ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #3 : Ikatan Ursa Mayor


“Hei, kau lihat konstelasi tujuh bintang disana?”

“Maksudmu ursa mayor?”

“Ya. Ursa mayor selalu ada di utara. Selalu.”

Aku tak pernah tau apa maksud dari perkataan gadis itu. Aku hanya mengingatnya sebagai salah satu pengetahuan yang mungkin akan berguna bagiku di masa depan.

“Suatu hari nanti, di sini, mari kita melihat bintang bersama lagi.”

Kata katanya di hari itu menjadi ikatan bagi kami. Ikatan yang tak putus oleh ruang dan waktu.

***


Aku terbangun saat aku merasakan guncangan keras di kala bus yang kami tumpangi melewati area bebatuan. Kuperbaiki postur dudukku dan menyadari bahwa matahari sudah hampir di atas kepala.

Mungkin karena hari ini adalah harinya aku jadi bermimpi aneh. Mimpi dari 3 tahun lalu saat aku masih duduk di kelas 3 SMP. Sejenak aku menutup mataku dan mengingat kembali pemandangan itu.

Lahan berumput yang luas diatas puncak gunung di tengah malam, lautan bintang yang dapat terlihat jelas karna tidak adanya polusi cahaya dan seorang gadis yang duduk disampingku sambil menatap bintang.

Perlahan lahan kenangan masa lalu melintas di kepalaku.

***


Saat itu adalah saat pertamaku dalam mengikuti kegiatan pramuka. Aku yang masih baru memasuki bangku SMP memutuskan mengikuti kelompok pramuka di sekolahku dan hari itu, pada tanggal 14 Agustus, kami berkemah menuju lokasi perkemahan di puncak gunung yang cukup terkenal.

Aku sendiri sama sekali tidak berminat dengan pramuka. Aku hanya mengikutinya karna perintah ayahku yang dulu merupakan anggota pramuka di sekolahku saat ini.
Di sana kami dibariskan dan dan diberi tahu berbagai hal tentang berkemah yang hanya kuanggap sebagai angin lalu.

Seperti layaknya pemula kami hanya diberi arahan memasang tenda dan menyalakan api. Selebihnya hanya cerita cerita tidak jelas yang tidak aku ingat.

Di malam hari, saat semua sudah tertidur, aku keluar dari tenda. Berada satu tenda dengan instruktur kami membuatku tidak bisa tidur dikarenakan dengkurannya yang menyakiti telinga.

Aku melihat ke sekeliling di lahan tempat kami berkemah. Sebuah area terbuka yang dikelilingi pepohonan memang menjadikan tempat ini sebagai lahan berkemah yang cocok. Namun untuk suatu alasan aku merasa tidak nyaman.

Kulangkahkan kakiku mengikuti jalur setapak yang dapat membawaku ke puncak gunung. Aku tak tahu apa yang membuatku melakukan itu, tapi aku merasa ada sesuatu yang menarikku ke atas sana. Rasanya seperti cahaya kecil yang kulihat dari puncak gunung itu memanggilku.

“Ah, tak kusangka akan ada yang datang kemari.”

Yang menantiku di sana adalah seorang gadis yang kelihatannya seumuran denganku. Sosoknya yang duduk di depan api unggun memberi kesan hangat dalam diriku.

“Duduklah di sini, temani aku ngobrol,” ajak gadis itu sambil menepuk tanah disampingnya.

Akupun duduk berhadapan dengan gadis itu. Sekarang hanya ada api unggun di antara kami.

“Apa kau juga sedang berkemah?” Dia bertanya.

“Ya.”

“Kalau begitu kita sama. Aku menyelinap kesini karna tak bisa tidur.”

Aku tak menyangka kami memiliki alasan yang sama untuk berkeliaran di malam hari, tapi bedanya gadis ini tampak menikmati apa yang dia lakukan. Sama sekali berbeda denganku.

“Aku sangat suka berkemah,” dia mulai bercerita. "Rasanya seperti menyatu dengan alam. Setiap kali berkemah aku merasa sangat bebas. Karna itulah aku ikut pramuka.”

Itu alasan yang sangat sederhana untuk menyukai sesuatu. Gadis ini mengikuti pramuka karna panggilan hati. Entah kenapa aku merasa dapat membuka diriku padanya.

“Kalau aku sebenarnya tak suka.”

“Eh? Kenapa?”

“Karna aku merasa tidur di tenda maupun melihat api tidak memberikan kesenangan apa pun. Bukankah tidur di atas kasur dan menonton TV jauh lebih menyenangkan?”

Gadis itu memandangiku dalam diam. Situasi langsung berubah menjadi hening namun aku sama sekali tidak berniat memecahnya. Aku hanya terus memandangi api.

Tiba tiba gadis itu bangkit dan duduk disebelahku.

“Hei berbaringlah,” perintahnya sambil membaringkan tubuhnya di tanah.

“Itu kan kotor.”

“Berbaring sajalah.”

Aku pun membaringkan badanku.

“Coba kau lihat bintang bintang diatas sana,” ucapnya sambil menunjuk ke arah langit.

Di atas sana, di tempat yang jauh lebih tinggi dari langit, bersinar jutaan bintang. Bintang-bintang itu saling berderet satu sama lain seolah memenuhi langit dengan cahayanya masing masing. Malam yang seharusnya gelap kini terasa terang berkat jutaan cahaya bintang.

Sungguh pemandangan yang indah.

“Di perkotaan kau tak akan bisa melihat yang seperti ini,” ucapnya, “bukankah keindahan alam itu luar biasa?”

“Ya, luar biasa.”

Tanpa sadar kata kata itu keluar dari mulutku. Ini pertama kalinya aku melihat sesuatu yang dapat membuatku terpana tanpa dapat menyangkalnya.

Satu menit, dua menit, sepuluh menit. Waktu terus berjalan mengiringi keheningan kami namun aku masih belum puas memandangi bintang. Rasanya seperti 11 tahun hidup yang aku habiskan hanya ditujukan untuk hari ini saja.

“Kalau begitu aku harus kembali sekarang,” Gadis itu kemudian memecah keheningan. “Kau juga sebaiknya kembali sebelum masuk angin.”

Dapat kudengar langkah kaki gadis itu perlahan menjauh. Aku bangkit dan mematikan api sebelum berjalan kembali ke tenda.

Seperti itulah pertemuan pertamaku dengannya

Satu tahun kemudian, sebagai anggota pramuka, aku kembali ke gunung itu.

“Hey sinian, bisa bantu anggota baru mendirikan tenda mereka?”

“Tentu, aku segera ke sana.”

Aku berjalan ke arah gerombolan anggota baru yang masih belum tau cara memasang tenda.

Hari ini adalah hari yang sama dengan perkemahan pertamaku tahun lalu, 14 Agustus yang juga hari pramuka nasional.
Sejak saat itu aku tetap bertahan di kelompok pramuka sekolahku dan mempelajari banyak hal juga berkemah di berbagai tempat, tapi ini pertama kalinya aku berkemah di gunung ini sejak tahun lalu. Aku harap aku dapat bertemu dengannya.

“BAIKLAH SEMUA LANGSUNG TIDUR. JANGAN ADA YANG BERBICARA LAGI!”

Mengikuti arahan dari instruktur kami memasuki tenda masing masing.

Satu jam, dua jam. Saat aku yakin semua orang sudah tidur akupun menyelinap keluar. Berjalan menuju puncak gunung.

“Oh, tak kusangka akan ada yang datang kema—tunggu, apa itu kau?”

Dan dia ada disana. Duduk di depan api unggun dengan cara yang sama persis seperti tahun lalu.

“Lama tak jumpa, sudah satu tahun.”

“Tak kusangka kita bertemu lagi. Kukira kau tidak suka berkemah.”

“Ya, tapi bintang-bintang itu hanya dapat dilihat dengan jelas dari sini kan?”

Dengan kalimat yang tidak jelas itu aku langsung berbaring dan memandang langit. Langitnya sama indahnya dengan yang terakhir kuingat.

Tanpa kusadari gadis itu ternyata sudah berpindah dari tempatnya dan berbaring disampingku.

ini terasa nyaman.

“Kau lihat bintang yang paling terang itu? Itu namanya sirius.”

“Kau tahu banyak ya?”

“Tentu saja,” ucapnya sombong.

Malam itu kami berbicara banyak hal dari bintang bintang hingga ikatan simpul. Tanpa kami sadari fajar mulai menyingsing yang menjadi tanda berakhirnya pembicaraan kami. Kami pun bergegas kembali ke kemah masing masing sebelum ada yang sadar kami menghilang.

Aku sungguh tak percaya aku menghabiskan satu malam penuh berbicara dengan seseorang. Aku adalah orang yang tidak suka berbicara, tapi dengannya membuatku merasa duniaku terbuka lebar.

Satu tahun kemudian kami kembali bertemu.

“Sial, aku lupa membawa korek.”

Kali ini kami tiba nyaris bersamaan. Api unggun belum dinyalakan sehingga di sini sungguh gelap.

“Ini, pakai batu api ku saja.”

Aku melemparkan batu api yang tidak sengaja masih tersimpan di sakuku padanya.

“Dan kau menyuruhku melakukannya? Di mana sifat kejantananmu?”

Tetap kau lakukan juga kan?

Setelah api menyala dia mulai berjalan kearahku.

“Ternyata kau tinggi juga ya?”

“Eh? Ya. Banyak yang bilang.”

Orangtuaku memang cukup tinggi sehingga wajar saja kalau aku lebih tinggi dari anak seusiaku. Gadis itu mendekatkan dirinya dan mulai membandingkan tinggi kami.

Terlalu dekat

“Bisa kau kembalikan batu ku?”

Tak tahan dengan aroma wangi dari tubuhnya aku pun mundur. Kenapa jantungku berdetak sekencang ini?

“Karna kau sudah membuatku menyalakan api maka batu ini kusita.”

“Tunggu, itu kan ... ah sudahlah. Kalau kau mau ambil saja.”

“He he. Itu baru laki laki.”

Mungkin karna sudah terbiasa kami berdua langsung mengambil posisi berbaring dan mulai menatap bintang.

“Apa kau tau tentang rasi bintang?” dia mulai bertanya.

“Aku yakin anak SD juga pasti tau.”

"hehehe, tapi bukankah itu menarik? Beberapa bintang berkumpul dan membentuk sesuatu yang lebih besar. Bukankah sama seperti manusia?”

“Sama? Apanya?”

“Setiap bintang memiliki sinarnya sendiri, ada yang terang dan ada yang redup, tapi mereka bersatu untuk membentuk konstelasi. Manusia juga begitu kan? Setiap orang memiliki bakatnya masing-masing tapi pada akhirnya mereka bersatu dan membentuk sebuah keluarga.”

Aku tidak begitu mengerti apa yang dia katakan, tapi aku yakin kalau itu benar. Tak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Manusia memang membutuhkan satu sama lain.

Seperti aku membutuhkanmu.

“Hei, apa kau merasa kalau tanahnya bergetar?”

“Bergetar?”

Kami diam untuk beberapa saat dan kemudian dapat kurasakan getaran ringan mengguncang tanah.

Gempa bumi.

Meski hanya sebentar tapi itu pasti cukup untuk membangunkan orang yang sedang tertidur.

“Kita harus cepat kembali. Orang-orang pasti akan mencari kita”

Meski aku setuju dengan apa yang dia katakan entah kenapa aku merasa takut.

“Hei tunggu, apa tahun depan kita bisa bertemu lagi?”

Gadis itu berbalik ke arahku dan terseyum. Sepertinya ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum seindah itu.

Cantik sekali.

“Kau lihat konstelasi tujuh bintang di sana?”

“Maksudmu ursa mayor?”

“ya. Ursa mayor selalu ada di utara. Selalu.”

Aku tak pernah tau apa maksud dari perkataan gadis itu. Aku hanya mengingatnya sebagai salah satu pengetahuan yang mungkin akan berguna bagiku di masa depan.

“Suatu hari nanti, di sini, mari kita melihat bintang bersama lagi.”

Kata-katanya di hari itu menjadi ikatan bagi kami. Ikatan yang tak putus oleh ruang dan waktu.

Tapi kami tak pernah bertemu lagi.

Satu tahun setelah itu aku mengidap penyakit yang cukup parah sehingga aku tak bisa mengikuti perkemahan pramuka SMA ku dan tahun berikutnya aku terus menunggu di puncak gunung itu, tapi dia tidak pernah datang.

***


Aku membuka mataku setelah mengingat kembali kenangan selama 5 tahun di gunung ini.

“BAIKLAH SETIAP GRUP MULAILAH MEMBANGUN TENDA KALIAN. WAKTUNYA 30 MENIT!”

Sekarang aku sudah kelas 3 SMA dan sekarang aku juga menjadi ketua pramuka sekolahku. Sungguh aneh rasanya jika aku mengingat 5 tahun yang lalu aku adalah seorang anak yang ikut pramuka karna disuruh ayahnya.

Malam perlahan semakin larut dan semua orang mulai berbicara dengan grupnya masing-masing.

Aku melihat ke arah seorang anak yang tampak menyendiri di dekat tendanya. Ini adalah pemandangan yang sudah kulihat setiap tahun karna tidak semua orang suka berbicara dengan orang lain.

Aku pun berjalan mendekatinya.

“Hei, kau suka pramuka?” aku langsung menanyakan hal itu padanya.

“Tidak juga.”

“Hoo, kenapa?”

“Karna aku merasa tidur di tenda maupun melihat api tidak memberikan kesenangan apapun. Bukankah tidur diatas kasur dan menonton TV jauh lebih menyenangkan?”

Ucapannya benar benar membuatku deja vu. Rasanya sudah lama sekali sejak saat aku mengatakan itu.

“Berbaringlah” Perintahku.

“Kenapa? Itu kan kotor.”

“Berbaring sajalah.”

Anak itu kemudian berbaring dan melihat ke langit.

Meski tak seindah pemandangan dari puncak tapi itu tetap pemandangan yang menakjubkan.

“Di perkotaan kau tak bisa melihat yang seperti itu kan? Bukankah keindahan alam itu luar biasa?”

“Ya, luar biasa.”

Dapat kulihat matanya memancarkan ketakjuban akan pemandangan itu. Persis seperti diriku dulu.

“Aku dulu juga tidak suka pramuka, tapi seseorang menunjukkan pemandangan itu padaku dan itu membuatku tak pernah puas akan keindahannya.”

“Dia pasti orang yang luar biasa. Siapa dia?”

Siapa? Gadis itu... siapa namanya?

Selama ini aku tak pernah menanyakan namanya dan dia pun tidak tau namaku. Apa saja yang sudah aku lakukan selama ini?

Dengan pertanyaan itu di kepalaku waktu terus berjalan. Sudah saatnya bagiku pergi.

Sudah berapa kali aku melewati jalan ini? Empat kali. Tanpa aku sadari setiap tahun aku kemari bukan berniat untuk berkemah tapi untuk bertemu dengannya.

Tahun lalu aku menunggu hingga fajar tapi dia tidak pernah datang. Tahun ini kami harus bertemu.

Karna aku sangat merindukannya. Lebih dari apa pun.

Tanpa sadar aku mempercepat langkahku saat aku melihat nyala api dari puncak gunung. Aku berlari saat aku melihat sosok seseorang di dekat api unggun namun berhenti saat sosok itu sudah kelihatan jelas.

Itu bukanlah dia.

Mereka sangat mirip tapi itu bukanlah dia.
Sosok itu memandangku dan matanya menunjukkan suatu ketidakpercayaan.

“Ternyata benar benar ada yang datang.”

Itulah yang dia katakan. Dalam sekejap tubuhku dipenuhi perasaan yang tidak enak.

“Kakakku memintaku memberikan ini padamu”

Di tengah kebisuanku dia mengulurkan sesuatu padaku. Itu adalah batu api yang dulu kuberikan pada gadis itu.

“Kau...adiknya?”

“Ya, kami satu SMA dan aku juga anggota pramuka. Karna itulah aku bisa ada di sini.”

Kau ada disini. Jadi dimana gadis itu?

“Dimana kakakmu sekarang?”

Dia terdiam. Perasaan buruk kembali memasuki diriku. Kali ini lebih kuat.
Sebagai ganti jawaban dia menyerahkan sebuah surat padaku. Aku langsung tau apa maksudnya.

Aku pun membaca surat itu

Quote:


Tubuhku membeku setelah mencapai akhir surat.

Ini pasti bercanda kan? Ini pasti bercanda kan?

Kenapa kenyataan harus sekejam ini? kenapa takdir tidak memperbolehkanku bertemu dengannya untuk terakhir kali?

“Kakak sering bercerita tentangmu.”

Si adik mulai berbicara setelah aku selesai membaca surat itu.

“Aku tak pernah melihatnya sesenang itu sebelumnya. Rasanya seperti melihat orang yang sedang jatuh cinta.”

Ya, aku juga mencintainya. Orang yang kutemui disini 5 tahun lalu, tanpa kusadari dia sudah menjadi alasanku untuk terus menatap bintang.

“Hei, bisa beritahu aku? Apa arti rasi bintang ursa mayor baginya?” Aku menanyakan pertanyaan itu.

“Itu rasi bintang kesukaannya.”

“San apa maksudnya jika dia bilang ursa mayor selalu ada di utara?”

Dia terdiam cukup lama sebelum menjawab.

“Itu artinya kapan pun kau ingin bertemu dengannya maka lihatlah ursa mayor di utara. Karna... dia juga akan melihat ke sana.”

Entah kenapa aku merasa sedikit lega setelah mendengar itu. Sejak 3 tahun lalu tak terhitung berapa kali aku melihat rasi bintang itu di setiap malam.

Aku merasa kesedihanku sedikit berkurang setelah mendengarnya. Aku pun mengadahkan kepalaku keatas, menatap rasi bintang ursa mayor yang bersinar terang.

“Jadi dia juga melihatnya ya?”

Aku tau, di mana pun dia berada dia juga akan menatapnya.

“Yang terakhir. Tolong beritahu aku.”

“Ya...???”

Hanya satu hal lagi, satu lagi yang perlu aku ketahui ....

“Dia... namanya?”

Di bawah taburan jutaan bintang aku pun menangis


***TAMAT***
hamudaoki989Avatar border
mr.bukyAvatar border
bonek.kamarAvatar border
bonek.kamar dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.2K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan