Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

superman313Avatar border
TS
superman313
Pemimpin Indonesia ke Depan
Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas dan dengan masyarakatnya yang serba heterogen membutuhkan pemimpin yang juga luas jangkauan keilmuannya tentang aspek sejarah, tradisi, budaya, dan kebangsaan.

Pemimpin bangsa tak cukup hanya mengandalkan bakat dari warisan keturunan. Pada abad modern ini dibutuhkan pemimpin yang out of the box dalam melahirkan gagasan praksis dan keputusan yang cepat/tepat tanpa terombang-ambing situasi yang mengendalikannya.

Dalam sejarah kepemimpinan, menurut Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Indonesia pernah memiliki dua sosok pemimpin besar, Soekarno dan Moh Hatta.

”Out of the box”

Soekarno tergolong pemimpin solidarity maker yang sangat cerdas menarasikan pemikiran besar tentang budaya dan politik kebangsaan, baik secara nasional maupun internasional. Sementara Mohammad Hatta terkenal sebagai pemimpin administrator yang sangat cakap mengendalikan urusan administrasi internal negara.

Sebagai pemimpin solidarity maker, Soekarno dengan ilmu besarnya telah berhasil menggugah semangat rakyat dari berbagai latar budaya untuk mencintai bangsanya dan bangkit melawan penjajahan dan penindasan. Hatta dengan keterampilan administrasi kenegaraannya, meminjam Ahmad Wahib, seorang pemikir pembaru Islam, tipe administrator detil dan ulung dalam menyiapkan dan melakukan tindakan-tindakan keputusan negara.

Terus terang Indonesia tak pernah kurang dari para tokoh yang berbakat memimpin.

Bagaimana dengan pemimpin Indonesia masa depan? Adakah dari sekian kandidat terbidik adanya sosok solidarity maker atau administrator? Terus terang Indonesia tak pernah kurang dari para tokoh yang berbakat memimpin. Bahkan, lebih dari sosok solidarity maker dan administrator pun tak bakal kurang. Persoalannya, momentum yang mereka miliki berupa kesempatan menumbuhkan diri atau infrastruktur politik yang menyiapkannya saja mungkin belum tersedia.

Terlepas dari itu semua, tampaknya gaya kepemimpinan solidarity maker dan administrator masih dibutuhkan untuk para sosok yang kini digadang-gadang memimpin Indonesia di masa depan. Pemimpin ke depan diprediksi akan berhadapan dengan situasi sosial kehidupan yang makin rentan dengan kegaduhan dan konflik. Bahkan, ditengarai kemungkinan tumbuh pembelahan sosial yang tak terelakkan.

Dalam konteks ini, gaya pemimpin solidarity maker dengan narasi keilmuan yang berwawasan universal berbasis heterogenitas kebangsaan amat dibutuhkan oleh pemimpin ke depan guna menggugah dan membangun solidaritas jagat rakyat bersatu padu menjaga dan mengamankan kestabilan bangsa dari berbagai gangguan internal ataupun eksternal.

Dengan demikian, ekspektasi untuk memperkokoh kohesi bangsa dari keterbelahan sosial dapat diatasi dengan baik. Setidaknya kegaduhan laten akibat isu saling bully bisa dicegah secara efektif dan berkesinambungan. Adapun sosok administratur diperlukan pada pemimpin ke depan agar kesalahan prosedur tidak terulang lagi.

Tentu saja pemimpin solidarity maker tak selamanya efektif jika pemimpin yang bersangkutan tak konsisten memegang prinsip kepemimpinannya secara teguh dan kohesif. Soekarno mengalami krisis terburuk saat kepemimpinan solidarity maker-nya dikendalikan oleh situasi yang memengaruhinya. Dalam hal ini komunitas Nasakom sebagai unsur solidaritasnya berupaya menjebak Soekarno ke jalan politik yang tidak sejalan dengan konstitusi.

Oleh karena itu, pemimpin ke depan tak cukup hanya mengandalkan gaya solidarity maker yang dikendalikan oleh situasi elite tertentu dan atau oleh partai-partai besar yang mendukungnya. Pemimpin ke depan perlu melakukan gerakan kepemimpinan melompat (out of the box) dari kondisi yang membelenggu kreativitas, sekadar membela elite-elite besar, tetapi merugikan dan mengecewakan rakyat.

Pengalaman ini mutlak jadi catatan penting bagi pemimpin Indonesia mendatang.

Pengalaman telah membuktikan, seorang pemimpin Indonesia yang awalnya konsisten membela kepentingan rakyat dan berkomitmen menegakkan hukum berlandaskan konstitusi dan keteladanan pada akhirnya karena bersikap tak independen dan bergantung pada bisikan otoritas oligarki dan kepentingan parpol, kepemimpinannya mulai mendendangkan kegaduhan (menggelisahkan) dan diragukan keberpihakannya dalam menegakkan keadilan konstitusi demi rakyat.

Pengalaman ini mutlak jadi catatan penting bagi pemimpin Indonesia mendatang. Langkah menegakkan gaya kepemimpinan out of the box bagi siapa pun yang menjadi pemimpin ke depan bukan lagi disikapi basa-basi sekadar mengejar pencitraan di mata publik/rakyat.


Kepemimpinan partisipatif

Gaya kepemimpinan lain, selain gaya solidarity maker, menurut Gary Yukl dalam Leadership in Organization, perlu dikombinasikan dengan gaya kepemimpinan berpartisipasi dengan masyarakat.

Kombinasi ini sebagai klimaks dari langkah kepemimpinan out of the box karena dari sisi ini pemimpin meneguhkan sikap kemandiriannya. Ia tidak selalu berada pada kendali elite dominasi struktur politik, tetapi mampu menentukan gaya kepemimpinan partisipatif bersama rakyat. Aspirasi rakyat didengar dan diajak berdiskusi bersama, sampai batas tertentu disepakati keputusan sesuai kaidah dan peraturan berlaku.

Kepemimpinan partisipatif juga melibatkan dan menyalurkan aspirasi rakyat memberikan masukan, pendapat, dan pemikiran kritis dalam hal membuat undang-undang (UU) baru. Cara ini ditempuh agar tak terjadi lagi penetapan UU baru yang tak melibatkan rakyat sehingga terkesan dibuat secara terburu-buru.

Dari uraian di atas, hemat penulis, merupakan realitas dan hikmah yang tak terelakkan bagi siapa pun pemimpin Indonesia ke depan yang terpilih untuk menerapkan—selain gaya kepemimpinan solidariity maker—adalah kombinasi dengan kepemimpinan partisipatif. Suatu gaya kepemimpinan yang tak hanya pemimpin terlibat bersama rakyat, tetapi juga melibatkan rakyat untuk bersama-sama menegakkan demokrasi demi tegaknya keadilan hukum dan kesejahteraan rakyat.

Dengan model kepemimpinan seperti ini, ketergantungan kepada kendali politik partai dan kemauan kekuasaan oligarki dapat dikontrol secara kredibel. Dengan demikian, harapan publik pada negara yang bersih, tegas, berintegritas, dan tak pandang bulu—baik dalam memberantas kejahatan KKN maupun kejahatan lain yang membahayakan, seperti kejahatan ekonomi, politik, kejahatan terhadap SDA hutan, perkebunan, pertambangan, dan atau pertanahan—sejalan dengan falsafah bangsa dan konstitusi dapat diwujudkan.

Inilah barangkali yang dimaksud oleh pernyataan Anthony Giddens dalam bukunya The Class Structure of The Advances Sosieties: dengan berfungsinya pilar-pilar struktur politik, suatu negara dapat menegakkan tugas kerakyatannya dengan karismatis dan efektif.

Fauzul ImanGuru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten

https://www.kompas.id/baca/artikel-o...nesia-ke-depan

Tulisan yang fair mengkritik dan memberi saran dgn tulisan yang halus. intinya bsk klo yg jadi pimpinan kyk model lama/jokowi bakal remuk negara kita😂😂😂😂😂😂 bikin aturan/uu se enake dhewe rakyat /kepentingan umum tidak dilibatkan, ngobrak abrik Tata Negara, tidak peduli dgn kepentingan rakyat cuma tukang kibul, rakyat demo/bersuara dijegali ya amsyong. 🖕🖕🖕🖕


lenktaywonkAvatar border
sc5Avatar border
sc5 dan lenktaywonk memberi reputasi
2
421
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan