebagai serdadu bayaran.

Kedatangan Serdadu Afrika.


Gubernur Jendral waktu itu, Van den Bosch, yang kemudian dikenal juga sebagai arsitek tanam paksa Cultuur Stelsel, mengusulkan sebuah solusi dengan merekrut tentara yang berasal dari Afrika Barat dari negara-negara yang kini bernama Ghana dan Burkina Fasau. Di sana Belanda memang memiliki pos-pos perdagangan/benteng yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk maksud rekrutmen tersebut. Alasannya disamping murah, berani perang, orang Afrika dinilai lebih tahan menghadapi iklim dan penyakit di daerah tropis.

Dengan berbagai akal dan usaha, antara lain dengan membeli budak-budak dari raja setempat, 100 gulden per kepala, Belanda berhasil merekrut tentara bayaran Afrika. Pengiriman terjadi dalam beberapa gelombang: antara tahun 1831-1836, sebanyak 112 orang, tahun 1837-1841, sebanyak 2100 orang dan antara tahun 1860-1872, 800 orang. Jumlah seluruhnya lebih dari 3000 orang, seluruhnya berstatus bujangan.

Inilah kapal Belanda pertama tahun 1831 yang membawa orang Afrika ke Hindia Belanda/Purworejo.

Serdadu bayaran dari Afrika tersebut bekerja berdasar kontrak untuk 12 tahun dan dapat diperpanjang, dengan gaji 20 gulden/bulan. Gaji 20 gulden itu masih harus dipotong angsuran untuk mengembalikan ongkos “pembeliannya” yang 100 gulden. Mereka secara hukum berstatus sama dengan serdadu Belanda putih, kecuali gajinya yang hanya setengahnya. Dan untuk membedakan mereka dengan Belanda putih, mereka dinamakan Zwarte Hollanders, Belanda Hitam, atau Londo Ireng.


Serdadu Afrika “londo ireng” bersama rekannya “londo putih”, kasih hormat setelah terima bintang jasa atas jasa-jasanya dalam Perang Aceh, tahun 1875.

Mereka disebar keberbagai lokasi, Semarang, Salatiga dan Solo, namun sebagian besar ditempatkan di Garnisun Purworejo pada Tangsi Militer Kedungkebo yang baru selesai dibangun permulaan tahun 1830-an. Pembangunan tangsi besar dan penempatan serdadu hitam di Purworejo itu bukan tanpa alasan. Di daerah Bagelen ini Belanda menderita banyak kekalahan selama Perang Diponegoro dengan jatuhnya korban terbesar diantara serdadunya, sehingga diperlukan cara khusus untuk mengatasi. Tidak kurang dari 25 benteng dibangun diseluruh daerah Bagelen ( dari Kedungkebo sampai ke Petanahan/Kebumen), inilah yang mereka namakan strategi “benteng stelsel” hasil rekayasa Jendral de Kock, untuk mengepung dan mempersempit gerak pasukan Diponegoro. Yang dekat Purworejo antara lain adalah benteng Kedungkebo, Bubutan, Lengis. Ke Barat Ambal dan Petanahan. Kekuatan pasukan Diponegoro menyebar sepanjang pantai selatan Bagelen, Urut Sewu, sehingga dari dulu sejak saya masih kecil, sampai sekarang, jalan sepanjang daerah itu dikenal dengan nama Jalan Diponegoro.

Dengan selesainya Perang tahun 1830, Belanda menilai bahwa daerah Bagelen adalah daerah rawan yang memerlukan perhatian khusus, mengingat pengikut Diponegoro masih cukup banyak dan kuat. Dibangunlah tangsi militer besar di Kedungkebo yang masih bertahan kokoh sampai saat ini. Kemampuan militer Belanda untuk daerah Bagelen dengan sendirinya juga diperbesar. Penempatan serdadu kulit putih dan pribumi dalam jumlah yang besar, sekitar satu batalyon, itu belum menjamin rasa aman Belanda, sehingga dirasa perlu untuk menempatkan serdadu Afrika sebanyak tiga kompi, di garnisun Purworejo yang berlangsung dari tahun 1831-1872.

Prestasi Serdadu Afrika.

Uji coba serdadu Afrika tersebut dimulai di Lampung, Sumatra Selatan yang nampak kurang memuaskan, kemudian dalam Perang Paderi di Sumatra Barat dimana sudah nampak kelebihan orang Afrika ini, namun yang dianggap sukses oleh Belanda adalah ikut sertanya 536 serdadu Afrika dalam pasukan yang berkekuatan 7500 orang dalam ekspedisi ketiga penaklukan Bali tahun 1849, (Perang Buleleng) yang berakhir dengan ditundukkannya raja Bali setelah jatuhnya benteng Jagaraga (Singaraja). Setelah ekspedisi berakhir sebanyak 41 orang serdadu Afrika mendapat tanda penghargaan dan citra mereka naik tinggi dimata orang Belanda.

Setelah itu serdadu Afrika ikut aktif dalam ekspedisi ke Timor, Sulawesi, Kalimantan dan tentu saja dalam perang Aceh. Disini seorang perwira dalam laporannya mengatakan bahwa “orang Afrika adalah serdadu-serdadu terbaik dalam KNIL (Serdadu Hindia Belanda)” dan “memperhatikan bahwa orang Aceh sangat segan terhadap orang Afrika”.

Belanda tidak menutup mata terhadap prestasi dan jasa orang Afrika ini. Mengingat kedatangan mereka berstatus “bujangan”, mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan perempuan setempat, ada yang sekedar kumpul kebo, namun banyak yang berujung dengan pernikahan. Mereka membangun kehidupan rumah tangga dan sewaktu kontrak mereka habis, mereka yang tidak ingin kembali ke Afrika, memutuskan untuk menetap ditempat dimana mereka terakhir ditugaskan. Inilah kiranya cikal-bakal masyarakat Afrika , khususnya di Purworejo. Mereka hidup di luar tangsi dan membaur dengan masyarakat setempat bersama isteri penduduk pribumi dan anak-anak turunan mereka, yang mendapat julukan Indo Afrika.

Kampung Afrikan.

Keadaan ini nampaknya menjadi perhatian pemerintah Belanda. Sejalan dengan makin tumbuh-berkembangnya kelompok keluarga Afrika ini dan mengingat akan jasa-jasa mereka, juga alasan praktis agar dalam keadaan darurat bisa sewaktu-waktu dikerahkan, Pemerintah Belanda melalui keputusannya tertanggal 30 Agustus 1859, membeli sebidang tanah di Pangen Jurutengah yang di khususkan bagi pemukiman warga Afrika. Setiap keluarga mendapat jatah 1.151 meter persegi untuk dibangun rumah sekaligus lahan garapan untuk berkebun dan bertani. Dengan bantuan pemerintah Belanda ini tumbuhlah perkampungan/hunian masyarakat Afrika di Purworejo yang masih mempertahankan ciri-ciri identitas keafrikaannya. Inilah satu satunya hunian masyarakat Afrika di Indonesia, atau yang dikenal sebagai “Kampung Afrikan” di Purworejo, yang juga menjadi acuan/tempat berkumpul bagi masyarakat Afrika dari daerah-daerah/kota lainnya.

Yang tersisa dari kampung Afrikan di Purworejo.

Walupun mereka hidup dalam hunian khusus, namun hubungan dengan masyarakat pribumi sekitarnya relatif berlangsung baik dan harmonis dengan prinsip hidup berdampingan secara damai. Dan jangan dilupakan bahwa anak/turunan mereka itu hakekatnya adalah hasil dari perkimpoian dengan wanita-wanita setempat juga. Dalam catatan terakhir ada sekitar 25 keluarga Afrika yang terdaftar sebagai pemilik tanah/rumah dengan jumlah warga sekitar 90 orang yang tinggal di Kampung Afrikan tersebut. Nampaknya masyarakat Purworejo menerima keberadaan mereka secara wajar dan ini membuktikan bahwa toleransi penduduk/masyarakat Purworejo sejak jaman dulu memang telah teruji.


Menurut warga setempat, inilah bangunnan asli/rumah Londo Ireng Purworejo dari sedikit yang tersisa.

Lanjut bawah
fan.kui
fan.kui memberi reputasi
1
20.6K
59
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan