ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #35 : Sepasang Sendal


Aku sering berpikir bahwa pencipta sendal adalah orang yang luar biasa jenius. Saat orang-orang sibuk melatih telapak kaki mereka agar kuat berjalan di berbagai macam tempat, orang itu mengambil kulit lembu dan membalut kakinya. Tanpa perlu bersusah payah dia bisa berjalan di mana saja dia mau.

Jika kulit lembu itu kotor dia tinggal menggantinya. Jika ada benda tajam di tengah jalan kulit lembu itu akan melindungi kakinya tetap aman. Dia juga bisa menghias kulit lembunya agar terlihat lebih keren. Berkatnya seluruh dunia sekarang mengenal sendal dan penemuan sehebat itu tercipta karena dia terlalu malas melatih kakinya.

Sendal itu tercipta sepasang, kanan dan kiri. Setiap sendal itu berbeda dan karenanya jika yang satu putus maka yang lain akan kehilangan artinya. Layaknya terhubung oleh tali takdir, aku percaya satu sendal akan ikut mati jika pasangannya mati. Karena itulah mereka sepasang. Tak ada yang bisa menggantikannya.

Kenapa aku berpikir sedalam itu tentang sendal? Semua berawal dari seminar seorang ustad tiga tahun yang lalu. Saat itu kami semua dikumpulkan di masjid dan dipaksa mendengar kajian ustad tua yang suaranya membuat ngantuk. Aku tak ingat apa yang dia bicarakan (karena aku tidur), tapi dalam perjalanan pulang aku menyadari satu hal yang janggal.

Sendalku, sandal swallow yang bisa dibeli murah di warung mana pun, tertukar. Sulit untuk melihat perbedaannya karena semua sandal swallow terlihat sama, tapi kakiku bisa merasakan perbedaannya.

Sendal kanan telah tertukar. Rasanya tidak nyaman, sama seperti saat menggunakan toilet di rumah orang. Selain itu ukurannya satu nomor lebih kecil. Siapa orang biadab yang sudah berani memisahkan sendal kanan dan sendal kiri milikku?

Namun nasi sudah menjadi bubur dan bubur jatuh ke selokan. Seminar sudah berakhir dan semua orang sudah pulang dengan sendalnya masing-masing. Sendal kananku telah pergi meninggalkan sendal kiri dengan pasangannya yang baru.

Dibuang sayang, disimpan tak nyaman. Begitulah perasaanku dengan sepasang sendal yang tak ditakdirkan untuk satu sama lain ini. Aku tetap memakai mereka saat butuh, tapi rasanya sungguh berbeda. Apakah ini yang dirasakan oleh seorang anak yang ayahnya menikah lagi dan sekarang harus hidup dengan seorang ibu tiri?

Ini berat untukku, tapi pasti lebih berat untuk sendal-sendal ini. Mereka harus terpisah dengan pasangan mereka dan hidup dengan orang asing. Kebanyakan sendal akan lebih memilih mati, tapi aku tak tega membunuh mereka.

Namun, aku percaya sendal kananku masih hidup dan berbagi takdir dengan sendal kiri baru di luar sana. Karena itulah aku selalu mencoba mencari keberadaannya. Aku yakin, jika memang jodoh pasti tidak ke mana.

***


“Yaelah Sur, Sur! Ngapain sih kau peduli banget sama sendal? Kalau memang butuh baru beli aja di warung Mak Ijah. Lagi diskon Ramadhan tuh.”

Tono, sahabat baikku, mencoba mengingatkan. Aku tahu dia bermaksud baik, tapi dia sama sekali tak paham betapa beratnya masalah kesetiaan sepasang sendal. Tono adalah tipe manusia yang hanya mengukur sesuatu berdasarkan nilai rupiah. Sesederhana itulah pola pikirnya.

“Aku begini karena aku peduli Ton. Bayangkan kalau orangtuamu bercerai, apa kau bisa nyaman dengan ayah dan ibu tirimu?”

“Peduli sih peduli, tapi orang macam apa yang nanya ‘sendal kananmu lebih gede dari sendal kiri nggak?’ waktu lagi ngedate? Nggak mungkin Sinta bakal mau ketemu kau lagi.”

“Ya maaf. Lagian dia dulu juga ikut kajian si ustad kan? Siapa tahu sendal kami beneran ketukar.”

“Kalau sendal kalian ketukar nggak mungkin dia masih make sendal beda sebelah Mansur ooh Mansur!”

“Nggak, aku tahu sendalku masih melakukan tugasnya. Aku tahu!”

Tono menatapku seolah aku gila, tapi aku mengetahui apa yang tidak dia ketahui. Jiwa yang terhubung sangat kuat bisa mengetahui keadaan belahan hatinya.

Karena itulah aku tak pernah berhenti mencari. Ketika berjalan aku akan mengarahkan pandanganku ke bawah untuk mengamati sendal yang digunakan orang-orang. Apa mereknya, seperti apa kondisinya, kira-kira berapa lama sendal itu sudah digunakan, perlahan-lahan aku bisa menganalisa semua itu. Aku bahkan bisa mengenali sendal yang akan putus di tengah jalan.

Tiba-tiba aku teringat Sinta. Kami mulai dekat karena aku menyadari sendalnya hampir putus saat melihatnya pulang dari masjid. Aku mengikutinya dari belakang karena rumah kami memang searah. Kalau tidak kutangkap wajahnya pasti akan berciuman dengan aspal. Itulah pentingnya untuk mengecek sendal secara berkala. Kau tak pernah tahu kapan kecelakaan terjadi jika sendalmu tak dapat perhatian.

“Masih bisa jalan nggak?” tanyaku padanya yang mengumpat. Dia menjawab dengan gerutu. Sendal yang putus memang sangat merepotkan.

“Yaudah. Nih!”

Aku melepas sendal kananku untuk menggantikan sendal kanannya yang putus. Kalau kuingat-ingat lagi, sendal itu terlalu besar untuk kakinya.

“Lah? Kau gimana?”

“Tenang, aku sering main bola nyeker. Kakiku kuat.”

“M-makasih ya,” ucapnya malu-malu.

“Iya, tapi jangan lupa balikin. Sendal ini masih mencari belahan hatinya.”

Siapa sangka sendal yang putus bisa menyatukan dua manusia. Mungkin dia salah mengartikan kalimat terakhirku, tapi kami mulai menjalin kontak dan akhirnya pacaran. Kencan pertama kami memang berakhir absurd. Aku benar-benar harus minta maaf padanya.

“Kau punya fetish kaki ya?” tanyanya tanpa malu-malu.

“Fetish kaki? Bukan! Aku cuma penasaran sendalmu ukurannya sama atau nggak.”

“Jadi fetishmu sendal? Itu lebih parah!”

“Bukan begitu.”

Pelan-pelan aku menceritakan asal-usul sendal yang kupinjamkan padanya. Persis seperti Tono dia memberiku tatapan seperti melihat orang gila, tapi setidaknya dia mencoba memaklumi.

“Kau itu aneh,” ucapnya tanpa memfilter kata-katanya, “tapi kurasa itu lumayan romantis.”

Di saat perjalananku mencari belahan hati sendalku tidak berhasil, aku malah menemukan belahan hatiku. Aku dan Sinta menikah. Meski dengan sendal yang beda sebelah aku berhasil melangkah lebih jauh dibanding Tono yang suka gonta-ganti sendal.

Tak ada yang bisa kukeluhkan dalam hidup. Hanya saja aku terus bertanya-tanya di mana sebenarnya pasangan sendalku ini. Dengan kesibukan sebagai seorang suami yang kemudian menjadi ayah, aku tak lagi punya waktu jalan-jalan keliling kompleks dan menatap sendal orang satu per satu.

Sendalku, sendal yang sudah menemaniku sejak jaman sekolah, juga sudah mulai mendekati akhirnya. Sama seperti manusia, sendal juga punya batas usia. Tak peduli sepintar dan sebaik apa kita merawat sebuah sendal, sendal yang dicintai pasti akan mati. Begitu juga dengan sendalku.

Aku tahu sendalku tak akan bertahan lama, mungkin jalan seratus meter pun tak akan bisa. Meski demikian aku tetap memakainya dan mengajaknya jalan-jalan. Rasanya seperti merasakan kembali setiap langkah yang kuambil. Sendal yang tidak sepasang ini adalah bukti hidup dari langkah kakiku di Bumi.

Dan kemudian, sendal kiriku putus. Meski sudah tahu tapi tetap saja hati ini terasa sakit. Kami sudah menempuh jarak yang begitu jauh bersama-sama dan sampai sekarang pun dia belum menemukan kembali pasangan hidupnya.

Namun, hidupnya sudah berakhir. Ini saatnya untuk berpisah.

Dengan bertelanjang kaki aku pun berjalan menuju tempat sampah terdekat. Sempat terpikir bagiku untuk menguburnya, tapi itu tidak baik untuk lingkungan. Takdir sendal merk swallow adalah berakhir di tempat sampah. Jika beruntung mereka akan didaur ulang dan terlahir menjadi sendal baru.

Saat sampai di tempat sampah aku bertemu dengan Pak Imron. Dia adalah ustad yang menjadi alasan sendalku beda sebelah. Dia sudah dangat tua sekarang. Suaranya jadi semakin membuat ngantuk.

“Sore Pak ustad, lagi ngapain nih?” tanyaku basa-basi.

“Ooh, Mansur. Ini, mau buang sendal.”

Saat dia membuka plastik hitam yang dia bawa, aku pun menangis.

Ternyata Pak Imron orangnya. Karena kakinya selalu tertutup sarung aku tak pernah bisa melihat sendal yang dia gunakan. Setelah sekian lama, setelah ratusan ribu langkah, kedua sendal ini bertemu di tempat sampah.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, sendal kanan Pak Imron lah yang putus. Sendal yang awalnya adalah milikku.

“Sebentar, Pak Imron.”

Aku mengambil sendal kanan itu dari Pak Imron dan memberikan sendal kanan milikku. Aku tak menjelaskan apa-apa, memang beginilah seharusnya.

“Ambil aja Pak, rawat baik-baik. Sepasang sendal ini masih sanggup melangkah jauh.”

Beliau tersenyum penuh pemahaman. Setelah berterima kasih dia pergi meninggalkanku bersama sepasang sendal yang putus. Aku meletakkan sepasang sendal itu di tempat sampah daur ulang. Setelah penantian panjang, setelah lelah mencari hingga akhir usia, sepasang sendal ini bertemu kembali di akhir hidupnya.

Bahkan meski mereka terpisah di dunia, aku berharap tak akan ada yang memisahkan mereka di alam sana.

***TAMAT***
YoayoayoAvatar border
bonek.kamarAvatar border
d3200Avatar border
d3200 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
28.2K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan