ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #38 : Time Capsul


Tina mengatur napasnya saat mencapai puncak gunung. Perjalanan panjang dengan ransel yang berat telah menguras seluruh tenaganya. Meski demikian dia tersenyum puas. Pemandangan dari puncak gunung adalah sesuatu yang harus didapatkan tak peduli sejauh atau sekeras apa pun perjalanannya.

Gunung Nora adalah gunung kesepuluh yang berhasil dia taklukkan. Ada alasan tersendiri mengapa dia memilih gunung ini untuk menjadi yang kesepuluh. Tepat sepuluh tahun yang lalu terjadi sebuah kasus yang cukup menggemparkan di gunung ini. Kasus itu cukup ramai dibicarakan, tapi pada akhirnya terlupakan karena tak pernah terselesaikan.

Tina cukup tertarik untuk melihat tempat kejadian perkara dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi di gunung Nora sepuluh tahun lalu. Puncak gunung ini terlihat begitu damai dan sama sekali tidak berbahaya, tapi kenapa ada empat orang sahabat yang saling membunuh satu sama lain?

Pertanyaan itu masih menjadi misteri hingga sekarang. Bekas-bekas kejadian sudah lenyap tanpa jejak. Misteri pun akan terus jadi misteri. Kebenaran sudah terkubur bersama jasad keempat sahabat.

Tina memutuskan berkeliling dan mencari tempat yang enak untuk mendirikan tenda. Dia berhasil menemukan tanah datar yang cukup lapang, sayangnya sudah ada orang lain yang mendirikan tenda di tempat itu.
“Oh, ya, silahkan saja. Gunung ini bukan milik siapa-siapa,” ucap pria itu saat Tina meminta ijin mendirikan tenda di dekatnya.

Tina memilih duduk dan minum banyak-banyak. Dia masih terlalu lelah untuk mendirikan tenda. Perhatiannya kini teralihkan oleh pria di depannya yang tengah merebus air. Pria itu tampaknya berusia lebih dari 40 tahun dengan jenggot lebat dan rambut yang mulai memutih.

“Anda sendirian?” Tina bertanya.

“Iya,” pria itu menjawab, “aku sengaja tak mengajak keluarga. Aku sedang ingin sendiri dan mengenang masa lalu. Sudah sepuluh tahun lamanya ….”

Tina merasa pria itu sedang mengenang hal yang persis seperti yang dia pikirkan. Tak mungkin itu kebetulan.

“Maksud Anda … kasus sepuluh tahun lalu?” Tina bertanya lagi.

“Betul. Itu kejadian yang sangat disayangkan. Mereka orang-orang baik.”

“Anda kenal mereka?” Tina duduk tegak, rasa penasarannya memuncak.

“Tidak kenal dekat, kami cuma pernah satu universitas. Tapi aku memang tahu sedikit apa yang terjadi. Cuma terkaan, tapi terkaanku biasanya tepat.”

Tina mendengarkan dengan antusias. Pria itu kini menyadari dia harus bercerita karena Tina tidak akan meninggalkan cerita sebagus ini begitu saja.

“Dulu kami satu universitas. Aku pernah dengar mereka berencana mendaki gunung ini. Mereka berencana menanam Time Capsul untuk mengenang persahabatan mereka. Kau tahu apa itu time capsul?”

“Kapsul berisi pesan untuk dibuka di masa depan, kan?”

“Betul. Mereka berencana menulis pesan untuk diri mereka di masa depan. Mereka berencana membukanya kembali sepuluh tahun yang akan datang ….”

***


Gunung Nora, 10 tahun yang lalu ….

Jui, Bam, Iqo, dan Rum berhasil mencapai puncak gunung sebelum matahari terbenam. Keempatnya tersenyum puas. Meski sepuluh tahun berlalu puncak gunung Nora tetap indah di kedua mata. Dulu mereka masih remaja yang hendak bersiap mencari kerja, tapi sekarang mereka sudah benar-benar dewasa. Dunia yang mereka lihat sudah jauh berbeda.

“Ini dia kapsulnya,” ucap Jui puas setelah lama menggali. Itu sebenarnya bukan kapsul melainkan toples plastik berisi empat gulung kertas. “Jadi nih kita buka?”

“Santai dululah. Makan yuk makan,” ajak Iqo. Dia pun mengeluarkan panggangan dari ranselnya lengkap dengan daging-daging mahal kualitas premium.

“Widih, orang kaya,” celetuk Rum. “Padahal dulu kita naik kemari cuma bawa mi. Gimana bisnismu Qo? Katanya kau jadi rentenir sekarang.”

“Rentenir apaan?” bantah Iqo. “Kau yang kudengar jadi bos MLM.”

“Wow, itu bukan MLM ya. Cuma … bisnis yang kurang menguntungkan.”

Dengan senyum licik Rum membantah. Tak ada yang percaya apa yang dia katakan. Perusahaannya pernah kena kasus, tapi dia berhasil lepas tanpa hukuman apa-apa.

“Ngomong-ngomong kau gimana, Bam?” tanya Jui ke Bam yang dari tadi belum mengatakan apa-apa. “Kalau ada masalah ngomong aja. Kami di sini kok buatmu.”

“Thanks,” jawab Bam singkat. Baru sebulan yang lalu ibunya meninggal. Untuk Bam yang belum menikah ini adalah kejadian yang sangat membuatnya terpukul. Sekarang dia tak lagi punya keluarga dekat.

“Itu penyakit kan?” tanya Jui lagi. Bam mengangguk. “Padahal ibumu dulu nggak kelihatan punya tanda-tanda penyakit.”

“Udah, nggak usah sedih. Nih, makan!”

Rum memberikan piring penuh daging pada Bam. Akhirnya mereka berempat pun makan malam sembari mengenang kembali masa-masa perkuliahan mereka dulu.

“Trus kau lihat dia gelepar-gelepar di tanah? bukannya ngelawan malah nangis. Anak bodoh anak bodoh. Ngapain sih dia hidup?!”

Mereka kompak tertawa. Bahkan Bam pun sudah tak lagi menunjukkan wajah murung. Cerita-cerita kosak kelakuan mereka benar-benar menghibur sekaligus nostalgia.

“Sayang sih kita jarang ketemu habis lulus,” ucap Jui agak mengantuk. “Tapi siapa yang nyangka Iqo nikah sama Alfrida? Padahal dia itu incaranku sejak lama, kenapa malah nikah samamu?!”

“Namanya juga jodoh nggak mungkin ke mana,” balas Iqo sombong. “Sejak penciptaan alam semesta garis takdir kami memang ditulis untuk saling bersilang. Udah relain aja. Kau kan kaya, istrimu juga cantik, kurang apa lagi coba?”

“Cantik sih cantik, tapi dia nyaris bunuh aku gara-gara ketahuan selingkuh lo. Habis separuh asetku ngurus cerai trus bayar harta gono-gini.”

“Ya itu salahmu, ngapain selingkuh bodoh?!”

Mereka pun kembali tertawa. Di antara mereka memang Jui yang paling sukses, tapi kehidupan rumah tangganya penuh masalah.

“Ngomong-ngomong masalah kerjaan, kau udah dapat kerjaan baru belum, Bam?” Rum bertanya.

“Belum,” Bam menggeleng. “Aku juga nggak mau buru-buru, nanti kejebak perusahaan nggak jelas lagi. Satu tahun penuh aku kerja nggak dibayar.”

“Kan udah kubilang resign aja. Mau kucariin kerja nggak?” Jui menawarkan bantuan, tapi Bam menggeleng. Jui tidak memaksa. Dia tahu betul temannya yang satu itu memang keras kepala dan harga dirinya tinggi.

“Kau sendiri gimana Rum?” Bam mencoba mengalihkan pertanyaan darinya. “Lagi ngerintis bisnis gelap apa lagi kau?”

“Kenapa kalian langsung mikir aku punya bisnis gelap sih? Gini-gini aku taat bayar pajak lo.”

“Kau kan dari dulu memang gitu. Ingat waktu si … siapa itu namanya? Dulu dia butuh duit terus kau pinjamin, tapi besoknya kau bilang pinjaman itu berbunga seratus persen per hari. Kurang jahat apa itu namanya? Habis uangnya kau peras.”

“Yah, namanya juga waktu itu aku lagi butuh uang. Udahlah, sekarang aku warga negara yang baik. Yuk, kita buka aja kapsulnya.”

Mereka bertiga mengejek Rum yang tak berani berkata jujur. Meski demikian godaan kapsul waktu yang mereka tanam sepuluh tahun lalu lebih kuat dibanding bisnis gelap Rum.

“Kalian masih ingat nggak apa yang kalian tulis dulu?” tanya Iqo.

“Aku cuma nulis target sepuluh tahun sih, nggak ada yang penting,” jawab Jui.

“Aku malah nulis nama calon anakku,” balas Iqo. “Kebetulan sih, bentar lagi Alfirda lahiran.”

Rum membagikan gulungan kertas di dalam kepada pemiliknya. Tanpa menunggu satu sama lain mereka pun membaca isi pesan yang mereka tulis sepuluh tahun yang lalu.
Dan kemudian, suasana mendadak hening.

Hanya angin yang memberi suara di bawah cahaya bulan dan bintang-bintang. Di kala dedaunan terbang menembus kegelapan, hewan-hewan malam mulai keluar dari sarangnya. Mata mereka memantulkan cahaya bulan ke segala arah, memantau pergerakan mangsa. Siapa yang akan menyerang? Siapa yang akan meraung? Perburuan telah dimulai.

“BANGSAAATTT!!!”

Iqo, dengan seluruh kemarahan yang muncul begitu saja, mengayunkan tinjunya ke wajah Jui. Darah tumpah keluar dari mulutnya. Jui tak sempat berkata apa-apa karena Iqo sudah mengangkat tangannya dan meninjunya lagi.

“IQO! STOP IQO!!!”

Rum bangkit dan menarik Iqo sebelum dia membunuh Jui. Rum mengerahkan seluruh tenaga, tapi Iqo yang dibutakan amarah jauh lebih kuat darinya.

“Bam! Bantu aku Bam!” Rum berseru pada Bam yang terus menatap suratnya. Mendengar itu Bam pun bangkit berdiri. Namun bukannya membantu, dia malah memungut batu terdekat dan melemparkannya ke wajah Rum.

“ANNJJIIINNGGG!! KAU APAIN MAMAKU SIALAANNN??!!”

Dan jadilah dua orang itu menghajar kedua temannya. Baik Jui dan Rum mencoba bertahan dari serangan membabi-buta dan saat mereka merasakan tenaga kedua orang itu mulai melemah mereka pun berbalik menyerang.

Darah dan teriakan terus mengalir mengisi malam di gunung Nora. Menit demi menit berlalu, teriakan mereka semakin dan semakin pelan. Akhirnya tak ada lagi di antara mereka yang mampu bergerak. Dengan kondisi tubuh yang begitu parah mereka terkapar di atas rumput. Namun, meski raga tak lagi sanggup melakukan apa-apa, jiwa mereka tetap dilapisi amarah yang tak kunjung padam.

“Apa salahku samamu?” Bam bertanya dengan suara melengking seperti hewan disembelih. “Kenapa tega kau jebak Mama-ku masuk MLM?”

“Aku … nggak tahu dia Mama-mu,” Rum menjawab dengan suara yang begitu lemah. Tampak tenggorokannya rusak dihantam batu.

“Tega kau … Mama … Mama ….”

Bam adalah anak tunggal yang dibesarkan sendirian oleh ibunya. Bahkan setelah Bam lulus kuliah dan tak kunjung mendapat kerja, ibunya terus bekerja keras untuk memastikan anaknya bisa hidup layak. Setelah Bam mendapat pekerjaan dia mengira dia bisa sedikit bersantai, tapi ternyata Bam bekerja di perusahaan picik yang selalu memaksanya lembur dengan gaji minim.

Dia pun terpaksa mengambil lebih banyak pekerjaan dan terjebak dalam skema MLM milik perusahaan Rum. Pekerjaan yang begitu berat akhirnya membebani tubuhnya dan membuatnya jatuh sakit hingga meninggal dunia.

“Kau nggak usah sok suci Bam ….” Jui yang bahkan tak bisa menoleh menatap Bam ikut bicara. “Itu kau rupanya. Kenapa kau ngasih tahu istriku aku selingkuh?”

Bam tidak menjawab. Sejujurnya dia selalu iri pada Jui akan kesuksesannya. Di saat dia kesulitan untuk sekedar mendapat pekerjaan yang layak Jui mewarisi usaha orangtuanya dan hidup bahagia. Jui memiliki semua hal yang dia inginkan, tapi yang paling membuatnya sakit hati adalah fakta Jui selalu mengasihaninya. Karena itulah dia jadi ingin memberi sedikit penderitaan pada Jui.

Pernah suatu kali Jui mengajaknya minum-minum dan saat Jui sudah teler dia kelepasan bicara tentang selingkuhannya. Dari situ Bam pun memberitahu istri Jui yang akhirnya berujung pada perceraian mereka.

“Anjing kau Jui! Mau berapa banyak cewek kau embat?! Alfrida … tega kau bangssaatt!!”

Alfrida adalah salah satu selingkuhan Jui. Mereka tak sengaja bertemu kembali di mall dan Jui yang sudah tertarik padanya sejak dulu membelikan apa pun yang Alfrida mau. Kebetulan saat itu Iqo sedang mengurus bisnis di luar kota sehingga hubungan keduanya menjadi serius dengan cepat. Bahkan sampai sekarang mereka masih sering bertemu di belakang Iqo.

“Itu karmamu, Qo ….” Rum mencoba menggerakkan tangannya, tapi tak bisa. Tubuhnya perlahan jadi mati rasa. “Kau yang laporin perusahaanku ke polisi. Padahal kau kukasih banyak pelanggan buat usaha rentenirmu, kenapa kau laporin aku ke polisi?!”

Iqo tidak menjawab. Suaranya sudah benar-benar menghilang. Kenapa dia melaporkan Rum ke polisi? Karena dia tahu Ibu Bam terjebak di dalam bisnis gelap itu. Dia melaporkan perusahaan itu ke polisi karena cuma itu cara untuk membebaskan Ibu Bam.

Namun Iqo tak lagi bisa mengatakan apa-apa. Bam tak akan pernah tahu. Dia tak mengharapkan ucapan terima kasih, tapi Iqo tak pernah membayangkan perbuatan baik itu akan dibalas dengan kematian.

Tanpa tenaga untuk menuruni gunung, tanpa ada orang yang bisa dimintai bantuan, mereka berempat menemui ajal mereka. Luka-luka yang diakibatkan pengkhianatan dan kebohongan menguras jiwa mereka sampai habis dan mewarnai puncak gunung dengan merahnya darah.

***


“Menggelikan, bukan? Bahkan sahabat karib pun saling menusuk dari belakang. Atau bisakah yang seperti itu disebut sahabat?”

Pria tua itu meminum kopinya. Tina yang mendengarkan cerita itu menelan ludahnya yang mendadak terasa pahit.

“Tapi … kok bisa mereka tahu itu?” Tina bertanya. “Kapsul waktunya. Siapa yang rubah isi surat mereka?”

“Hmm? Entahlah. Mungkin ada seseorang yang dendam pada mereka sehingga rela mengeluarkan begitu banyak waktu untuk memata-matai dan mengumpulkan semua rahasia itu. Orang itu menggali kapsul waktu sebelum mereka datang dan mengganti suratnya. Orang itu juga yang menunggu mereka mati lalu mengambil surat-surat itu agar polisi tak tahu apa yang terjadi. Entahlah. Siapa yang tahu?”

Sekali lagi Tina menelan ludah. Cerita yang sangat detail itu membuatnya takut. Perlahan Tina bangkit berdiri, mengambil ranselnya, lalu berjalan pelan menjauhi tenda si pria tua. Saat dia yakin pria itu tak bisa melihatnya lagi, Tina mulai berlari.

***TAMAT***
itkgidAvatar border
YoayoayoAvatar border
bonek.kamarAvatar border
bonek.kamar dan 13 lainnya memberi reputasi
14
4.1K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan