thedreamcrusherAvatar border
TS
thedreamcrusher
Selepas Membaca | Perempuan Di Titik Nol (Nawal el – Saadawi)


Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kalimat pramuria atau melihat pramuria?

Apakah pernah terpikirkan oleh kita pada saat mendengar kalimat pramuria atau melihat pramuria bahwa apa benar yang menyebabkan mereka melakukan pekerjaan tersebut karena uang semata, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja?

Apakah ada hal lain yang menyebabkan mereka melakukan pekerjaan yang sangat dipandang rendah ini? bahwa serendah-rendahnya pekerjaan adalah menjual diri?

Apakah mereka tidak memiliki kemampuan, keterempilan, dan pengetahuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik?

Apakah mereka merupakan sekumpulan orang-orang yang penuh keputusasaan dan menyerah dengan keadaan membiarkan diri tenggelam kedalam prostitusi?

Stigma yang melekat pada mereka yang berprofesi sebagai seorang pramuria tidak dapat dilabelkan pada setiap individu tersebut, karena tiap-tiap mereka pasti mempunyai alasan, latarbelakang, dan tujuan berbeda lagi bervariasi yang mengantarkan mereka pada profesi pekerjaan tersebut. Namun tanpa perlu bantahan, profesi pramuria tetaplah salah, baik di kacamata agama maupun norma sosial masyarakat.

Maka dari itu buku yang ditulis oleh Nawal el – Saadawi yang berjudul Perempuan di Titik Nol, berdasarkan kisah nyata yang menggambarkan seorang perempuan bernama Firdaus berprofesi sebagai seorang pramuria dan sangat bangga terhadap pekerjaannya tersebut dapat membuka pandangan kita terhadap sisi lain dari keputusan seseorang yang memilih untuk melacurkan dirinya sendiri. Buku ini salah satu dari sekian buku perlawanan kaum perempuan terhadap ketidaksetaraan yang di tulis oleh penulis Nawal.


Selain penulis Nawal el – Saadawi juga merupakan seorang dokter dan juga aktivis perempuan. Ia sering terlibat dalam berbagai kegiatan perjuangan hak asasi perempuan di negeri arab dan menjadi founder sekaligus presiden dari organisasi Arab Women Solidarity Association (AWSA). Bahkan dalam tulisannya di buku perempuan di titik nol ini, tidak lama setelah menulis buku tersebut, Ia dipenjara karena dianggap menentang sejumlah penguasa atas pergerekannya, dan dipenjara kerena kejahatan politik di negeri sana.

Buku ini diangkat dari kisah nyata menceritakan seorang perempuan pramuria di negara mesir, yang bernama Firdaus. Ia dipenjara dan diberikan hukuman mati karena telah melakukan tindakan kejahatan membunuh seseorang. Pembunuhan yang dilakukan oleh Firdaus terungkap setelah ia menampar seorang pangeran yang pada saat itu menjadi tamu nya, dan di satu waktu ia diberikan penangguhan pembatalan hukuman mati, dengan syarat ia harus meminta maaf atas perbuatannya.

Maka sekalipun ia tak berniat untuk meminta maaf kepada mereka lantaran harga dirinya jauh lebih tinggi ketimbang mereka para orang besar yang penuh dengan kemuslihatan dan hati yang busuk, jika sampai utusan mereka kepadanya maka ia tidak akan berbicara sepatah katapun, bila ditemuinya koran-koran/majalah berfotokan wajah laki-laki maka akan diludahkannya foto tersebut, bukan sebab ia kenal dengan semua wajah di foto itu, tetapi kesengsaraan dan ketidakberuntungan dalam hidup mengantarkannya kepada pemahaman bahwa semua lelaki itu sama dan mereka makhluk yang hina yang selalu dikendalikan hawa nafsu. Buku ini dapat dikatakan menjurus pada sebuah pergerakan dan ideologi hidup suatu kaum yaitu feminisme. Feminisme secara singkat merujuk pada sebuah pergerakan yang menginginkan kesetaraan hak antara perempuan dengan laki-laki dari segala sektor kehidupan baik domestik maupun publik.

Firdaus adalah seorang perempuan yang cerdas, penghargaan siswa terbaik didapatkannya ketika menjenjang bangku SMP, penghargaan tersebut tak lain dan tak bukan ia raih atas ketekunannya membaca buku di perpustakaan selepas belajar di kelas. Rasa penasarannya akan pengetahuan masih menerus walaupun kehidupannya terombang ambing dan sukses sebagai seorang pramuria, bahkan didalam apartemennya ada satu ruang khusus untuk membaca dengan berbagai macam buku tertata dengan baik.

Tidak ada tempat aman baginya entah itu semasa kecil hidup dirumah bersama ayah yang kasar, bersama dengan paman dan istrinya yang keberatan dengan adanya Firdaus dirumah mereka, ataupun hidup dengan suami yang sudah tua dan juga berlaku kasar terhadap dirinya. Hanya jalanan lah tempat nya sering kembali, mengarungi lautan manusia yang berketidakpedulian akan sekitar, menyusuri jalan tanpa ujung dan arah pasti ketempat mana akan dituju.

Sebelum akhirnya ia menyadari bahwa profesi seorang pramuria tidaklah lebih hina dari perempuan yang berstatus istri berkimpoi dengan lelaki namun diperlakukan layaknya seperti pramuria, dalam proses perjalanan hidupnya ia masih sempat berusaha menawarkan ijazah nya ke orang-orang yang ia temui untuk diberikan pekerjaan yang layak. Bagian ini kerap kali diulang-ulang, menimbulkan rasa sedih ketika membacanya, seolah memberikan gambaran Firdaus yang masih ingin mendapatkan kehidupan yang bersih berderajat namun begitu susahnya mendapatkan pekerjaan.

Jika di ibaratkan, hidup Firdaus layaknya komedi putar, jatuh tenggelam, bangkit, dan tenggelam lagi. Semasa hidupnya Firdaus yang tenggelam dalam dunia perpramuriaan, juga pernah mencoba untuk kembali ke kehidupan yang bermartabat dan berderajat sebagai seorang wanita perkantoran, namun kembali lagi menjadi seorang pramuria yang lebih percaya diri dengan sejumlah prinsip yang dia bawa untuk bisa menjadi seorang pramuria yang terhormat, dan berakhir dipenjara dihukum mati.

Pemberontakan serta jeritan penderitaan kaum perempuan yang tertindas di Mesir di utarakan dalam buku ini melalui setiap pikiran dan kritikan pedas yang muncul didalam kepala Firdaus, yang mana diantaranya ialah:

“Betapapun juga suksesnya seorang pramuria, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka, telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja: untuk mengangkat tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. Akan tetapi karena saya seorang perempuan, saya tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Dan karena saya seorang pramuria, saya sembunyikan rasa takut saya di bawah lapis-lapis solekan muka saya.”

“Seorang pramuria yang sukses lebih baik dari seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukurn mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkimpoian, dan menghukurn mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”

“Lelaki revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenarnya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepintaran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dapat dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang disalahgunakan. Sesuatu yang dapat dijual.”

“Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini, dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pramuria dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pramuria bebas daripada seorang isteri yang diperbudak.”

Sebagian besar mereka yang melacurkan diri adalah kaum perempuan, walaupun memang kita juga dapat menjumpai laki-laki berprofesi sebagai pramuria dengan sebutan gigolo, namun dapat kita lihat bahwa jumlahnya masih didominasi oleh perempuan.

Meskipun begitu, pekerjaan pramuria masih tetap eksis dari dulu hingga sekarang dengan bermacam jenis dan cara menjalankannya menyesuaikan dengan zaman, profesi ini turut berevolusi dan beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi, serta memperhatikan konsep permintaan  dan penawaran layaknya ilmu ekonomi. Profesi ini menjelma dan berkembang dibantu kemajuan teknologi, seperti yang mudah ditemukan tayangan perempuan menari dengan busana setengah terbuka atau ketat pada setiap platform media sosial yang ada, apa bedanya dengan menari di tiang-tiang klub malam, toh juga sama-sama untuk ditonton oleh laki-laki yang ingin memuaskan hawa nafsunya.

Atau onlyfans, sebuah ruang bebas yang digunakan perempuan untuk memperdagangkan organ tubuh nya sendiri (pornografi). Hal ini sejalan dengan cuplikan kalimat Firdaus didalam buku, “profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki” dan karena adanya lelaki yang akan rela menonton dan membayar diriku, untuk apa lagi aku bersusah payah menempuh pendidikan dan memperjuangkan impian.

Buku ini cocok dibaca untuk semua kalangan baik perempuan maupun laki-laki, bagi perempuan dapat melihat bagaimana dunia ini berpandangan terhadap diri kita, perempuan selalu saja terbebani dan terbelakang, bahkan perempuan disebutkan sebagai kelompok yang identik dengan peran/beban ganda, kekerasan (violence), steriotipe (pelabelan negatif), tersubordinasi (kedudukan bawahan), dan termarginalisasi (dibatasi) sebagai hasil dari ketidaksetaraan gender. Maka dari itu buku ini dapat memberikan kepercayaan diri untuk mengejar impian dan cita-cita hidup bahwa perempuan bebas dalam menentukan haknya, namun tetap dalam konteks positif bukan membenarkan pekerjaan atau profesi pramuriaan.

Dan bagi kaum laki-laki, kita dapat lebih menghargai perempuan. Menghargai dalam hal yang setara, tanpa memandang rendah dirinya sebab ia seorang perempuan yang bertabiat lemah dan lembut, sementara laki-laki kuat serta superior dari mereka maka sekehendaknya kita memperlakukan seperti yang kita mau.

Kita juga mendapatkan pandangan berbeda akan suatu fenomena perpramuriaan yang selama ini mungkin sebagian dari kita hanya mendengar sepintas saja dan mungkin sebagian kita lagi pernah mencobainya. Tentu semua tergantung dari bagaimana kita menginterpretasikan memahami pesan yang dibawa oleh buku tersebut.

Buku ini seakan membongkar semua kondisi mapan dalam masyarakat, dimana tidak ada satupun yang beranggapan bahwa tindakan-tindakan kekerasan terhadap perempuan secara sengaja ataupun tak disengaja telah menghantarkan kita pada normalisasi pandangan pada sosok perempuan, bahwa mereka lemah, penurut, pengiba hati, dan tidak berdaya dihadapan laki-laki. Maka dari itu buku ini hadir untuk membatah pikiran-pikiran tersebut, mengisyaratkan bahwa perlawanan kaum perempuan terhadap hak nya masih ada dan akan terus bermunculan Firdaus-Firdaus lainnya di tiap masa.


0
293
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan