ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #43 : THR


Sebenci-bencinya aku pada PKI, aku tetap harus berterima kasih pada mereka karena sudah memperjuangkan THR di Indonesia. THR adalah satu-satunya alasan mengapa para buruh bisa tersenyum di hari raya. Baju baru, makanan lezat, tiket mudik. Semua itu bisa dicapai berkat THR.

THR cair, orang-orang gembira. Sungguh fenomena yang sederhana, tapi itu menjadi bukti menyakitkan bahwa manusia sangat ketergantungan pada yang namanya uang. Setelah bekerja keras setahun penuh para pekerja akhirnya mendapatkan bonus lalu menghamburkan semuanya sekejap mata.

Meski demikian di situlah ada kebahagiaan. THR adalah sumber kebahagiaan.

***


Sebagai anak kecil aku tak pernah peduli dari mana THR itu berasal. Yang penting aku dapat THR. Sudah, itu saja. Yang penting aku bisa beli jajanan dan mainan. Aku tak peduli meski itu uang hasil korupsi.

Namun masa kecil sangat cepat berlalu. Saat aku berumur 14 tahun aku sudah tak lagi mendapatkan THR. Aku meminta, tapi dengan wajah sedih Ayah hanya menggeleng dan berkata, “Kamu sudah besar, Nak.”

Mungkin Ayah sudah katarak. Bagiku manusia dengan tinggi 150 senti tak bisa disebut sudah besar. Lenyap sudah rencana untuk menonton film Agak Laen. Itu benar-benar membuatku kesal, apalagi saat melihat adikku masih diberi THR. Apa yang kulakukan jika aku sedang kesal? Betul, merajuk!

Berhari-hari aku tak mau bicara dengan Ayah. Aku mengabaikannya dan selalu memasang wajah masam setiap kali ada di dekatnya. Aku tahu sikapku kekanak-kanakan, tapi sepenting itulah THR bagiku. Uang jajan saja tidak cukup. Aku mau uang THR.

“Kita tidak punya uang, Nia.”

Itulah yang Ibu katakan di hari ketiga lebaran.

“Perusahaan tempat ayahmu bekerja sedang tidak bagus belakangan ini jadi mereka tak bisa memberi THR untuk para pegawai. Uang kita cuma cukup untuk makan saja. Tolong … tolong kau mengerti.”

Aku tidak mengerti. Mengapa orang lain bisa dapat THR tapi kami tidak? Perkataan Ibu membuatku merenungkan banyak hal. Mengapa Ayah tak dapat THR? Dari mana Ayah mendapat THR? Siapa sebenarnya yang memberi THR? Bagaimana caranya THR itu bisa ada?

Satu tahun penuh aku mencari jawaban. Semakin dalam aku mencari tahu semakin aku tak menyukai uang dan perekonomian. Kekagumanku akan THR berubah menjadi perasaan kompleks yang didominasi ketidaksukaan.

Para pengusaha memberi THR pada para pegawainya. Para pegawai menggunakan THR untuk berbelanja barang. Para pengusaha menaikkan harga barang. Ujung-ujungnya semua uang THR itu hanya akan kembali pada para pengusaha. Kalau memang begitu apa gunanya uang THR? Lalu bagaimana nasib mereka yang tidak mendapat THR di tengah kenaikan semua harga barang?

Pantas saja Ayah menjadi begitu stress. THR itu bukan berkah. Itu adalah kutukan di hari kemenangan.

***


“Ayah. Apa ayah bosan hidup miskin?”

Malam takbiran. Kami sekeluarga tidak ke mana-mana. Kami hanya duduk di teras rumah sembari menunggu pawai yang akan datang melewati jalanan ini. Aku tidak keberatan karena aku sendiri tak terlalu suka keramaian, tapi jika dilihat dari perspektif lain, cuma orang tak berduit saja yang tidak jalan-jalan saat takbiran.

“Kau ngomong apa sih?”

“Ya itu, apa Ayah bosan hidup miskin?”

Tahun ini aku tak mendapat THR lagi yang artinya ayah juga tak mendapat THR dari pekerjaannya. Adikku juga tidak mendapat THR dan itu membuatnya mengamuk. Tampaknya istilah THR sudah resmi menghilang dari keluarga kami.

“Nia, kau itu masih Sma. Tanyakan pertanyaan layaknya anak Sma.”

“Anak Sma jaman sekarang banyak yang bicara masalah politik lo. Aku sudah dewasa, Yah. Ayah tak perlu berpura-pura lagi agar aku tak cemas.”

Ayah terdiam. Kalau dipikir-pikir, Ayah sudah berhenti merokok sekarang. Untunglah dia lebih mementingkan kebutuhan keluarganya dibanding racun tidak berguna itu.

“Iya,” Ayah menjawab, “miskin itu nggak enak.”

Aku mengangguk. Senang rasanya mendengar itu dari Ayah. Itu tidak membuat kemiskinan kami mendadak menghilang. Hanya saja lebih mudah menerima kenyataan dibanding terus-terusan menolaknya.

“Kalau Ayah tahu miskin itu enggak enak kenapa uang THR sejal dulu tidak ditabung? Kenapa kita harus beli baju baru dan masak rendang tiap tahun? Apa Ayah malu dengan tetangga?”

Ayah menghembuskan napas berat. Dia meraba saku bajunya dan kemudian menyadari tak ada rokok di sana. Tampaknya pertanyaan itu sudah membuatnya stres.

“Apa kau senang punya baju baru?” Ayah bertanya.

“Senang.”

“Apa kau suka makan rendang?”

“Suka.”

“Nah, itu dia jawabannya. Ayah bisa saja menabung semua uang, tapi kalau itu membuat kalian sengsara maka apa gunanya?”

Kali ini giliranku yang terdiam. Aku merasa orang dewasa yang menyia-nyiakan uang yang mereka dapat dengan susah payah adalah orang yang menyedihkan, tapi aku tak pernah bertanya kenapa mereka melakukan itu. Aku tahu teorinya, tapi aku tak pernah menambahkan unsur kebahagiaan dalam teori itu.

“Nia mungkin nggak bisa paham sekarang, tapi suatu saat nanti kau pasti paham kalau kebahagiaan itu menular. Melihat orang bahagia bisa membuat kita bahagia. Uang THR itu cuma bayaran kecil supaya kita bisa senang meski cuma beberapa hari. Itulah indahnya hari raya. Semua orang bisa bahagia sama-sama.”

Akhirnya pawai takbiran melewati jalanan di depan rumah. Suara bedug dan terompet saling bersahutan diiringi deru kendaraan dan teriakan anak-anak yang kelewat gembira akan datangnya hari kemenangan. Anak-anak itu mungkin sudah membayangkan barang-barang mewah dan makanan lezat yang akan mereka beli dengan uang THR mereka.

Menjadi anak-anak memang menyenangkan. Menjadi dewasa sangat melelahkan. Aku yang terjebak di antara keduanya bisa dan tidak bisa mengerti keduanya.

Namun, semua orang bahagia. Betul, kan? Setidaknya semua orang merasa kenyang. Kantor libur, sekolah libur, dan tak ada yang marah-marah. Meski hanya beberapa hari, uang THR itu benar-benar membuat banyak wajah tersenyum.

Akhirnya aku pun menarik keluar amplop yang kusimpan di dalam saku. Dengan lembut aku menaruhnya di atas meja dan mendorongnya ke Ayah.

“Apa itu?”

“Ini THR … buat Ayah.”

Parade panjang takbiran akhirnya berlalu. Mereka akan kembali, tapi aku sudah terlalu mengantuk untuk menunggu.

“Uang dari mana ini?”

“Itu uang jajanku satu tahun. Kurasa aku anak yang kurang bersyukur karena marah nggak dapat THR, tapi Ayah masih memberiku uang jajan setiap hari. Jadi … umm … makasih, Yah.”

Malu juga rasanya berterima kasih pada orangtua saat sudah menginjak usia remaja. Kita selalu gembira saat hari raya, tapi kita tak pernah mensyukuri dari mana kebahagiaan itu datang. Bukankah sebuah keluarga bisa berbahagia di hari raya karena orangtua yang rela berkorban demi anak-anaknya? Yang paling pantas mendapat THR bukanlah anak, tapi orangtua.

Namun Ayah mendorong amplop itu lagi ke arahku. Aku tahu dia akan melakukan itu, tapi tetap saja sedih rasanya. Meski demikian dengan senyuman lembut Ayah berkata, “Nih, THR buat kamu. Pakai baik-baik ya.”

Sambil nyengir aku mengambil kembali amlpop itu. Kurasa ini adalah saat-saat langka di mana aku bisa bilang uang tak bisa membeli kebahagiaan. Saling pengertian antara ayah dan anak di malam takbiran ternyata membuat kami tersenyum lebar.
Bagiku, ini adalah THR terbaik seumur hidup.

***TAMAT***
riodgarpAvatar border
YoayoayoAvatar border
bonek.kamarAvatar border
bonek.kamar dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan