Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Panas! | Based on True Horror Story [Kompetisi KGPT]
Quote:




"Bu! Bu! Bangun Bu!" Senyap dalam lelap aku mendengar suamiku berteriak.

"Bu bangun! Bawa anak kita segera, kita dalam bahaya!" Berkali-kali tangannya memaksaku terbangun.

Ada apa ini?

Walau kepala masih terasa berat seketika tubuhku terperanjat karena di kamar ini sudah terisi asap pekat. Tidak ada cahaya sedikitpun, yang ku tahu nafasku sesaat tersedak asap yang membuat rasa kantuk tadi seketika hilang. Aku terbatuk-batuk dengan suhu kamar yang mulai memanas. Cemas dan panik, pikiranku tertuju pada anakku yang masih tertidur.

"Kebakaran! Kebakaran! Treng...treng...!"

Samar ku dengar orang bersahutan di depan rumah kami dengan derup langkah berlarian seolah ada bahaya yang kian mendekat. Lonceng ronda berdenting silih berganti dengan teriakan orang di luar sana.

"Uhuk, uhuk, Mas ada apa?!"

"Itu Bu, Gudang Pabrik di sebelah rumah kita kebakaran, orang-orang berlarian kesana," dengan sigap Suamiku membawa mantel, menyadarkanku untuk segera beranjak keluar.

"Pake selimut ini, bawa anak kita, angin jam satu malam lagi kencang Bu," Adit terpogoh mengangkat bahuku yang masih lemas.

Kulihat cahaya merah jingga menembus di antara atap kamar kami. Tak bisa berpikir banyak, yang ku tahu bahwa kami harus segera keluar dari sini. Setiap rongga rumah kami selalu tersisip kayu-kayu, yang tak lain butuh beberapa menit lagi hingga api mulai menjalar.

"Adit! Jeni! Ayo cepat!" Ibu mertuaku memanggil dari lantai bawah, kami bergegas untuk turun. Anakku masih lelap dalam pangkuan.

"Tuhan aku harap segalanya baik-baik saja,"

Sampai di luar rumah keadaan benar-benar gelap terkecuali kobaran api yang semakin membesar, merah penuh bara. Orang-orang lalu lalang bersama ember-ember berisi air, mereka silih berganti untuk memadamkan api secepatnya agar tak merambat ke rumah lain. Pun halnya suamiku Adit dengan Pak RT turut membantu mengurai selang air di halaman rumah kami untuk menyemprot bagian pagar yang mulai terkelupas api.

Ibu mertua memelukku bersama anak kami yang mulai gusar dengan riuhnya keadaan.

"Sebentar lagi Pemadam Kebakaran bakal dateng," kata Ibu.

Benar saja, truk dengan sirine khas Pemadam dari kejauhan mulai terdengar, warga berinisiatif membuka jalan agar pemadam sampai tanpa hambatan.

Adit dan Pak RT menghampiri kami, "Gudang mainan itu penuh dengan kardus berisi mainan anak-anak, pemiliknya pulang dan mengunci gudang tanpa pengawasan," ucap Pak RT mengusap peluh karena berlarian membantu warga.

"Berarti gara-gara korsleting listrik ya Pak RT?"

"Kayanya gitu sih Pak Adit, ngerembet dari kardus, mainan plastik, sekaligus angin yang gede, gudang langsung terbakar seketika,"

Untung saja ada Pak RT, sosok yang dituakan di kelurahan kami. Ia cekatan walau usianya yang terbilang senja, sesepuh dan warga asli yang senantiasa berjaga malam untuk keamanan kami. Ya kami beruntung. Bila saja tak ada Pak RT dan warga yang siaga, kami mungkin sudah hangus terbakar.

"Tenang aja, Pak Adit dan Bu Jeni tak perlu risau," pungkasnya.

Truk Pemadam-pun sudah bersiaga, petugas berlarian membuka selang dengan ratusan liter air yang siap mematikan api.

"Brush..." Selang air menyembur.

Asap mengepul perlahan di gulita langit, padam perlahan. Warga, Pak RT, Suamiku, Ibu Mertua, lalu aku yang sedang memeluk anakku hanya terpaku memandang api yang diam-diam mulai padam.

Tak ada korban yang tertinggal apalagi sampai meninggal. Syukurlah.

***


Tepat jam lima pagi, bayiku menangis meminta susu. Keadaan masih gelap gulita karena listrik terputus sisa kebakaran semalam. Perlahan kuraba tangan Adit yang masih tertidur sambil mengusap kepala anakku.

Kamar ini masih terasa pengap dengan aroma hangus yang tercium pekat.

Samar-samar di samping ranjang kami, aku seperti merasakan kehadiran seseorang. Siapa itu? Keadaan yang gelap ditambah kantuk yang berat membuatku tak bisa melihatnya jelas. Aku hanya mampu melihat bagian kaki dengan kulit kecoklatan, ia memakai jeans pendek.

Segera kurogoh handphone-ku di samping ranjang kemudian menyalakan senternya, ruangan seketika terang namun keberadaan sosok itu hanya perasaanku saja, ia tiba-tiba hilang. Aku matikan senter lalu menepuk-nepuk tubuh bayiku, mungkin aku masih mengantuk karena kurang tidur. Belum lagi nanti pagi harus berangkat kerja.

Walau merasa tak nyaman, mataku kembali tertidur.

***


Sanubari menembus kaca jendela kamar, perlahan kudengar di luar sana pemotor dan orang-orang yang mulai beraktiftas. Sesaat aku melirik bayiku yang masih nyenyak kemudian teringat jika rutinitasku di hari ini lumayan padat.

Aku beranjak walau masih duduk di atas ranjang, berusaha meregangkan otot dengan badan yang masih terasa pegal. Tentu masih dengan pikiran yang terasa linglung sisa semalam.

Adit sudah tak ada di sampingku, mungkin ia sedang merokok di teras dengan kopi pagi hari.

Kubuka gorden kamar dan menggeser jendela, seketika udara segar menyeruak masuk ke kamar. Rasanya tentram, aroma pengap perlahan hilang. Di bawah sana anak-anak sekolah, pedagang sayur, ibu-ibu, serta bapak-bapak silih berganti melirik sisa kebakaran semalam.

Kugendong bayiku dalam pelukan lalu beranjak ke bawah, mandi untuk berangkat kerja. Ada meetingmenantiku pagi ini.

Tepat di depan pintu kamar tidur kami merupakan ruang menjahit. Suamiku bekerja di rumah, ia menjahit barang garmen dan mendistribusikannya ke toko-toko. Di ruangan itu ia bekerja semalam suntuk bersama para pegawainya. Untuk itulah ia bisa bersantai-santai dulu saat pagi hari sambil menunggu para pegawai datang.

Pintu di ruangan itu sedikit terbuka, terlihat ada orang yang lalu lalang dari dalam. Namun sepertinya suamiku sedang mandi di lantai bawah. Ia memakai jeans pendek dengan kaos hitam, melangkah di antara tumpukan barang, aku tak bisa melihat dengan jelas karena minimnya cahaya. Suamiku menjadikan ruang menjahit sekaligus gudang untuk menumpuk barang jadi.

Saat menuruni tangga aku bisa lihat Ibu Mertuaku memasak, ia tersenyum melihat cucunya dalam pangkuan. Seperti rutinitas kami setiap hari, Ibu menjaga anakku sedangkan aku berangkat kerja, sedangkan suamiku menjahit di lantai atas.

Tepat di muka tangga ada pintu menuju garasi.

Dan...itu...terkunci.

Ya masih terkunci! Artinya para pegawai masih belum datang, mereka biasa membawa mobil Pick-Up untuk membawa barang jahitan suamiku.

Jadi, siapakah orang di lantai atas?

"Bu, pegang Azmil ya,"

"Loh ada apa kaya yang panik gitu?"

"Titip dulu," aku beranjak sambil membawa sapu dengan tatapan mertuaku yang masih terheran. Aku menaiki tangga dengan perasaan was-was, mungkinkah ada maling sepagi ini?

Pintu terdobrak lebar, pengap rasanya berada di ruangan penuh tumpukan garmen dan benang kusut yang tersempil di tiap penjuru.

Tidak ada orang.

Beberapa kali aku cek di setiap sudut, mengangkat kain-kain yang berserak. Mungkin saja ada yang bersembunyi, namun nihil, orang itu tak ada seolah hilang tanpa jejak!

Ibu mertuaku datang di muka pintu dengan menggendong anakku yang sempat menangis, di belakangnya Mas Adit datang menghampiriku terheran.

"Jeni sayang, kamu baik aja kan?"

"Ibu sampe kaget, memang ada apa sih? Ini anakmu sampai terbangun," Ibu menimang anakku yang bergeliat.

Aku raih anakku kemudian menyusuinya lalu menceritakan apa yang terjadi pada mereka. Adit berkilah jika ia membuka gudang untuk mengambil rokoknya lalu pergi  ke bawah untuk mandi.

Janggal, lalu siapa sosok itu? Aku teringat jika sosok itu hampir sama persis dengan ingatanku di jam lima pagi tadi. Pemuda yang mengenakan celana pendek dengan kaos hitam. Entahlah. Kami menuruni anak tangga dengan memandang ke langit-langit rumah.

Gamang. Di pagi itu aku ta menahu apa yang sebenarnya terjadi.

***


Jalanan Jakarta terasa ramai, berkali-kali mobilku tersendat dan terhimpit padatnya jalan raya. Panas kian memanggang kepalaku di atas jok mobil.

Rapat tadi pagi berjalan lancar, namun ingatanku masih terasa cemas, kalut berlebihan. Sebelum berangkat ke kantor, Mas Adit dan Ibu sempat menenangkanku agar tak perlu risau dan akan selalu siaga menjaga anakku.

Tetap saja, pikiranku semakin kalut. Seolah ada 'sesuatu' yang menghantuiku sepanjang jalan.

Setelah jam demi jam melalui kemacetan, aku sampai di jalan kecil menuju rumahku. Sore hari ini orang-orang masih sibuk akan aktifitasnya. Ada gerobak bakso yang menjajakan dagangannya, Ibu-ibu yang bergosip sambil menuntun anaknya bermain, lalu warung-warung di setiap meter kelurahan--dengan orang-orang yang bermain catur di depan terasnya.

Aku tahu jika orang-orang masih membicarakan tentang kebakaran yang menimpa gudang mainan tadi malam. Beberapa kali orang menunjuk ke arah tempat kebakaran itu terjadi.

Dari kejauhan aku bisa melihat banyak orang berkerumun di depan rumahku. Mas Adit, para pegawai, hingga tetanggaku terlihat ricuh sekali. Mobilku menepi di depan garasi, membuka pintu lalu menuju ke arah mereka.

"Mas, ada apa?!" Ucapku menepuk pundak Adit.

"Jen? Udah pulang? Ini Bu Rokayah tetangga depan rumah kita tetiba kejang, teriak-teriak gitu,"

"Serius mas?"

"Beneran,"

Aku menyela kerumunan di depan, benar saja Bu Rokayah terkulai seolah tak berdaya mengendalikan tubuhnya sendiri. Ia meracau dengan mata terangkat ke atas menyisakan bagian putihnya saja, uratnya mengencang di sekujur tubuh.

"PANAS! PANAS! TOLONG PANAS!"

Suaranya serak, seperti bukan dirinya yang biasa menyapaku dengan lembut. Jujur, aku tak percaya dengan pandanganku saat ini.

"Panggil Pak RT!"

"Pak RT katanya lagi sholat dulu,"

Warga memegang tangan Bu Rokayah di kiri dan kanan, anak-anaknya menangis melihat ibunya kejang-kejang tak jelas.

"Nah itu Pak RT dateng, pegangin yang kuat, Bu Rokayah sempat ngamuk barusan,"

Pak RT menembus kerumunan dengan tatapan kaget.

"Ah Pak RT tolong saya...tolong...keluarkan ini, saya sudah tak tahan,"

Nafas Bu Rokayah tersenggal-senggal, seperti tersiksa dari dalam.

Pak RT bersimpuh di hadapan Bu Rokayah sambil memegang keningnya, mulutnya seperti membacakan sesuatu walau suaranya terdengar samar.

"Uhuk...!" Urat-urat yang mengencang tetiba kendur, matanya bercucuran air mata, Bu Rokayah tergeletak lemas tak karuan.

Sungguh, pertama kali aku melihat kejadian seperti ini.

Ibu-ibu yang lain berinisiatif membawa teh manis panas untuk Bu Rokayah, aku ikut berjongkok sambil mengelus-elus punggungnya. Pak RT mengucap basmallah yang ditiupkan ke tepi gelas, kemudian mengangkatnya ke mulut Bu Rokayah.

"Glek...glek..." Walau terlihat lemas, Bu Rokayah meminum air seolah tubuhnya teramat gerah dan kehausan.

"Bu, bisa bicara sekarang? Bisa diceritakan apa yang barusan terjadi?"

"Aduh...Jadi tadi...Pak RT, saya tak tau, yang saya inget itu tadi menyapu depan teras, lalu tetiba ada sosok Pemuda berdiri menghadap saya, seketika itu pula saya tak ingat apapun, jatuh dan gelap," warga saling berbisik dan memperhatikan penjelasan Bu Rokayah.

"Bisa Ibu jelaskan bagaimana rupa Pemuda itu?"

"Samar Pak, yang saya inget sih dia pake celana pendek dan kaos hitam,"

Aku menutup mukut seolah tak percaya dengan perkataan Bu Rokayah. Keringat dingin mulai tercucur.

"...Ya sudah, Ibu-ibu bisa tolong bawa Bu Rokayah masuk ke dalam agar lebih tenang, untuk Bapak-bapak mari ikut saya," para warga mengangguk mendengar intruksi Pak RT.

Perlahan aku mengangkat tubuh Bu Rokayah, tubuhnya masih lunglai lemas. Di teras rumahnya kami semua melihat Pak RT yang diikuti warga menuju puing-puing sisa kebakaran di samping rumah kami. Mas Adit dan para pegawai berinisiatif memakai sarung tangan. Di garasi rumah kami, Ibu mertuaku menggendong anakku yang tertidur dalam pangkuannya. Aku melambai sambil memberi syarat agar tak mendekat, sungguh aku tak ingin sesuatu terjadi pada mereka.

Gudang mainan itu terlihat habis termakan api, puing-puing hitam berterbaran sana sini dan hanya menyisakan bilah-bilah kayu yang tertancap. Hangus bergerigi hitam. Menurut penuturan Ibu-ibu, pemiliknya sedang mengurus asuransi di luar kota dan menyerahkan sisa-sisa kebakaran ke petugas berwenang.

"Pak RT! Pak RT!" seorang warga menemukan sesuatu di ujung gudang itu.

Kulihat Mas Adit dan yang lain terpaku dengan mulut terganga. Ada apa?

"Astagfirullah,"

"Inalillahi..."

Warga bersahutan, disusul yang lainnya menuju ujung ruangan di bangunan itu.

***


Di petang menuju malam, Ambulan dan Kepolisian menepi di depan garasi rumah kami. Pak RT, Mas Adit serta warga yang lain memberikan kesaksian dengan temuan mereka. Mayat dengan identifikasi pemuda berusia belasan tahun, terduga menjadi korban satu-satunya di lokasi kebakaran.

Polisi memberi keterangan pada warga sekitar, "Sudah jelas ya, ternyata dia karyawan di gudang mainan yang lari dari rumahnya karena sedang patah hati ditinggal kekasih, pacarnya yang merasa bersalah lalu memberitahu keluarga jika korban berada di gudang karena ingin sendirian,"

Untuk beberapa hal, ternyata kematian disebabkan oleh alasan yang sepele namun sangat  berakibat fatal.

Betul, nyawa.

Di muka teras rumah, aku bisa melihat mayat pemuda itu diangkat dengan ciri-ciri yang sama persis yang dijelaskan Bu Rokayah tadi sore. Sama pesis pula dengan ingatanku akan sosok itu. Pemuda, Kaos Hitam, Jeans Pendek. Tentu dengan rupa tak jelas dengan pakaian yang setengah hangus.

Kebakaran adalah bencana mengerikan yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Terpanggang perlahan.

Mungkin dia berusaha memberitahu orang jika dia tertinggal dalam kobaran api yang teramat panas. Menyayat hati, dia terbakar hidup-hidup dalam gelap, hangus dalam kesunyian.


THE END


Spoiler for image & lore source:
Diubah oleh bukhorigan 21-08-2023 13:06
eynymawar675644Avatar border
n.citraAvatar border
al.galauwiAvatar border
al.galauwi dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1.5K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan