Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Absen | Based on True Horror Urban Legend [Kompetisi KGPT]
Quote:




"Haduh...!"

Petang ini teramat melelahkan. Bagaimana tidak, Dosen kami memundurkan jam kelasnya tepat saat hari mulai gelap. Aku yang baru sampai di teras kosan mau tak mau harus melangkah lagi. Aku kira Pak Ruslan tidak masuk di pekan sekarang, padahal baru saja aku ingin melepas penat dengan mandi air panas. Lelah sekali rasanya. Sejak pagi tadi aku sudah dibombardir kalkulus yang memaksa otak terus berputar, lalu sekarang harus kembali ke kampus saat matahari hendak berpamitan.

Aku menggerutu sepanjang jalan sambil melihat orang-orang lalu lalang kembali ke rumah, iri sekali rasanya melihat mereka. Sedangkan sekarang aku harus berjalan dengan sempoyongan ke kampus yang sudah termakan gelap. Lembayung senja seperti menggodaku untuk kembali pulang untuk menikmati secangkir teh selepas mandi, tapi sekarang badanku tak karuan, kepalaku ling-lung. Hari-hari yang menjemukan dan puncaknya ada di petang sekarang.

Pak Ruslan mengajar mata kuliah yang memang tak boleh dilewatkan mahasiswa tingkat akhir, bahkan nilai minimalnya harus B. Terlebih mata kuliah ini adalah bagian pendukung rencana skripsiku. Jujur, aku sudah muak dengan segala rumus dan angka-angka yang membanjiri otakku.

Aku benarkan tote-bagyang mulai goyah, menendang kerikil jalan.

"Mel kenapa lo kaya yang bete gitu?" Andri menepuk pundakku dari belakang.

"Siapa coba yang ga bete? Gue yakin anak-anak pun ngerasain yang sama," Pertanyaan yang ia lontarkan justru membuatku semakin kesal.

"Amel...duh jangan gitu dong cantik. Semangat! Semangat!" Dia mencubit pipiku. Mataku buyar. Dengan geram ingin sekali aku menendang mukanya, Andri berlari-lari dan berharap aku mengejarnya.

Tubuhku tak ada daya lagi untuk melayani keisengan teman-temanku, terlebih pada Andri. Ia salah satu mahasiswa yang aktif, sejak pagi-pun aku tak melihatnya di gedung kelas. Mungkin karena itulah di sore ini ia lebih segar dibanding teman-temanku yang lain.

Di persimpangan menuju gedung kampus, kami tertahan kereta api yang hendak melintas. Beberapa temanku menunggu di trotoar bersamaan dengan motor yang berdesakan di celah mobil-mobil, kami sama-sama mengantri. Riuh bersama sirine yang menusuk telinga. Palang pembatas mulai turun dengan gemuruh kereta yang menyusul.

Entahlah. Keadaan begitu ramai, tapi dalam benakku sendiri merasakan kesunyian yang dalam. Gerbong kereta melintas dengan sekelebat cahaya yang berlalu cepat. Gamang dengan tatapan kosong. Namun aku berharap segalanya berakhir lancar karena ini demi masa depanku juga.

Terkadang aku terheran, Kenapa universitas membangun gedung fakultas kami dekat rel kereta, bukannya itu mengganggu? Ah, masa bodoh kenapa pula aku harus memikirkannya. Tugasku sekarang belajar dengan tenaga yang tersisa. Mencatat hal-hal yang penting lalu pulang secepatnya.

Kereta berlalu, palang pintu kembali terangkat. Orang-orang melanjutkan tujuan mereka. Pun halnya gerombolan kami, Andri mengayunkan tangannya pada kami semua untuk melanjutkan langkah.

Setelah melewati rel, jalan terbagi dua, ke kanan menuju pusat kota, dan di kiri adalah gerbang kampus. Dari kejauhan lampu-lampu gedung sudah menyala, remang bersama cahaya senja yang mengatup biru. Kampus kami terlihat sudah gulita.

Tepat di gerbang kampus, Astri menungguku. Rumah kami memang berlawanan arah, dia tinggal di apartemen pusat kota.

"Amel...?!"

"--Apasih berisik,"

"Yehhh...ga nanya sama Lo Andri," balas Astri.

"Udah biarin aja," timpaku.

Andri berlalu menuju kelas dengan tawa isengnya, mungkin ia ingin segera merebahkan dirinya di bangku paling belakang.

"Mel, ini bener Pak Ruslan nyuruh kita masuk jam segini?"

"Iya, gue udah share screenshot-nya kan di grup kelas?"

"Gue bingung aja, ga biasanya Pak Ruslan..."

"Tri...Tri..." Aku menepak bahunya, mengisyaratkan Astri untuk menoleh ke arah gedung. Kami terpaku ke arah jendela lantai dua yang terbuka tepat kala Pak Ruslan melihat kami di halaman kampus. Aura Pak Ruslan memaksa kami untuk segera bergegas, terlebih diriku takut jika suara Astri terdengar beliau. Dari bawah kulihat jika semua ruangan terlihat gelap dan hanya kelas kami yang benderang. Itupun dengan cahaya satu lampu. Wajar saja wajah Pak Ruslan tak terlihat jelas karena membelakangi cahaya.

Kami mempercepat langkah. Aku curiga ia akan memarahi kami karena berleha-leha di luar. Pak Ruslan mempunyai watak keras, berkali-kali ia mamarahi seisi kelas karena tidak mengikuti pembelajaran sesuai standarnya.

"Busyet serem bener Pak Ruslan," bisik Astri.

"Udah jangan banyak bicara, cepetan," teman-teman lain yang masih tersebar di halaman menyusul langkah kami. Kami menaiki tangga. Lorong tangga terasa pengap karena cahaya yang terpancar berasal dari lampu bohlam 10 watt. Kuno sekali pikirku.

Sampai di lantai dua, tak ada siapapun selain kelas kami yang terletak di sisi gedung. Cahaya dari pintu kelas itu memantul ke seisi koridor. Kami tak memperdulikannya, derup langkah teman-temanku menghentak heningnya kampus.

Di kelas, Andri dan sebagian lainnya menunggu. Segalanya terlihat baik-baik saja. Kami duduk di masing-masing bangku yang sudah tersusun rapih. Ruangan ini sedikit terasa gerah, mungkin saja karena kami tergesa-gesa tercampur letih khas sore hari.

Pak Ruslan masih menatap ke luar jendela. Entah apa yang dilihatnya. Apakah masih menunggu orang-orang? Sesaat aku menengok di sekeliling. Aku memastikan jika semua orang sudah masuk ke dalam kelas. Mungkin ada satu-dua yang izin karena ada keperluan. Tapi aku yakin jika semua orang sudah duduk di bangkunya masing-masing. Tentu dengan perlengkapan yang siap sedia.

Satu menit.

Hening.

Tiga menit.

Sunyi.

Enam menit.

Ia masih terpaku menatap ke luar jendela.

Tujuh menit.

Teman-temanku terheran-heran, namun tak ingin mengusik Pak Ruslan. Tak boleh ada yang bicara sedikitpun atau ia akan dikeluarkan dari kelas.

Sembilan menit.

Astri menguap di sampingku. Ia dengan cepat menutup mulutnya.

Dua belas menit.

Tak ada gerakan apapun dari Pak Ruslan. Hanya suara jam dinding yang mengisi kesunyian kelas.

Lima belas menit.

Kumandang adzan menggema. Sekarang tepat di jam tujuh malam.

Kami mulai gusar, sebenarnya Pak Ruslan menunggu apa?

"Psst...psst...Mel...Mel..." Andri berbisik dari kejauhan. Aku tahu maksudnya, namun aku hanya menggeleng kepala tak menahu apa yang Pak Ruslan tunggu.

"Uhk..." Pak Ruslan berbalik, wajahnya datar. Ia mengambil spidol di meja lalu menulis di papan putih.

"Akhirnya..." Kami semua membuka buku catatan, beberapa membuka modul pembelajaran.

"Fuhhh...Lama sekali," aku menggesut keringat. Entah kenapa kipas angin yang menggantung tak berputar.

Lampu yang remang, modul pelajaran sederhana, sampai kipas yang mati. Kampus ini benar-benar menghemat pengeluaran. Maklum saja ini kampus swasta, gedung yang kami gunakan sekarang-pun belum ada renovasi dari pihak kampus. Padahal kelas kami sudah berlumut, catnya sedikit mengelupas. Terlebih sekarang sudah beranjak malam. Suasana kian pekat, terasa seperti duduk di museum tua.

Jam dinding berdetak lambat, suntuk sekali rasanya. Sampai-sampai diriku menguap. Sempat aku menutup mulut karena hembusan nafasku sedikit kencang. Astri sesaat melihatku dengan senyum mengejek.

Pak Ruslan berdiri tegap membelakangi kami, ia menjabarkan sesuatu di papan tulis. Namun keadaanku benar-benar kacau dan sangat sulit berkonsentrasi. Mataku mulai berair, pening dan lunglai.

"Hachuuu...!!!" Andri bersin, membuat seisi kelas terkejut melirik ke arahnya.

"Aduh...maaf guys," Andri menyungging malu.

Aneh, saat orang-orang terkejut. Pak Ruslan masih tegap di depan kami. Tak berkutik sedikitpun. Ia hanya menulis dan menulis. Aneh sekali, seharusnya ia menegur Andri. Tak seperti Pak Ruslan yang biasanya.

Tiba-tiba handphone-ku bergetar di bangku. Suaranya nyaring. Secepatnya aku tutup, takut membuat kegaduhan. Sesaat kemudian ada chat yang masuk dari seseorang.

"Aduh siapa sih?" Pikirku seraya membuka chat dalam gawai.

"[Amel, ini Pak Ruslan. Kenapa menolak telpon dari saya?! Tak sopan. Bapak cuma mau bilang jika kelas sore ini dibatalkan, tolong infokan ke teman-temanmu yang lain,]"

Apa maksudnya?

Ada apa ini?

Berkali-kali aku memeriksa kembali chat itu, dan benar! Itu nomor dari Pak Ruslan. Tidak salah lagi! Lalu siapa orang di depan? Aku masih melihatnya menulis dengan tenang.

"Jangan-jangan..."

Sekujur tubuhku gemetar, apa yang harus aku lakukan? Aku bertanggung jawab atas kelas ini, akulah yang harus memberitahu mereka semua. Tanpa pikir panjang, aku screenshot chat dari Pak Ruslan kemudian mengirimnya ke grup kelas.

"[Teman-teman ia tak nyata...]" Seketika semua orang di kelasku memeriksa gawainya.

"[Apa maksudnya mel?]"

"[Iya gimana aku ga ngerti,]"

"[Bener, itu liat aja chat dari Pak Ruslan,]"

"[Gimana dong, kita harus gimana?]"

"[Kalian harus keluar satu persatu,]" Aku yakin semua orang sedang panik.

"[Kita harus gimana?]"

"[Mel gua takut ihhh,]"

Mereka bersahutan tak jelas.

"[Diam semuanya dan dengarkan Amel,]" pungkas Andri dalam grup. Kumenoleh pada orang-orang, benar saja mereka memang terlihat panik dan cemas.

"[Sekali lagi, kalian harus keluar satu persatu sesuai tempat duduk kalian, ingat jangan sampai gaduh!]"

"[Iya Mel,]"

"[Mel gua masih takut,]"

"[Oke Mel,]"

"[Ayo keluar satu-satu,]"

Orang-orang mulai membereskan peralatan mereka, memasukannya dalam tas lalu berdiri perlahan-lahan. Tatapan mereka ingin segera beranjak. Aku harap suara decitan dari bangku-bangku kelas tak membuat gusar 'orang itu'.

Orang yang seharusnya hanya dalam mitos dan dongeng belaka.

Adit, temanku paling depan memulai langkah menuju pintu yang terbuka, sesaat ia melirik pada kami kemudian pergi dari kelas. Ardian, Ratna dan Risa menyusul bersamaan, pun halnya yang lain. Kami mengabsen kelas dalam hening.

Aku lihat sosok itu tak berkutik, ia masih konsen dengan menulis walau sebenarnya aku pun yak menahu apa yang ia bahas.

Satu persatu teman-temanku mulai mengosongkan ruangan.

Aku, Astri dan Andri duduk paling belakang. Bersama yang lain, Astri berhasil melalui pintu sedangkan aku masih mengekor pada Andri yang memang terlihat panik. Aku merasa cemas tak tertahan, namun aku harus bertanggung jawab karena membawa mereka ke dalam situasi ini.

Sesaat menuju pintu keluar, aku melirik ke belakang. Aku penasaran apa dia menyadari kepergian kami atau tidak.

Kelas memang berhasil dikosongkan dan dia masih...

"...Amelia ya? Kamu sudah tahu dari awal?"

Aku melihat wajahnya yang pucat, aku segera beranjak ke luar. Menancap gas sekencang mungkin.

"Deg...Deg...Deg!" Jantungku berdetak kencang bersama langkah kaki yang sedikit demi sedikit lemas karena panik dan rasa takut.

Tunggu dulu, kemana semua orang? Andri Astri seperti menghilang begitu saja.

"...Amel..."

Suara itu?!

"...Amellll..."

Di ruas koridor lantai dua, aku berlari hingga sampai muka tangga menuju lantai bawah. Penerangan yang minim tak menyurutkan langkahku untuk segera berlari secepat mungkin. Menjauh dari orang itu.

"Wajahnya menakutkan..." Perlahan aku meneteskan air mata, aku takut, aku takut, aku tak ingin terjebak di sini!

Srettt...! Gubrak...brak...! Sakit sekali! Ketakutan membuatku terpeleset dari anak tangga. Di lantai bawah, sebisa mungkin aku menyeret badan untuk segera bangkit walau pinggulku terasa sakit.

Dimana semua orang?

"Tolong..." Ucapku pelan.

"...Hehehe..."

Aku berhasil berdiri dengan memegang pinggangku yang masih terasa sakit, aku yakin jika ia masih di lantai dua. Segera aku melangkah menjauhi gedung kampus.

Tak ingin melihat ke belakang, tak ingin!

Dari halaman kampus, diriku berlari dengan tenaga seadanya. Suasana terasa sepi ditambah gedung-gedung yang gelap gulita. Hingga sampai di persimpangan jalan di dekat rel ada kereta yang hendak melintas.

"Totttttt...!" Semboyan Kereta melolong malam.

"...Amel..." Aku bisa mendengarnya masih memanggilku

Tak mungkin, apa ini khayalanku saja? Apa ini mimpi? Apa ini sekedar ketakutanku?

Drup-drup...! Seperti ada sesuatu yang mengejarku dari belakang.

"Aku harus sampai di sana, sedikit lagi..."

Kereta hendak melintas, aku tak ingin terjebak dengan orang di belakangku!

"Sedikit lagi..."

"Totttttt....!

Aku berlari, berlari, terus berlari hingga melintasi rel kemudian dengan sekejap mata suasana kembali terang. Kereta melintas dengan kencang.

"Mel..."

"Amel..."

Bruk!

"Mel lu ga apa?"

"Andri..."

Mataku trauma, lelah lalu gelap. Ternyata teman-temanku menungguku.

***


"Gua gak nyangka kita melalui ini semua,"

"Apakah ini mimpi?"

"Kayanya itu hanya orang iseng deh,"

"Iya kayanya itu orang iseng yang menyamar menjadi Pak Ruslan,"

Aku membuka mata, ini seperti kosanku. Terlihat semua orang berkumpul untuk memastikan keadaanku baik-baik saja.

"Hey Amel bangun,"

"Amell..." Astri memelukku kemudian mengangkat gelas dengan air panas di samping kasur, "Ayo minum dulu Amel,"

"Ada apa ini? Aku...tak ingat," seketika ingatanku kembali lalu menangis sejadinya.

"Mel..."

"Kalian...ninggalin aku,"

"Mel, kita ga ninggalin lu, justru kita nunggu bermenit-menit di halaman kampus,"

"Serius?"

Pandangan mereka seolah heran padaku.

"Di kampus tadi, aku...ah sudahlah aku tak ingin mengingatnya,"

"Mel, katanya..."

"Engga! Ga perlu cerita,"

Mereka semua memang peduli padaku, bahkan sampai malam tiba kami masih asyik membicarakan hal tadi. Seolah itu adalah candaan semata. Astri memelukku semalaman dan menjelaskan tentang dirinya yang mencari diriku di kampus namun diriku seperti 'tertelan' hilang dalam gelap. Kata teman-temanku yang lain ini seperti mimpi.

Namun buatku semua hal itu terasa nyata.

Wajahnya, ya wajahnya aku masih ingat.

Wajah yang mengaku Pak Ruslan itu seperti tertabrak hantaman yang keras, hancur sejadi-jadinya dengan mata yang keluar, gigi yang berantakan serta hidung yang tak berbentuk.

Darah mengalir dari wajahnya.

Seperti mimpi, atau mungkin aku mempercayai mitos itu? Mitos tentang sosok arwah yang gentayangan di kampus kami sejak masa lampau. Sebuah mitos yang mengatakan jika sosok itu adalah dosen yang depresi karena terlikit hutang, lalu ia bunuh diri dengan menabrakkan dirinya sendiri di lintasan kereta.

Jujur, aku hanya ingin segera lulus dan pergi meninggalkan tempat terkutuk ini
 dan segala fenomena supranatural yang ada di dalamnya.

THE END


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 30-08-2023 19:07
mrboy.idAvatar border
fajrie.1809Avatar border
n.citraAvatar border
n.citra dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1.5K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan