ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #36 : Mencontek Mimpi


Dunia ini … busuk.

Bahkan sejak lahir pun manusia sudah tidak setara. Beberapa terlahir dengan gen unggul dan bakat yang besar sementara yang lain lahir dari orangtua terbelakang tanpa bakat apa-apa. Anak-anak dengan gen unggul itu pun diberi lingkungan tumbuh terbaik sementara anak-anak terbelakang menderita stunting.

Secara alami anak-anak berbakat akan menjadi pemimpin yang berdiri di puncak sementara yang terbelakang berakhir menjadi pekerja kasar yang hanya bisa menuruti apa pun yang mereka mau. Kasta seseorang memang sudah ditentukan sejak mereka lahir.

Masyarakat selalu menilai seseorang berdasarkan kasta, rupa, dan harta. Jika kau memiliki setidaknya satu maka hidupmu akan terjamin bahagia. Atau paling tidak kau tak akan berakhir menderita. Namun, berapa juta orang di dunia ini yang tak punya semua itu?

Saat berhasil menyadari fakta menyakitkan itu, aku sudah berumur 30 tahun. Aku baru saja dipecat dari pekerjaan yang gajinya tak seberapa dan kini harus bekerja sebagai kuli bangunan yang penghasilannya jauh lebih kecil lagi. Aku tak menikah, hanya punya ijazah Sma, dan tinggal di kos bobrok yang selalu bocor setiap hujan.

Aku tak tahu siapa yang harus disalahkan untuk semua ini. Orangtua yang melahirkanku? Motivator yang memberi harapan palsu? Atau aku yang terlambat menyadari kenyataan?

Orangtuaku hanyalah orang gagal. Tanpa punya pekerjaan tetap mereka berani punya tujuh anak yang semuanya tidak terurus. Di antara kami bertujuh cuma kakak keduaku yang punya pekerjaan layak. Dia seorang PNS dan sekarang kedua orangtuaku menetap di rumahnya. Kakakku tak senang dengan hal itu, tapi dia tak mau jadi anak durhaka.

Lalu apa kesalahan motivator dalam hidupku? Salahnya aku terlalu mempercayai mereka. Kata-kata yang sangat manis itu membuatku percaya aku punya kesempatan asal berusaha keras. Kenyataannya tidak, aku gagal masuk universitas. Aku tak menyerah, aku menunggu setahun dan mencoba lagi. Meski aku menghabiskan seluruh tabungan untuk ikut les aku tetap gagal masuk universitas. Guru-guru sudah memperingatkanku, aku saja yang terlalu bodoh.

Aku bisa menyalahkan mereka, tapi mungkin kesalahan terbesar memang ada padaku. Aku menganggap bahwa semua orang punya kesempatan jadi aku mencoba begitu keras hanya untuk gagal karena hal-hal di luar kemampuanku.

Tak punya uang pelicin, tak punya koneksi, tak punya bakat maupun penampilan. Orang-orang sepertiku tak pernah ditakdirkan untuk hal besar. Kebanyakan berakhir menerima nasib dan menjalani hidup seadanya, tapi aku terlalu bodoh dan terus mengambil resiko. Akhirnya, aku gagal. Masa muda yang harusnya kugunakan untuk menstabilkan karir hilang akibat pertaruhan yang dari awal tak bisa kumenangkan.

Anak kecil yang mengira dirinya bisa merubah dunia telah hilang digantikan pria tua yang hanya memikirkan bagaimana cara membeli makanan esok hari. Dunia terasa begitu menyakitkan. Tak lagi ada harapan, tak lagi ada kesempatan. Aku hidup hari demi hari hanya menunggu untuk mati.

Terkadang aku berdoa pada Tuhan. Jika memang dunia ini tidak membutuhkanku maka cabutlah nyawaku di dalam tidur agar aku tak perlu bekerja seharian hanya untuk mati sore hari. Aku sudah lelah bekerja dan berusaha hanya untuk menemui kegagalan yang membuatku menderita. Tuhan, tolong hentikanlah penderitaan ini.

***


Aku suka tidur. Aku suka bermimpi. Mimpi dalam tidur jauh lebih menyenangkan dibanding dunia nyata. Namun hal yang paling menyedihkan dari mimpi adalah fakta bahwa aku akan terbangun dan menyadari semua itu tidaklah nyata. Aku selalu berharap bisa hidup di dalam mimpi. Di dalam mimpi aku tidak merasakan penderitaan.

Mimpi-mimpiku selalu terasa aneh. Biasanya mimpi itu melibatkan petualangan dan naga raksasa, tapi semua berakhir dengan kilatan cahaya putih yang adalah matahari terbit. Memori akan mimpi itu hanya bertahan sementara, tapi rasanya menyenangkan.

Tapi tak jarang juga aku memimpikan kehidupan orang lain. Kehidupan yang kuharap merupakan hidupku. Kehidupan seorang artis, seorang atlet, seorang jenius. Kehidupan indah mereka adalah mimpi yang sesungguhnya. Semakin aku menginginkan kehidupan itu semakin jelas pula mimpi yang kulihat.

Kukira mimpiku hanya sebatas mimpi aneh, tapi aku mulai menyadari ada beberapa hal yang tidak biasa di setiap mimpi tersebut. Hal yang paling mencolok adalah tanggal di kalender yang menunjukkan tanggal sepuluh tahun dari sekarang. Sempat aku berpikir bahwa aku memimpikan masa depan, tapi tak ada cara untuk membuktikan itu.

Namun mimpiku menjadi semakin dan semakin jelas. Tanpa sadar aku sudah bisa membaca buku di dalam mimpi dan mengingat kata demi kata.

Ada masanya aku gemar membaca buku. Ada masanya juga aku belajar menulis karena aku merasa bisa sukses dengan menjual buku. Tapi kualitas buku yang kubaca dari mimpi benar-benar berbeda. Ini adalah karya seorang jenius. Sesuatu yang mustahil bisa kubuat.

“Masa depan … buku … mustahil ….”

Kata-kata itu terus berulang dan membebani pikiranku. Saat kata demi kata bergabung menjadi satu aku merasakan perasaan euforia yang luar biasa.

Tuhan masih belum meninggalkanku. Dia telah memberiku hadiah di tengah dunia penuh penderitaan ini.

Aku pun kembali mengeluarkan laptop tuaku. Laptop itu satu-satunya barang berharga yang belum berhasil kujual. Tanpa menunda lagi aku mulai menulis dan menuangkan segala yang ada di kepalaku. Aku tak terburu-buru. Aku akan tidur jika menemui jalan buntu lalu terbangun dan mulai menulis kembali.

Dalam dua hari aku berhasil menuangkan isi dari cerpen yang kulihat di dalam mimpiku. Cerpen yang seharusnya baru ada sepuluh tahun dari sekarang kini tertulis rapi di Microsoft Word. Rasanya seperti berhasil menemukan oasis setelah puluhan tahun di padang pasir. Akhirnya … akhirnya ….

Aku pun mengirimkan cerpen itu ke sebuah kompetisi yang kulihat di media sosial. Awalnya aku sedikit bimbang karena apa yang kutulis bukanlah milikku melainkan milik seseorang di masa depan. Namun, apa salahnya? Dunia ini sama sekali tidak berbaik hati padaku jadi mengapa aku harus berbaik hati pada orang lain? Jika yang berkuasa bisa terus mengambil hak orang kecil, mengapa sebaliknya tidak bisa?

Tak disangka, aku menang. Layaknya kereta api, hidupku berganti jalur menuju arah yang selama ini kuinginkan.

Cerpen itu dicetak dan aku mendapat royalti. Pihak percetakan menghubungiku untuk menulis cerpen lain dan aku menerimanya. Aku kembali ke alam mimpi untuk menghafal kata demi kata lalu menuliskannya di dunia nyata.

Cerpen demi cerpen kutulis, lebih banyak uang berdatangan. Akhirnya aku ditawari langsung untuk menulis novel. Kebetulan ada satu slot kosong untuk akhir tahun. Jika aku bisa menyelesaikan dalam dua minggu maka novelku bisa langsung terbit.

Dari situ aku sudah bisa melihat masa depan gemilang. Novel itu akan laku, diadaptasi menjadi film, dan aku akan terkenal. Uang akan datang meski sedang tidur. Bukankah itu kehidupan yang selama ini kuinginkan?

Akhirnya aku pun kembali tidur, bermimpi, menghafal, bangun, lalu menulis. Masalah besar pun muncul.

Dalam satu minggu aku sadar kalau aku tak akan bisa menyelesaikan novel ini tepat waktu. Aku hanya bisa menghafal dua sampai tiga halaman dalam satu kali mimpi dan aku hanya bisa tertidur sekali sehari. Tak mungkin aku menyelesaikan sisanya dalam seminggu. Tak peduli sebagus apa novelku, tak ada yang akan membacanya jika tidak selesai.

Tidak mungkin … sudah berapa lama aku hidup memeluk dua kata itu? Aku belajar menerima kenyataan dan berhenti berusaha, tetapi sekarang kesempatan sebenarnya ada di depan mata. Tak ada salahnya untuk mencoba sekali lagi dan kembali bekerja keras.

Seluruh hidupku sudah menderita, tak ada bedanya menderita sedikit lagi sebelum menikmati kesuksesan. Tanpa pikir panjang aku pun membeli obat tidur. Hanya satu minggu. Tak peduli apa efek sampingnya aku akan menahannya untuk seminggu ini.

Aku pun mulai mengonsumsi obat tidur dengan dosis yang cukup kuat. Aku tertidur, bermimpi, menghafal, bangun, menulis, lalu memaksa diriku untuk tertidur lagi.

Awalnya strategi itu efektif, tapi lama kelamaan efek obat tidur semakin memudar. Tubuhku mulai melawan efek obat itu sehingga aku harus terus mengkonsumsi dalam dosis yang lebih besar.

Aku bisa merasakan jantungku berdebar lebih cepat dan perutku merasa tak nyaman, tapi itu semua tak ada apa-apanya dibanding kesuksesan yang sudah di depan mata. Banyak orang di luar sana menginginkan kesempatan, hanya satu kesempatan untuk merubah hidup. Aku sudah memilikinya dan akan kuperjuangkan meski harus mati.

Di dunia yang penuh ketidakadilan ini, Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melawan. Semua orang menginginkan kehidupan yang baik, tapi tak semua bisa mendapat kesempatan. Demi diriku, demi semua orang yang berharap bisa merubah hidupnya, setiap pil tidur adalah bukti perjuanganku melawan dunia.

***


“Ini kamarnya, Mas. Kondisi bagus. Air listrik gratis, tapi wifi silahkan patungan sama anak-anak lain.”

“Wahh … lumayan luas juga ya, Pak.”

Pemuda itu menatap ke sekeliling kamar kos. Kamar itu hanya berisi satu kasur, satu lemari, dan satu meja, tetapi sangat bersih dan punya pencahayaan yang baik. Pemuda itu sudah berniat untuk membayar sewa, tapi satu hal masih mengganggunya.

“Saya dengar … di kamar ini dulu ada yang meninggal ya, Pak?”

Senyum Bapak Kos memudar, wajahnya langsung menunjukkan ekspresi pahit.

“Iya, Mas. Kalau Mas keberatan masih ada kok kamar yang lain.”

“Oh, nggak apa-apa, Pak. Saya nggak percaya yang begituan soalnya. Tapi kalau boleh tahu, dia meninggal gara-gara apa ya?”

“Oh, itu … katanya sih overdosis obat tidur.”

“Obat tidur ….”

Pemuda itu menghembuskan nafas panjang dan melihat ke luar. Kamar ini punya pemandangan yang cukup bagus. Setiap pagi sinar mentari pagi akan langsung memasuki ruangan. Jauh dari jalan besar membuatnya jauh dari kebisingan. Sesekali angin sepoi-sepoi juga bertiup masuk. Sungguh kamar yang indah. Harganya juga murah.

“Mengapa banyak orang suka lari ke alam mimpi padahal ada banyak hal indah di luar sana?” pemuda itu bertanya.

“Entahlah, Mas. Mas masih muda jadi mungkin tak tahu, tapi dunia ini kadang bisa sangat menyakitkan.”

“Yeah … bisa jadi. Hidup memang tidak adil jadi biasakanlah dirimu.”

***TAMAT***
primawidhieAvatar border
azhuramasdaAvatar border
sukhhoiAvatar border
sukhhoi dan 11 lainnya memberi reputasi
12
5.5K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan