ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #54 : Cinta Pertamaku 5cm Jauhnya


“Hei, kau tau nggak?”

“Tau apa?”

“Bunga sakura yang jatuh itu … kecepatannya lima sentimeter per detik.”

“Gitu ya?”

“Iya.”

“Hmm ….”

“Hmm?”

Dan tiba-tiba saja Akari berlari. Aku terburu-buru mengejarnya.

Dulu aku dan Akari terbiasa untuk saling bertukar pengetahuan yang kami dapatkan dari buku atau televisi. Kami seperti tupai yang mati-matian mengumpulkan makanan untuk musim dingin. Entah kenapa aku selalu berpikir pengetahuan-pengetahuan itu akan berguna di masa depan.

Sayangnya aku sudah lupa sebagian besar dari yang kami bicarakan dulu. Yang aku tahu, tak ada siapa pun yang bisa kembali ke masa lalu.

***


Suara alarm membuatku terbangun. Jam lima pagi, sama seperti biasanya. Aku sudah bersiap bangkit dan berjalan ke kamar mandi sampai akhirnya aku teringat bahwa aku sudah berhenti kerja. Tak ada apa pun yang harus kulakukan pagi ini.

Akhirnya aku cuma berbaring dan melamun. Setelah kehabisan bahan lamunan aku membuka sosial media dan segera menutupnya lagi. Untunglah kantong kemihku memberontak, akhirnya aku punya alasan untuk bangkit.

Bangun, mandi, sarapan, lalu merenung lagi. Sudah lama sejak terakhir kali aku merasa hidupku tidak berguna. Saat ini aku bukan bagian dari masyarakat. Aku tidak bekerja, tidak bersekolah, dan bukan bagian dari kegiatan sosial mana pun. Apa istilah untuk menggambarkan ini ya?

Tiba-tiba saja mataku menangkap sekelopak bunga sakura yang jatuh di luar jendela. Mereka jatuh tidak tertiup angin. Jatuh dengan kecepatan lima sentimeter per detik.

“NEET,” bisikku kemudian. Aneh rasanya mengingat sesuatu yang dulu dia beritahukan padaku. Sudah berapa lama sejak saat itu? Dua puluh?

Suara dering panggilan masuk membuyarkan lamunanku. Aku melihat nama pemanggil dan merasa enggan untuk menjawab. Meski demikian aku tetap mengangkatnya.

“Halo, Ma?”

“Halo Nak. Gimana rasanya jadi pengangguran? Udah mulai stress?”

Tanpa basa-basi beliau menusuk langsung di titik vital. Kurasa dia setengah bercanda, tapi setengahnya lagi serius.

“Iya, enggak enak juga rasanya.”

“Nggak apa-apa kalau kau mau ganti karir. Yang penting jangan lama-lama. Buruan update CV sana.”

“Iya, makasih sarannya.”

Setelahnya kami berbasa-basi sebentar dan aku sudah hendak mengakhiri panggilan saat ‘dia’ kembali muncul di belakang kepalaku.

“Umm … Mama masih inget nggak sama Akari?”

“Hmm? Akari … ahh, mantan pacarmu waktu TK?”

“Kami nggak pacaran, tapi iya yang itu. Mama tahu nggak mereka pindah ke mana?”

“Wah, Mama nggak tahu. Mau Mama carikan?”

“Hmm, nggak usah deh. Nggak terlalu penting kok.”

Aku tak mengerti kenapa aku menanyakan itu. Aku tak pernah mendapat kabar darinya sejak dia pindah, tapi tak diragukan lagi dialah orang yang paling dekat denganku saat TK dulu. Banyak yang mengira kami pacaran dan kurasa aku memang suka padanya, tapi itu cuma cinta monyet anak kecil yang hilang tanpa jejak saat sudah dewasa.

Kira-kira sedang apa dia sekarang?

Pertanyaan itu melekat di kepalaku sepanjang siang. Sekarang setelah punya begitu banyak waktu aku membiarkan rasa penasaran mengambil alih. Kubuka sosial media dan kuketikkan namanya.

Di situlah aku sadar bahwa aku sudah melupakan wajahnya. Itu sudah 20 tahun yang lalu. Kebanyakan orang bahkan tak ingat siapa guru wali kelas mereka saat Sd jika sudah 20 tahun terlewat. Selain itu wajah seseorang bisa berubah banyak selama masa pubertas. Mencarinya di sosmed tak berbeda dibanding mencari wortel terlezat di kebun.

Setelah menerima kenyataan aku memilih berjalan-jalan ke luar. Aku tak tahu ke mana, yang penting tidak di rumah. Jam segini biasanya aku akan makan siang dengan teman sekantor. Jam tubuhku mengingat kebiasaan itu dan mengirim sinyal lapar meski aku baru sarapan dua jam yang lalu.

Akhirnya aku mampir ke minimarket untuk membeli beberapa jajanan. Mie cup instan sepertinya enak jadi aku meminta air panas dan memilih makan di depan minimarket. Lumayan juga menyaksikan orang-orang berlalu-lalang. Pemandangannya juga indah. Daun-daun berguguran tertiup angin yang datang setiap menit.

“Lima sentimeter per detik,” bisikku lagi.

Kenapa aku sangat terpikat dengan memori samar yang tiba-tiba muncul kembali? Apa karena hidupku jatuh berantakan sampai-sampai aku ingin mengenang ingatan indah di masa lalu.

Akari. Aku yakin aku punya rasa padanya. Wajahnya cantik, senyumnya manis. Setiap kali dia bicara aku bisa melihat gigi depannya yang agak besar. Jika dia berlari rambut panjangnya akan berkibar seolah memintaku menangkapnya. Namun yang paling membuatku terpesona adalah aura hangat yang memancar darinya.

Mungkin dialah penyebab aku menyukai tipe wanita seperti itu. Betul. Secara tidak sadar dia sudah menetapkan standar dalam hidupku.

Panggilan masuk lagi-lagi membuyarkan lamunanku. Jui, seniorku di tempat kerja, menelpon. Aku memilih mengabaikannya. Aku tak punya masalah dengannya, aku hanya merasa tak ingin berhubungan dengan orang-orang kantor sehari setelah resign. Apalagi alasanku resign sangatlah konyol.

Belum lama ini aku putus dengan Carla yang bekerja di kantor yang sama, hanya saja departemennya berbeda. Untuk mengurangi canggung sekaligus melepaskan diri dari bayang-bayangnya aku memilih resign dari tempatku bekerja lima tahun lamanya.

Sebenarnya aku tak yakin itu pilihan yang bijak, tapi berada di dekat Carla tak memberikan perasaan nyaman seperti yang seharusnya kudapatkan dulu. Mungkin waktu sudah merubah hubungan kami. Awalnya aku tak mengerti di mana yang salah, tapi setelah mengingat Akari lagi aku sadar perasaanku ke Carla berubah sejak dia memotong rambutnya.

Aku suka rambut panjangnya tapi dia memotongnya tanpa meminta pendapatku. Aku tak punya hak untuk marah dan sebenarnya aku tak terlalu mempermasalahkannya, tapi sejak itu kami jadi lebih sering bertengkar. Mungkin rambut panjang benar-benar berarti bagiku.

“Lima sentimeter per detik ….”

Lagi-lagi aku mengucapkan kalimat itu. Sebenarnya seberapa penting kalimat itu? Aku merasa ada semacam pesan yang tak bisa kuingat. Atau mungkinkah itu sebuah petunjuk?

Kembali aku membuka sosial media dan mencari nama Akari. Di antara sekian banyak aku mencoba memilah dari semua ciri yang masih kuingat. Gigi depan agak besar dan rambut panjang. Tak ada jaminan dia masih memiliki dua ciri itu, tapi tak adanya pekerjaan lain membuatku terus mencari.

Jika ditanya apakah aku ingin bertemu dengannya lagi maka aku tak yakin harus menjawab apa. Tak ada orang yang tak berubah setelah 20 tahun lamanya. Aku bahkan tak yakin dia masih mengingatku. Namun, bukankah terdengar romantis jika aku bisa bertemu kembali dengan cinta pertamaku setelah 20 tahun lamanya?

“Lima sentimeter per detik ….”

Aku membaca deskripsi yang tertera di salah satu akun. Sontak saja aku membuka dan melihat wajah yang sudah lama hilang dari ingatan. Entah bagaimana aku harus menjelaskan perasaan meledak-ledak ini, tapi perasaan itu hanya berlangsung singkat karena semua yang kuharapkan tidak sesuai harapan.

Rambutnya pendek sekarang. Giginya juga tidak sebesar itu. Aura hangatnya masih bisa terpancar meski melalui layar, tetapi rasanya sangat berbeda. Mungkin anak kecil yang dia gendong adalah perbedaan yang paling besar.

Ternyata, dia sudah jadi seorang ibu.

Fakta bahwa aku kecewa adalah bukti bahwa aku mengharapkan sesuatu. Terlalu indah rasanya jika kisah cinta bersemi kembali benar-benar terjadi padaku. Namun aku tetap lega bisa melihatnya lagi. Dia ada di sana, di suatu tempat di balik layar smartphone. Satu sentimeter tebal masing-masing smartphone dan tiga sentimeter kabel listrik yang membawa sinyal, dia hanya 5 cm jauhnya. Dengan beberapa sentuhan aku bisa menjangkaunya.

Mendadak saja hatiku terasa berat. Menemukannya setelah selama ini sudah terasa seperti keajaiban. Sosok cinta pertama yang menetapkan standar dalam kehidupan percintaanku sudah benar-benar berubah. Jika dia saja sudah berubah seperti itu maka standar apa yang sebenarnya sedang kupertahankan?

Tanpa sengaja aku melihat sebuah postingan yang disematkan di halaman depan. Kata-kata itu menangkap perhatianku jadi aku mulai membacanya.

Bunga sakura jatuh dengan kecepatan 5 sentimeter per detik

Cahaya bisa bergerak 299,792,458 meter per detik.

Mereka bilang waktu berhubungan dengan kecepatan

Semakin cepat kau bergerak semakin lambat waktu berjalan

Jika begitu, sehebat apa jika kita bisa bergerak hampir secepat cahaya?

Untuk memahami alam semesta dalam waktu sesingkat itu

Memiliki cukup waktu untuk memahami keabadian, hati, dan jiwa.

Jika kita bergerak secepat cahaya

Bukankah kita akan menaklukkan jarak tak peduli sejauh apa pun?

Jarak yang memisahkan cinta dan benci
Jarak yang memisahkan impian dan tujuan
Jarak antara bintang dan galaksi

Meringkuk dengan kecepatan seperti itu, manusia akan selalu memimpikan cahaya


Namun itu semua akan selalu menjadi mimpi

Karena manusia hanyalah bunga sakura

Dipaksa untuk jatuh dengan kecepatan lambat

Dipaksa untuk melihat dunia dalam kilasan cepat

Dipaksa melihat sepasang kekasih terpisah

Dipaksa melihat mimpi berubah menjadi debu

Dipaksa untuk melihat sambil tertahan gravitasi

Memisahkan bintang-bintang semakin jauh


Tapi bunga sakura tidak jatuh selamanya

Tidak seperti cahaya yang dapat membentang ke hamparan luas, pergi hingga tak terbatas, dan tak pernah melihat ke belakang. Menuju Bima Sakti, Andromeda, atau menuju dunia lain yang penuh dengan kemungkinan

Kita, bunga sakura, akan jatuh dengan kecepatan lima sentimeter per detik

Sampai kita menyentuh tanah


Belum pernah aku merasa begitu berat setelah membaca sesuatu. Daun-daun berguguran, jatuh, dan akhirnya berhenti. Sungguh waktu yang begitu singkat. Kelopak bunga itu jatuh dengan kecepatan masing-masing, bergerak tersapu angin, bersilang jalan dengan kelopak bunga lain, tapi akhirnya tetap berakhir di tanah juga. Perjalanan kelopak bunga sakura tak ada bedanya dengan perjalanan hidup manusia.

Kita bertemu lalu berpisah. Setiap orang harus melanjutkan hidupnya masing-masing. Begitulah kita mengisi hidup yang begitu singkat ini. Bodoh rasanya jika kita terikat pada masa lalu. Aku tak tahu mengapa Akari menulis ini, tetapi dia sudah bahagia dengan hidupnya. Kurasa, aku harus mencari kebahagiaanku juga.

Entah kebetulan atau tidak, ponselku kembali berbunyi dengan nama Carla sebagai pengirim pesan. Diriku sepuluh menit yang lalu akan langsung memblokir nomornya, tapi sekarang aku memilih menghubunginya langsung.

“Halo, Carla … umm, kau mau ngobrol nggak? Iya, boleh, makan malam tempat biasa kan? Ada yang pengen aku omongin.”

Mungkin cinta pertama adalah sebuah kutukan karena itu akan terus menghantuimu dalam berhubungan ke depannya. Tapi kurasa itu bukan kutukan yang jahat. Semua orang akan terus dihantui, tetapi yang bisa melampaui itu akan merasakan betapa indahnya cinta selama kita mau menerima perbedaan.

Besok aku akan mulai mencari pekerjaan baru. Entah berapa lama yang kubutuhkan, tapi aku tidak terburu-buru. Aku akan terus berjalan maju meski hanya lima sentimeter per detik.

***TAMAT***
thecrawlerAvatar border
regmekujoAvatar border
itkgidAvatar border
itkgid dan 6 lainnya memberi reputasi
7
872
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan