Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

billynsAvatar border
TS
billyns
Mengapa Kekerasan Seksual di Pesantren Terus Berulang?
https://regional.kompas.com/read/202...page=all#page2
Kasus Pemerkosaan 6 Santriwati di Semarang, Mengapa Kekerasan Seksual di Pesantren Terus Berulang?

Polisi telah menangkap BAA (46) alias Muh Anwar, yang mengaku sebagai pemimpin Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Alkahfi, Semarang, Jawa Tengah, atas dugaan pemerkosaan terhadap enam santriwati. Sebelumnya, polisi juga menangkap seorang tersangka pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren di Karanganyar, Jawa Tengah. Lalu mengapa kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren terus berulang? Muh Anwar mengaku kepada pihak kepolisian bahwa dirinya telah merudapaksa tiga santriwati, salah satunya masih di bawah umur.
Polisi mengatakan dia memanfaatkan namanya yang dikenal sebagai kiai untuk mendirikan Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi dan melakukan tindak pidana pemerkosaan dan penipuan. "Yang bersangkutan ini sering mengikuti atau terlibat dalam kegiatan pengajian yang ada kiai-kiainya di situ, dia mengisi sebagai pembaca puisi ataupun sebagai penyair tetapi kan akhirnya jemaah-jemaah ini tertarik kepada dia kan jadi seolah-olah sudah menganggap dia juga sebagai kiai juga," kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, AKBP Donny Lumbantoruan, dalam jumpa pers, Jumat (08/09). Fakta ini mendukung pernyataan pihak Kementerian Agama (Kemenag) yang menyatakan tempat yang disebut pesantren itu “bukan pesantren”. Kasus pemerkosaan di Hidayatul Hikmah Al Kahfi terungkap setelah psikolog dari Unit Pelaksana Teknis Daerah, Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA DP3A) Pemkot Semarang, Iis Amalia, melakukan jumpa pers pada Rabu (06/09).
Iis mengatakan korban Muh Anwar mencapai enam orang, bukan tiga seperti yang dia akui. Menurut Iis, keenam korban sudah mengadu kepada pihaknya, dua di antara mereka merupakan anak-anak. Kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Semarang ini hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren. Sehari sebelumnya, polisi menangkap seorang tersangka yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren di Karanganyar, Jawa Tengah. Pada awal tahun 2023 saja, setidaknya empat kasus kekerasan seksual terungkap di Lampung dan Jember, Jawa Timur. Pada November 2022, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada Moch Subchi Atsal Tsani (MSAT) alias Bechi, anak kiai ternama di Jombang- sebuah kasus yang sempat membuat gempar pada waktu itu.
Awal mula kasus pelecahan di Semarang Lihat Foto Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatul Hikmah Al Kahfi Semarang, Jawa Tengah, Bayu Aji Anwari ngaku telah merudapaksa tiga santriwati. (KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf) Kasus dugaan kekerasan seksual oleh Muh Anwar sebenarnya sudah terungkap sejak 2022 lalu, ketika salah satu korbannya, sebut saja Delima, datang ke UPTD untuk menjalani konseling karena mengalami kekerasan seksual “di tempatnya mondok”. Hal itu diungkapkan oleh Kepala UPTD PPA DP3A Kota Semarang, Catur Karyanti. Dari pengakuan itu, kasus dikembangkan dan terindentifikasi korban lainnya, sebut saja Dahlia. “Peristiwa kekerasan itu terjadi di rentang waktu tahun 2020-2021. Selain Delima, dan muncul Dahlia, ada korban satu anak, tapi kami kesulitan menggali karena masih tertutup. Ini kerja kolektif, berangkat dari curhat jemaah,” kata Catur kepada wartawan Noni Arnie yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (08/09). Ditemui secara terpisah, perwakilan Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA), Nihayatul Mukaromah— selaku pendamping korban dalam kasus ini— mengatakan jumlah korban ada enam, yaitu dua korban usia anak dan empat korban usia dewasa.
“Tapi yang mau melaporkan hanya keluarga Dahlia. Keluarganya mau melaporkan kasus kekerasan seksual ke Polrestabes [Semarang] pada akhir 2022,” jelas Nihayatul. Penyidik unit PPA Polrestabes Semarang membuat laporan pada 16 Mei 2023 untuk memanggil Muh Anwar sebagai saksi. Dua kali panggilan, dia selalu mangkir sampai pada akhirnya berhasil dijemput paksa di Bekasi pada 31 Agustus 2023, dibawa ke Semarang, dan “ditahan”. “Pelaku dijerat UU Perlindungan anak dengan ancaman ancaman 15 tahun, tapi kami mendesak tambahan hukuman karena tokoh agama yang melakukan kekerasan seksual kepada santri sehingga bisa dikenakan tambahan 1/3 dari ancaman. Jadi harapannya bisa maksimal 20 tahun,” tegas Nihayatul. Saat ini pihaknya sedang mengupayakan restitusi bagi para korban dan memastikan kondisi korban dan keluarga tetap aman. Selain menjadi korban kekerasan seksual, para korban juga megalami kerugian materiil, padahal keluarganya “tidak mampu”.

Bukan pesantren
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Tengah Musta’in Ahmad menegaskan Hidayatul Hikmah Al Kahfi “bukan pesantren” karena tempat itu tidak “terkonfirmasi” baik oleh Kanwil Kota Semarang maupun Jawa Tengah. Musta’in menjelaskan tempat itu dijadikan tempat belajar agama oleh warga sekitar. Sebelumnya, Kepala Kanwil Kemenag Kota Semarang, Ahmad Faris, menyatakan tempat itu tidak memenuhi syarat utama tentang pesantren, yang mencakup jumlah santri mukim, kyai yang bersyahadah, pembelajaran kitab kuning, bangunan asrama yang terpisah untuk santri dan pengasuh, tempat ibadah, dan kurikulum pesantren yang jelas. Meski demikian, Musta'in mengatakan pihaknya tetap melakukan pendampingan secara psikologis kepada murid-murid yang belajar di sana agar mereka “merasa aman”. Kasus ini memantik pertanyaan tentang pengawasan yang dilakukan Kemenag terhadap pesantren-pesantren. Mengapa sampai ada tempat yang memakai nama pesantren, padahal bukan pesantren?
Dalam hal ini, Musta’in mengatakan pihaknya pun tidak tahu siapa orang pertama yang melabeli tempat itu sebagai pesantren. “Kalau dia pesantren, mestinya kan komunikasi dengan Kemenag. Kalau kemudian Kemenag yang mencari-cari, setiap ada orang kumpul ditanya.. negara kita kan negara demokrasi," kata Musta’in kepada BBC News Indonesia. Kasus serupa di Karanganyar Sehari sebelum kasus pemerkosaan di Semarang diungkap ke media, tepatnya pada Selasa (05/09), Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menyatakan telah mengambil alih kasus dugaan kekerasan seksual terhadap santriwati di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Karanganyar. Pada Kamis (07/09), polisi sudah menetapkan satu tersangka berinisial DN, dengan jumlah korban mencapai enam orang. Kepala bidang Humas Polda Jateng, Kombes Satake Bayu Setianto, mengatakan tersangka merupakan salah satu dari pimpinan ponpes, yang awalnya berstatus sebagai saksi. "Yang bersangkutan ditahan di rutan Polda Jateng," kata Bayu. Pihak kepolisian belum mengungkap modus tersangka.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, meyakini kasus-kasus kekerasan seksual yang belakangan ini marak terjadi dipesantren “bukanlah fenomena baru”. Kasus-kasus itu baru dikenali publik berkat keberanian korban yang mau bersuara dan juga adanya kesadaran bahwa kekerasan seksual di lingkungan pesantren bukan aib. Menurut Siti, kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan pesantren disebabkan “relasi kuasa yang timpang” antara anak yang berhadapan dengan orang dewasa, perempuan berhadapan dengan laki-laki, murid/santriwati yang berhadapan dengan guru, dan awam berhadapan dengan seseorang dengan otoritas pengetahuan keagamaan. “Lapisan relasi ini semakin rentan ketika korban berada dalam lingkungan tempat tinggal yang terpisah dari pelindungan orangtua/walinya,” kata Siti kepada BBC News Indonesia, Jumat (08/09).
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazuma, menjelaskan para pelaku kekerasan seksual di pesantren, yang umumnya memiliki hierarki yang lebih tinggi dari korban, cenderung “menyalahgunakan kekuasaannya”. Tidak hanya itu, para pelaku bahkan melakukan “manipulasi” terhadap korban. “Misalkan dipanggil untuk belajar ataupun ada sesi khusus, dengan alasan mungkin upgrade ilmu atau pengetahuan atau hal lain lagi yang dianggap sebagai bonus pembelajaran. Tetapi justru di situlah kemudian praktik-praktik kekerasan seksual itu terjadi,” papar perempuan yang akrab disapa Zuma. Relasi kuasa yang kemudian disalahgunakan itu diperparah dengan konsep pesantren yang “tertutup”. Itu membuat kekerasan seksual tidak diketahui siapapun dan para korban juga “mengalami hambatan untuk mengadukannya”, kata Siti Aminah Tardi.

Bagaimana agar tidak terus beulang?
Zuma berpendapat kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Menurutnya, semua kalangan, mulai dari para pegiat, pihak pesantren, hingga kepolisian dan Kementerian Agama harus berpartisipasi bersama. Namun, dalam hal kekerasan seksual di lingkungan pesantren, Zuma berharap Kemenag “benar-benar melakukan monitoring evaluasi untuk setidaknya mengurangi kasus kekerasan seksual di pesantren. “Karena miris banget kan di pesantren, lembaga pendidikan yang diharapkan menjujung tinggi moral, tapi justru pelaku-pelaku kekerasan itu adalah orang-orang yang tidak kita duga, tidak kita sangka. Itu yang harus kita perhatikan dan Kemenag harus memberikan sanksi selain juga ada upaya sanksi pidana,” ujar Zuma.
Terkait hal itu, sebenarnya sejak tahun lalu, Kemenang sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 (PMA 73/2022) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Di dalamnya, diatur tentang definisi, bentuk, hingga kekerasan seksual di lingkup pendidikan keagamaan. Oleh sebab itu, Siti Aminah Tardi, dari Komnas Perempuan, mengatakan pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada kementerian agama harus dilakukan secara cepat, terpadu, dan terintegrasi—bersama dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang bisa digunakan dalam kasus seperti ini. “Karenanya melalui kasus ini, selain mendorong penerapan UU TPKS, Kementerian Agama juga harus intensif mnyebarluaskan PMA 73/2022 termasuk ke lingkungan pesantren. Sehingga kemudian akan terjadi perubahan cara pandang tentang kekerasan seksual di lingkungan pesantren dan manajemen pesantren terus membangun ruang pendidikan yang aman dari kekerasan,” kata Siti.
Untuk wilayah Jawa Tengah yang menjadi sorotan dalam liputan ini, Kepala Kanwil Kemenag Jawa Tengah Musta’in Ahmad yakin PMA 73/2022 itu sudah sampai ke pesantren-pesantren di wilayahnya dan sudah disosialisasikan. Namun, memang dia mengatakan dibutuhkan kedisiplinan untuk untuk mematuhi setiap aturan yang tertuang di dalamnya. “Tidak cukup dengan sosialisasi, kita harus terus melakukan edukasi. Kita harus terus melakukan komunikasi karena kondisi sosial kita seperti itu [masih banyak yang melanggar peraturan],” ujar Musta’in. Selama dua tahun belakangan, lanjut dia, pihaknya sudah melakukan upaya untuk mencegah kasus kekerasan seksual di ranah pesantren, yaitu dengan menggerakkan apa yang disebut sebagai “sekolah aman dan sehat”. Kasus-kasus perundungan sampai kekerasan seksual disebut menjadi “PR besar” dan harus menjadi “perhatian” untuk mewujudkan sekolah yang aman dan sehat.
---

seguru seilmu, terstruktur sistematis masif.
hapus aja kewenangan pendidikan di kemenag, serahkan semua ke kemendiknas & pendidikan agama itu harus diajarkan di luar sekolah.
jireshAvatar border
qavirAvatar border
aldonisticAvatar border
aldonistic dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.1K
90
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan