MursidingAvatar border
TS
Mursiding
BERCERMIN DARI PEMILU PERTAMA 1955; PEMILU 2024 LEBIH BAIK ATAU JALAN DITEMPAT ?
Pada 29 September 1955, meski berlangsung di tengah kondisi keamanan negara yang masih kurang kondusif, Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 1955 atau yang dikenal dengan Pemilu 1955, berlangsung tertib dan damai. Bahkan pemilu ini sering sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Kala itu kekacauan terjadi di beberapa daerah yang disebabkan oleh pergerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosoewirjo.



Presiden Sukarno kala itu dalam pidato hari kemerdekaan 17 Agustus 1955 dengan tegas mengatakan bahwa siapapun yang menghalangi pemilu adalah "penghianat revolusi". Mengingat, saat itu banyak ketegangan yang terjadi yang mengancam keberlangsungan pemilu. Herbert Feith, peneliti asal Australia yang direkrut oleh Pemerintah RI, menggambarkan suasana persaingan Pemilu 1955 itu dalam buku yang berjudul "The Indonesian Elections of 1955".

Feith mencatat sejumlah peristiwa yang terjadi menjelang pemilu 1955, diantaranya :

Penistaan Agama

Kasus penistaan agama ini dilakukan oleh Mei Kartawinata, dia adalah tokoh pendiri sekaligus penyebar Aliran Kebatinan Perjalanan. Dia juga merupakan bagian dari Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia). Dia menyatakan Muhammad adalah nabi palsu. Selain Mei, ada juga Mr Hardi dari Partai Nasionalis Indonesia yang mengatakan Al-Qur'an sudah ketinggalan zaman.

Penistaan tersebut menimbulkan demonstrasi besar yang didominasi oleh kalangan Partai MASYUMI mengecam Permai dan PNI. Demo ini juga didorong oleh ketidaktegasan pemerintah dalam merespons isu penistaan agama saat itu. Ratusan ribu demonstran turun ke jalan dan unjuk rasa berujung rusuh. Tercatat satu orang kapten TNI yang bertugas menjaga keamanan saat itu tewas dalam kerusuhan.

Intimidasi Aparat

Feith juga mencatat bahwa PNI kala itu menggunakan pengaruh aparat pemerintahan sampai ke tingkat desa. Dalam kampanyenya, PNI kerap menyatakan pihaknya adalah "Partainya Pak Karno", dan menyebut MASYUMI sebagai partainya orang Sumatra. Sebaliknya, Masyumi dalam kampanyenya menyebut bahwa PNI itu partainya orang jawa saja.

Penyalahgunaan kekuasaan oleh PNI bahkan berbentuk intimidasi ke warga desa. PNI di pedesaan Jawa mengancam lurah-lurah dengan hukuman penjara dan denda uang serta mengancam akan menahan distribusi sembako bila mereka tidak mendukung PNI.

Perang Opini MASYUMI vs PKI

PKI menuding MASYUMI berhubungan dengan pemberontak Darul Islam dan punya niat mendatangkan pihak asing pada sektor perkebunan dan tambang. Sementara MASYUMI menuding PKI sebagai partai yang tunduk pada Moskow. Masyumi juga selalu mengungkit peristiwa pemberontakan Madiun 1948 dan berusaha menjadikan hari Pemberontakan Madiun sebagai Hari Berkabung Nasional.

Bagaimana Dengan Pemilihan Umum 2024 ini ?

Seolah seperti cerminan, wajah Pemilu 1955 sangat identik dengan Pemilu hari ini. Baru saja kita semua dihebohkan dengan polemik film dokumenter yang berjudul "Dirty Vote" karya sutradara Dandhy Laksono. Film yang dibintangi oleh tiga ahli hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Mochtar, dan Feri Amsari. Film ini tayang perdana melalui kanal rumah produksi WatchDoc di YouTube pada Minggu, 11 Februari 2024.



Terdapat sejumlah poin yang dibahas dalam film dokumenter tersebut. Mulai dari kecurangan melalui penunjukan 20 pejabat (Pj) gubernur dan kepala daerah, intimidasi kepala desa agar mendukung kandidat capres cawapres tertentu, penyaluran bantuan sosial yang berlebihan, hingga kejanggalan dalam proses dan hasil sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, bisa menjadi calon wakil presiden.

Berikut rangkuman kecurangan pemilu yang diungkap oleh film Dirty Vote :

Komisioner KPU Langgar Kode Etik

Pada tanggal 5 Februari 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa Komisioner KPU RI terbukti melanggar etik. Dalam putusan tersebut, para komisioner terbukti melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2024. Hal ini memperkuat putusan MK bahwa pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden RI cacat secara etika. Lebih penting lagi, ini memperkuat bukti bahwa Pemilu 2024 ini cacat integritas. Penyelenggara Pemilu yang harusnya bersih dari kepentingan politik praktis justru bermain api.

Penyalahgunaan Sumber Daya dan Dana Negara Untuk Kampanye

Akun Kementerian Pertahanan (Kemhan), yakni @Kemhan_RI dalam sebuah platform sosial media X pada Januari 2024 pukul 10:25 mengunggah cuitan berisi tagar yang mengarah pada kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Cuitan yang kemudian dihapus tersebut diakui sebagai ketidaksengajaan dari admin media sosial Kemhan

Upaya Sistematis Menundukkan Mahkamah Konstitusi

Upaya mendegradasi nilai independensi dan praktik intervensi politik terhadap Mahkamah Konstitusi terang benderang diperlihatkan. Melalui rapat paripurna, DPR secara serampangan memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto tanpa basis argumentasi yang utuh. Dalam waktu bersamaan, anggota dewan sepakat memilih Sekertaris Jelnderal MK, Guntur Hamzah, untuk mengganti posisi Aswanto tersebut. Langkah yang diambil oleh DPR ini dinilai sebagai sikap yang otoritarianisme dan pembangkangan hukum oleh Indonesian Corruption Watch (ICW).

Mantan Terpidana Korupsi Bisa Mencalonkan Diri

Berdasarkan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat 56 mantan terpidana korupsi yang nantinya nama mereka akan tertera di surat suara. Tingkat pencalonannya pun beragam, baik DPRD tingkat kota, kabupaten, provinsi, pusat, dan DPD RI. Temuan ini memperlihatkan rendahnya kesadaran pemangku kepentingan menjamin pemenuhan nilai integritas dalam pemilu. KPU enggan membuat terobosan regulasi yang mewajibkan setiap calon dengan status hukum sebagai mantan terpidana korupsi untuk mendeklarasikan informasi tersebut. Akibatnya, berdasarkan pemantauan ICW, ada sejumlah mantan terpidana yang menutup akses informasi itu sehingga tidak diketahui para pemilih.

Adakah Kemajuan Dalam Sistem Pemilihan Kita ?

Dari sederet fakta diatas, realitas yang terjadi dalam sistem pemilihan umum kita ini tentunya mengundang tanda tanya, apakah kita belajar dan memperbaiki apa yang salah dimasa lalu ? Ataukah kita ternyata selama ini jalan ditempat ?

Tentu sulit untuk tidak mengatakan bahwa selama ini kita tidak ada bedanya dari tahun ke tahun. Konflik kepentingan, intimidasi, money politics, penggiringan opini, penyalahgunaan kekuasaan dan fitnah-fitnaj yang mengarah pada perpecahan selalu saja terjadi sampai hari ini.

Tentu hal ini harus kita dudukkan bersama secara serius. Jika tidak, dapat dipastikan bahwa apa yang kita cita-citakan bersama yaitu menuju Indonesia Emas hanya akan jadi angan-angan dan bahkan sebagas “jualan” politik semata. Masalahnya sederhana, yaitu demi kepentingan pribadi dan golongan. Kalaulah kita semua, bisa menunda egoisme demi kepentingan bersama, tentu bukan hal yang mustahil kita mampu menjadi bangsa yang besar dan disegani.
0
193
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan