Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Buah Jakarta untuk Ibu | Inspired on True Story [Kompetisi KGPT]
Quote:




Orang-orang berlarian ke segala arah mencari tempat berteduh tatkala hujan turun dengan tiba-tiba. Mereka membentuk koloni-koloni di bawah jembatan penyebrangan, perkantoran, dan emperan toko. Aku terselip di antara para karyawan, di bawah atap sebuah halte. Hujan begitu deras bak air bah ditumpahkan dari langit.

Kami berdesak-desakan mencari tempat di bagian tengah agar terlindung dari tampias dan rasa dingin yang mulai menjalari seluruh tubuh sampai tulang sumsum. Kupeluk barang danganganku seerat mungkin agar tidak basah terkena air hujan yang menyembur tak menentu, terkadang datang dari samping atau belakang, sesuai arah tiupan angin.

Serentak orang-orang di baris depan menjerit sambil meloncat ke belakang ketika sebuah taksi meluncur dengan kecepatan tinggi, sehingga menyemburkan air dari roda kendaraan itu.

"Dasar taksi gendeng!" Maki seorang perempuan yang pakaiannya basah tersiram air.

"Sialan lu...!" Teriak seorang bapak sambil menepis-nepis air di kemejanya yang menjadi kotor.

Satu setengah jam sudah berlalu, namun hujan belum menampakan tanda-tanda akan berhenti. Tambah deras malah. Satu demi satu orang-orang di halte untuk memaksakan diri untuk pergi dengan menggunakan bus kota yang lewat atau taksi online. Bahkan orang yang tempat kerjanya tidak terlalu jauh, mereka hanya berjalan kaki dengan memanfaatkan jasa anak-anak sebayaku menyewakan payung. Anak-anak itu tampak riang gembira bila turun hujan sambil berebut calon pemakai jasa payung yang merelakan diri berbasah kuyup di bawah siraman air hujan yang dingin.

Di zaman sekarang, orang-orang seperti acuh tak acuh atas keberadaan anak-anak itu. Katanya ojek Payung sudah ketinggalan zaman. Namun untuk beberapa anak yang putus sekolah menjajakan payung di musim penghujan adalah hal yang lumrah. Tidak perlu bakat, mereka hanya perlu berdoa menadah tangan ke langit agar segera mendung lalu menurunkan hujan. Barangkali, rasa dingin yang kurasakan sekarang adalah rasa suka cita bagi mereka.

Di sudut halte tinggal ada seorang bapak dengan tangan bersedekap kedinginan.

"Jam berapa, Pak?" Aku membuyarkan lamunannya.

"Oh, jam tiga lebih seperempat Dek," jawabnya agak terperangah.

Mati aku! Sudah jam tiga lebih. Aku seperti mendengar suara halilintar di siang bolong. Betapa tidak, sudah sesore ini masker-masker jajakanku, belum laku satu buah pun. Bagaimana aku dapat memenuhi permintaan Ibuku untuk membelikan buah durian, sedang barang daganganku masih berjejer banyak di genggaman.

Waktu itu aku baru selesai sholat Subuh ketika ibuku mencurahkan hatinya untuk dibelikan buah durian.

"Topan, ibu sudah lama sekali tidak mencicipi buah durian, ingin sekali rasanya memakan buah itu," pintanya memelas dengan suara yang nyaris tidak keluar dari kerongkongannya. Ibu adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa, tempatku untuk pulang ke tempat terhangat. Sejak tiga tahun yang lalu Ibu terkena virus yang sering banyak orang bicarakan, entah apa namanya. Sejak saat itu kondisi Ibu semakin turun, ia menjadi sangat kurus, lemah, wajahnya selalu pucat setiap saat. Akhir-akhir ini penyakitnya semakin parah. Sering ia menggigau sendiri, bahkan kadang batuk-batuk sehingga nafasnya hampir terhenti.

Dulu saat sehat, Ibu adalah seorang buruh cuci dengan pemberian upah yang tak seberapa. Terkadang Ibu tidak mendapatkan upah tambahan ketika diberikan pekerjaan tambahan oleh majikannya. Selain itu, Ibu tidak hanya diminta untuk mencuci dan setrika pakaian, tetapi juga melakukan pekerjaan lain seperti mencuci piring, menyapu, dan memasak. Parahnya ada tetangga kami yang memberikan upah tanpa memperhitungkan jumlah anggota keluarga majikan.

Ibu kerapkali kelelahan jika harus mengambil pekerjaan dari majikan yang di rumahnya terdapat anak, menantu, dan cucu. Ibu harus mencuci pakaian belasan orang di rumah tersebut. Belum lagi jika ada kesalahan mencuci atau menyetrika, ia berkali-kali sering disentak oleh mereka. Hatiku teriris, saat Ibu pulang dengan tangisan. Jakarta tak pernah ramah untuk kami.

Harus! Aku harus memenuhi permintaan Ibu, apapun itu.

Mbak Ratih tidak percaya mendengar apa yang diminta Ibu, dan lebih tidak percaya lagi kalau aku dapat mengabulkan permintaan Ibuku. Ia tetangga kami yang senantiasa menjaga Ibu kala aku tak di rumah. Ia memang baik, namun berpikir realistis dengan apa yang diminta Ibu.

Tapi memang, bila kejadiannya seperti ini mana mungkin aku dapat membelikan buah pesanannya itu. Hancurlah kredibilitasku di mata orang yang paling kusayangi. Selama ini aku selalu memegang teguh apa yang kujanjikan kepadanya.

Di tepi jalan berjejer pohon-pohon flamboyan, bak segerombolan raksasa yang kedinginan. Andai saja pohon-pohon itu adalah pohon durian, tentu akan kupetik sekeranjang buahnya dan kupersembahkan untuk Ibuku.

Bapak di sudut halte itu masih tak beranjak dari tempat berdirinya, malah tampak asyik dengan sebatang kretek di bibirnya. Asap mengepul hampir menutupi seluruh wajahnya. Barangkali bapak itu sedang melamunkan seandainya butiran-butiran air hujan adalah bongkahan berlian atau mungkin juga seandainya pohon-pohon flamboyan itu adalah pohon durian seperti lamunanku juga. Entahlah.

Durian, ya durian. Aku hampir melupakan nama buah itu, apalagi kelezatannya. Mungkin rasanya seperti pisang goreng yang biasa dijual Mbak Ratih atau juga seperti kue balok Mas Darto langgananku. Ah!

Buah legendaris yang tumbuh di Jakarta. Tak heran jika di Jakarta ada kelurahan Duren Sawit, Duren Tiga, bahkan di luar Jakarta ada Duren Jaya di Bekasi sana. Atau mungkin aku pindah saja ke Depok, di sana ada Duren Mekar dan Duren Seribu. Apapun judulnya, buah ini tumbuh lebat di tanah Sunda Kelapa. Kata orang buah ini jadi primadona bagi penjajah saat nama Jakarta masih Batavia dulu.

Pernah beberapa tahun yang lalu ketika Ayahku masih ada, beliau membawa buah durian sepulang dari kuli hariannya. Itu pun hasil pemberian mandornya. Namun sayang, aku sudah lupa rasanya. Kini Ibuku meminta buah itu, entah aku dapat mengabulkan permintaanya atau tidak. Ibu mungkin teramat rindu dengan Ayah. Kekhawatiran mulai merasuk relung-relung hati. Aku panjatkan doa pada Tuhan, mohon diberikan rezeki pada sore ini untuk membeli buah durian.

Belum pernah aku merasakan kekhawatiran dan ketakutan seperti ini, mengingat matahari sudah bersiap untuk pergi, dan barang daganganku masih menggantung lebat di tangan. Keringat bercucuran di keningku meski sesungguhnya suasana terasa dingin.

Dari kejauhan tampak Komar berlari-lari kecil menuju ke arahku sambil membungkuk melindungi sound-systemdi genggamannya. Bak seorang ibu yang melindungi bayi kesayangannya.

"Bagaimana Topan, ada yang laku ga?" Tanya sahabatku itu saat mendekat.

"Lihat saja, belum laku satu biji pun," jawabku singkat. Ia hanya tersenyum pahit. Rupanya kondisi komar tak jauh beda denganku.

Sahabatku Komar adalah pengamen jalanan. Badannya kekar karena terlatih selalu membawa speaker sebesar kardus mie instant yang beberapa kali diservis. Kotak pengeras musik itu beberapa kali jatuh di genggaman komar, terlihat sudah penyok dan lecet-lecet. Walau suaranya tidak sebagus Ariel atau tak selantang Iwan Fals, Komar selalu berhasil meraup pundi rupiah yang selalu ia masukan ke toples bekas sosis kemasan.

"Mar...kamu punya uang kaga?" Tanyaku tanpa sungkan.

"Buat apa, Pan?" Dia balik bertanya.

Aku ceritakan permasalahanku pada temanku yang sudah seperti saudara ini, bahkan ia sering menginap di rumahku. Beruntung, dia meminjamkannya kendari dengan bahasa, "Tidak usah pinjam lah, anggap saja sebagai rasa terimakasih buat Mpok Rodiah selalu memasak sarapan pagi kala aku menginap hehe,"

Kupejamkan mata dengan hati mengucap syukur. Dia telah mengutus seorang 'malaikat penolong' bertubuh gempal, Komar.

Akhirnya sore itu matahari terbenam. Bekas sinarnya semburat memerah di ufuk barat membuat bayang-bayang gedung. Pohon melekat di atas jalan yang basah. Bunga flamboyan yang berguguran tertiup angin menerpa rambutku, seakan sengaja menaburiku untuk merayakan atas kemenanganku ini. Sebuah durian sudah berayun-ayun di tangan untuk membuktikan rasa baktiku pada Ibu. Pintu syurgaku kelak.

Aku tak dapat membayangkan perasaanku manakala menyaksikan jari-jemari kurus itu dengan gemetar menjamah daging buah durian dan melahap penuh nikmat. Sementara kulihat senyum yang tersungging penuh kepuasaan. Walau aku tahu kantung matanya lemas menghitam, kerutan di wajahnya akan terpancar binar penuh senang.

Mungkin di Syurga sana, Ayahku memandang diriku sebagai pahlawan yang mampu menjaga Ibu sepeninggalnya. Pupus sudah ketidakpercayaan Mbak Ratih terhadapku, bahwa tanganku mampu membawakan buah durian untuk Ibu.

Jalan-jalan masih digenangi air, tidak terkecuali gang-gang menuju rumah kontrakanku. Aku berjalan terseok-seok memasuki gang karena air comberan hampir mencapai lutut. Di mulut gang, aku berpapasan dengan ibu-ibu yang mengenakan kerudung dan aku mengenali seorang ibu di antara rombongan itu.

"Ibu Sri habis dari mana?" Aku menyapa Ibu Sri, langganan laundry Ibuku.

"Oh, Nak Topan cepat pulang, Nak!" Jawabnya agak gugup.

Mendengar jawaban Ibu Sri yang kedengarannya ada sedikit nada perintah, hatiku menjadi tidak enak. Ia seperti merahasiakan sesuatu.

Langkah kupercepat, hanya tinggal satu kelokan lagi untuk sampai ke rumahku. Hingga tepat di ujung belokan, "Astagfirullah, ada apa di rumahku?"

Di depan sana banyak orang. Ada Pak Haji Sahroni, Pak Ketua RT dan ah, aku tak mau menebak-nebak apa yang tengah terjadi.

"Ada apa Pak Haji?" Sergapku tak sabar.

"Sabarlah Nak, Ibumu..."

"Kenapa Pak?!"

"...beliau menyusul Ayahmu menuju Tuhan, Ibumu...meninggal," jawabnya terbata sambil merengkuh pundakku.

Mendengar jawaban Pak Haji, jantungku hampir copot. Dunia seakan berhenti berputar. Pandanganku tiba-tiba terasa gelap. Aku tak tahu apa-apa lagi. Yang terakhir kuingat buah durian kebanggaanku terlepas dari tangan hingga tercebur dalam comberan yang hitam dan pekat.

Sepekat dunia di hadapanku.

Kelam.


THE END



Quote:


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 11-08-2023 02:34
lahidirmesa373Avatar border
krian8471070Avatar border
eynymawar675644Avatar border
eynymawar675644 dan 21 lainnya memberi reputasi
22
1.6K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan