ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #5 : Prank


“Hei … aku hamil.”

Aku hampir menelan pulpen utuh-utuh saat mendengar sapaan paling absurd pagi ini. Pr yang harus buru-buru kukerjakan dengan cara mencontek masih belum selesai, tapi aku tak bisa fokus pada pekerjaan itu lagi.

“Ahh … oh … selamat,” responku terbata-bata.

Julia menatapku dengan mata yang sulit untuk dibaca. Kenapa dia menatapku seperti itu? Memangnya aku yang menghamilinya?

“Apa kau mau menikahiku?”

Ini sudah benar-benar tidak lucu.

“Jul. Pertama, kita ini masih kelas satu Sma. Kedua, kenapa aku harus menikah denganmu? Memangnya yang menghamilimu ke mana?!”

Julia perempuan yang sangat atraktif. Dia mungkin masuk 5 besar perempuan tercantik di sekolah. Aku memang agak naksir padanya, tapi mana pernah aku kepikiran menikahinya dengan cara semacam ini.

“Kabur,” jawabnya sederhana. “Aku nggak berani aborsi. Aku juga nggak berani bilang ke orangtuaku kalau cuma sendirian. Makanya aku minta kau jadi suamiku.”

“Kenapa kau minta aku?”

“Karna aku suka kau.”

“….”

Pria mana yang tak tersipu kalau mendapat pengakuan seperti itu dari perempuan cantik? Sudah tiga bulan kami duduk bersebelahan tapi aku tak pernah sadar kalau dia punya rasa semacam itu padaku. Kalau kondisinya bukan seperti ini aku akan dengan senang hati menyambutnya.

“Jadi kau suka aku dan kau mau aku jadi ayah dari anakmu yang merupakan hasil perbuatanmu dengan pria lain? Logikamu terlalu tinggi untuk kumengerti. Maaf, aku tak ada rencana menikah dalam 10 tahun ke depan dan aku juga nggak mau ngurus anak orang. Cari orang lain aja sana.”

Ini benar-benar situasi yang tidak nyaman. Menyeramkan malah. Aku tak menyangka Julia yang kelihatan seperti perempuan baik-baik malah berakhir mencari suami di umur 15 tahun. Sungguh dunia yang kejam. Kenakalan remaja sudah tak bisa dikontrol lagi.

Namun kemudian ledakan tawa Julia menarik perhatian seisi kelas. Dia tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Apa bayi di perut itu tertawa melalui ibunya?

“Hahaha! Oh my God, kau beneran percaya ya? Demi Tuhan, Niel, kok bisa kau ngaggap aku serius?”

Rupanya cuma bercanda toh.

“Ya bisalah. Baru minggu lalu tetanggaku drop out dari Smp gara-gara hamil sama pacarnya. Kalau anak Smp aja kenapa anak Sma nggak bisa?”

Julia menghapus air mata tawa dari sudut matanya. Dia masih tertawa, tapi aku sama sekali tidak menganggap ini lucu. Tingkat kehamilan anak di bawah umur sudah terlalu mengkhawatirkan.

“Aku cuma ngeprank lo, cuma ngeprank,” ucap Julia kemudian. “Muka kagetmu lucu juga.” Dia terkikik.

“Ooo ….” Aku mengangguk. Malas berdebat lebih jauh. “Padahal kalau kau hamil anakku aku pasti mau nikah denganmu.”

Kini giliran dia yang nyaris tersedak ludahnya sendiri. Sebelum dia sempat mengucapkan apa pun aku langsung menambahkan, “Just Kidding. Masa depanku terlalu cerah untuk ditukar denganmu.”

Julia tampak seperti baru saja menerima pr tambahan di akhir pekan. Sejenak kupikir dia akan memukulku, tapi ternyata dia cuma berbalik dan duduk di kursinya.

“Kau nyebelin,” ucapnya tanpa menatapku.
Rasanya canggung. Untungnya, bel tanda masuk berbunyi saat itu juga. Sialnya, pr ku masih belum selesai.

***


Kukira aksi usil Julia hanyalah aksi satu kali saja, tapi ternyata keesokan harinya dia mempersiapkan sesuatu yang jauh lebih mencengangkan.

“Orangutaku akan cerai.”

Wajahnya yang serius membuatku mempercayainya untuk beberapa saat.

“Kok bisa?” tanyaku.

“Ayahku selingkuh. Hampir saja Mama membunuhnya. Mama sudah mengurusnya ke pengadilan. Kalau mereka cerai, Mama bilang dia akan kembali ke kampung halamannya. Kemungkinan besar aku akan ikut dengannya.”

Aku tak yakin apa yang harus kukatakan pada anak korban broken home. Kalau Julia ikut ibunya itu berarti dia akan pindah sekolah. Pasti sulit untuk meninggalkan semua teman di sini dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Kalau dia pergi itu berarti kursi di sebelahku akan kosong. Rasanya pasti sangat sepi.

“Pati berat,” ucapku pelan, “kurasa aku bakalan kangen.”

“Kenapa?”

“Kenapa? Kurasa kita cukup dekat untuk merasakan ketidakhadiran satu sama lain.”

“Cuma itu?”

“Ya … cuma itu.”

Entah kenapa aku merasa sudah melangkah di jalur yang salah. Julia mendekatkan wajahnya ke wajahku sangat-sangat dekat sampai-sampai napasnya bisa kurasakan di bibirku. Dari sudut pandang orang lain kami pasti tampak seperti berciuman.

“I will miss you too,” bisiknya pelan di telingaku.

Butuh satu minggu sampai aku sadar kalau semua yang dia katakan tidaklah benar. Saat aku menanyakan kembali tentang itu dia cuma tertawa. Sekali lagi aku dikerjai olehnya.

Sejak saat itu Julia secara rutin mengerjaiku. Mulai dari menyembunyikan pulpen sampai mengirim paket majalah bokep yang diterima oleh ibuku. Entah apa dendamnya padaku. Mungkin dia cuma ingin melihatku kesal. Baginya itu lucu, tapi bagiku tidak. Aku cukup penyabar dalam menghadapinya, tapi suatu hari kesabaranku pun akhirnya habis.

“Oii … apa-apaan ini?”

Aku menatap mejaku yang tadinya berupa meja kayu polos kini dilapisi dengan kelopak bunga mawar layaknya kuburan baru lengkap dengan lilin dan foto 3x4 bergambar wajahku. Orang yang tak tahu apa-apa pasti akan beranggapan pemilik meja ini baru saja meninggal dunia.

“Entahlah. Waktu aku datang udah begini,” jawab Julia dengan wajah polos yang tak menipu siapa-siapa.

“Kalau kau memang mau aku meninggal ya bilang aja. Jujur aja, aku lebih senang meninggal daripada harus liat mukamu. Makin lama aku makin jijik! Kau pikir ini lucu? Haa?!”

Emosi yang bernama benci dan marah keluar bersama kata-kata dan itu sukses membungkam Julia yang tadinya hendak tertawa. Aku sudah tak peduli secantik apa wajahnya, bagiku dia cuma seorang penganggu dan tak lebih dari itu.

Aku menyingkirkan semua ornamen di atas meja dan duduk sambil menolehkan kepala agar tak perlu memandang Julia. Dia memanggil dan meminta maaf, tapi aku sama sekali tak memperdulikannya. Terkadang memutus sebuah hubungan jauh lebih baik daripada menderita di dalamnya.

***


Minggu dan bulan pun berlalu. Diam yang awalnya merupakan tanda kemarahan kini menjadi sebuah kebiasaan. Aku dan Julia masih belum bertukar satu kata pun sejak saat itu. Hubungan kami sudah hancur dan aku tak punya niat memperbaikinya. Rasanya sepi, tapi masih jauh lebih baik daripada merasa kesal setiap hari.

Mungkin karena sudah tak lagi diganggu dengan segala prank yang tak jelas, aku jadi lebih memperhatikan Julia dan lingkungannya. Aku tak pernah menyadari ini sebelumnya, tapi sepertinya dia tak punya teman yang akrab. Selain kegiatan kelas, aku jarang melihatnya berkumpul dengan anak-anak lain. Aku juga tak pernah melihat yang lain mampir untuk mengobrol dengannya. Dia seorang penyendiri.

Menjadi penyendiri tidaklah menyenangkan. Saat Smp dulu aku sulit mendapat teman jadi aku paham bagaimana rasanya. Merasa terkucilkan, merasa tertinggal, merasa tidak diinginkan. Aku ingin bisa bicara dengan yang lain tapi terlalu malu untuk melakukannya. Akhirnya aku jadi suka mencari perhatian dengan melakukan hal-hal konyol.

Memikirkan itu membuatku tanpa sadar menoleh ke arah Julia. Dia duduk sendirian di kursinya, matanya fokus membaca buku. Merasakan tatapanku dia melirik dan langsung mengalihkan pandangannya lagi. Mungkin sebenarnya dia ingin bicara, tapi aku sudah terlanjur membancinya.

Melihat Julia yang seperti itu membuatku sedikit iba. Mungkin aku sudah terlalu keras dan tanpa sadar melukai hatinya.

***


Esok harinya aku datang ke sekolah pagi sekali. Tak ada alasan khusus. Aku hanya merasa sesekali mencoba hal baru tidaklah buruk. Agak dingin memang, tapi melihat satu per satu murid datang dan menyapa mereka merupakan sebuah pengalaman baru.

Dan akhirnya Julia datang. Dia menatapku sekilas tapi tak ada sapaan yang terucap. Dia mencapai mejanya dan terdiam lama. Sudah lebih dari sebulan kami tidak bicara dan rekor itu akhirnya pecah saat Julia membuka mulut.

“Kau … kursiku ….”

“Entahlah. Waktu aku datang udah nggak ada.”
Aku memasang wajah sedatar mungkin, tapi ternyata sensasi geli dalam diriku tak bisa dibendung. Akhirnya aku pun tertawa. Julia juga ikut tertawa. Ini mungkin satu-satunya prank yang bisa kami berdua tertawakan bersama.

“Mungkin kursimu ada di gudang,” ucapku tetap pada prank, “mau kubantu nyari?”

“Okay, tapi hati-hati lo. Katanya gudang sekolah kita berhantu.”

Tampaknya kami sudah resmi berbaikan. Tak ada yang minta maaf, tapi kurasa akulah yang benar-benar mengalah di sini. Dengan hati yang jauh lebih lapang aku pun mengantar Julia ke gudang.

“Hei Niel,” panggilnya di tengah perjalanan kami.

“Hmm?”

“I love you.”

“I love you, too.”

Apakah itu prank atau tidak, kami tak perlu mempertanyakannya.

***TAMAT***
jenggalasunyiAvatar border
leehoneyAvatar border
mr.bukyAvatar border
mr.buky dan 10 lainnya memberi reputasi
11
789
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan