Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Di sebrang Sumur | Horror Short Story [Kompetisi KGPT]
Quote:



"Dewi..."

"Dewi..."

"Sini bermain denganku,"

"Aku kesepian,"

"..."

"Dewi..."

"..."

"Tolong kemari,"

Beberapa kali aku memanggil temanku, Dewi namanya. Sahabat terbaik yang aku kenal bahkan sejak kecil. Rumahnya dekat sekali, hanya beberapa langkah dari teras rumahku. Rumah Dewi menghadap ke jalan utama dusun. Sedangkan rumahku di dekat sumur, di belakang rumah Dewi. Hanya semak belukar serta kerikil bebatuan yang memisahkan jarak kami.

Ya, kami sangat dekat.

Hatiku meracau, berharap ia segera mengahampiri ku. Di siang ini, Kami berjanji untuk bermain bersama di belakang rumahnya. Hanya saja batang hidungnya belum nampak. Padahal aku sudah menyiapkan beberapa lembar dedaunan, biji-bijian dari semak, dan potongan bunga kertas di depan rumahku. Aku dan Dewi sering bermain masak-masak seperti halnya Ibu kami.

Siang ini terasa terik, aku tak biasa keluar saat Matahari menyingsing terang di atas ubun-ubun. Kata Ibu kulitku sensitif. Sempat semilir sejuk tertiup dari sela pohon-pohon pisang, namun tetap saja kulitku terasa memar kemerahan. Aku menundukan pandangan, berjongkok di samping sumur.

Entah jam berapa sekarang, aku tidak terlalu mengerti perihal waktu. Bagiku, setiap waktu terasa sama setiap harinya, hampa dan kosong. Terlebih lagi orang tuaku sudah lama pergi entah kemana. Untuk itu aku benar-benar kesepian, mungkin aku hanya ditemani kucing-kucing liar yang sering menghampiriku. Namun setelah bertemu Dewi, aku bisa merasakan kesenangan yang sudah lama tidak aku rasakan, bermain bersama layaknya anak-anak lain.

"Asih..."

"Asih...?" Ah itu dia, akhirnya Dewi datang.

Aku berdiri melambai padanya, ia tersenyum di daun pintu sambil mengangkat alat masak. Dewi berkata jika ia akan membawa panci kecil, toples dan piring dari plastik. Ia tergesa-gesa menghampiriku.

"Hosh hosh, maaf ya Asih tadi pulang sekolah langsung diajak ibu pergi ke pasar,"
"Hihi...tak apa, hayuk main,"

Aku memasukan bunga kertas ke panci yang dibawa Dewi, lalu meletakannya di bebatuan. Kami anggap itu kompor seperti halnya di rumah Dewi. Ia berjongkok dengan tawa senang. Tanganku dengan sigap mengiris dedaunan, mencampurnya dengan biji-bijian. Entah apa yang kami buat. Aku hanya mengikuti apa yang dilakukan Ibu Dewi saat ia memasak di dapur belakang rumahnya.
Orang tuaku jarang memasak, mereka hanya membawa sisa makanan yang dibuang manusia. Terkadang yang ku dapat hanyalah tulang belulang. Jika aku tak mau makan, Ibu ku kerap kali merambat rerumputan di depan sumur. Entah apa namanya, setidaknya hal itu membuat ku dapat menahan lapar sejenak.

Dulu, halaman depan rumahku penuh dengan belukar. Tapi semenjak kedatangan keluarga Dewi, ayahnya membabat rumput-rumput itu. Kemudian menanam banyak pohon pisang. Aku tak terlalu suka buahnya. Terlebih, itu milik mereka bukan. Orang tuaku tidak terlalu suka dengan kehadiran mereka. Rumah keluarga Dewi menghalangi pemandangan, katanya. Ayah dan Ibu Dewi-pun terlihat sama, terkesan menjauh atas keberadaan kami. Namun, semua hal itu tak menjauhkan kedekatan aku dengan Dewi.

"Asih ini udah jadi," ucap Dewi.
"Wow, apa ya namanya?"
"Bagaimana jika dinamai sayur Wisih?
"Hah Wisih?" Tanyaku heran.
"Iya Dewi Asih,"
"Iya juga yaa," timpaku tertawa.

Keberadaannya sangat berarti bagiku. Aku menyayanginya.

"Dewi kamu berjanji kan untuk terus bermain bersamaku?" Tanyaku dengan nada sedih.
"Tentu saja," ucapnya memegang tanganku.

Aku sedih, jika suatu saat Dewi beranjak dewasa, ia akan pergi bersama kehidupannya. Di dusun ini banyak anak yang tidak tahu keberadaanku. Mungkin di antara mereka, hanya Dewi yang mengerti diriku.

"Dewi...?" Terdengar lengkingan dari Dapur rumahnya.
"Ah, itu Bunda," ucap Dewi berdiri.

Ibunya mengahampiri kami, terlihat wajahnya yang ketus. Aku sedikit ketakutan dengan mimik wajahnya. Seperti membara amarah.

"Kamu ini bandel, ibu sudah bilang jangan bermain dekat sumur,"
"Ta...tapi aku...hanya ingin main," ucapnya berkaca-kaca.
"Cepet makan siang, jangan main lagi disini," tangannya ditarik paksa, Ibu Dewi hanya mengacuhkan ku.

Dewi merengek, ia menangis tersedu.

"Aku ingin main sama Asih," tangisannya menjadi
"Bicara apa kamu ini Dewi, makan dulu cepet," mereka masuk ke rumah, pintunya tertutup keras.

"Clak...clak..."

Aku terpaku memandang kepergian mereka, bunyi tetesan dari sumur mengheningkan mataku. Kosong.

Dari kejauhan aku bisa mendengar jika ibu Dewi kian membentak. Suaranya keras sampai aku bertekad untuk beranjak menuju jendela dapur di rumahnya. Mungkin Dewi duduk di sana. Aku ingin menghiburnya.

Daun jendela itu berwarna cokelat, kontras dengan dindingnya yang berwarna putih tulang. Jendela itu lumayan tinggi dengan aksen mewah, kaki ku sampai harus berjinjit untuk melihat Dewi. Benar saja, ia masih tersedu. Duduk termenung melihat makanan yang belum ia sentuh. Air matanya belum mengering. Dewi, aku tahu jika kau bersedih.

"Ada apa lagi ini?" Tetiba Ayahnya datang dari arah depan, lalu melihat Dewi yang duduk di kursi meja makan. Ibunya mengikuti.
"Jadi Pah...Tadi..." mulut Ibu Dewi tersekat.
"..." Mereka saling melirik satu sama lain.
"Sepertinya kita harus memanggil Pak Suryono," timpa Ibunya lagi.

Lama sekali mereka menatap.

"Baiklah, setelah ini aku akan pergi ke rumah beliau, setidaknya ini akan membuat Dewi lebih tenang," ucap Ayahnya sambil mengelus rambut Dewi.

Aku tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Mereka melangkah lagi ke ruangan depan.

"Psst...Dewi..." Bisik ku dari luar.
"Ah...Siapa?"
"Ini aku Asih," aku mengisyaratkan Dewi untuk mendekat. Ia turun dari kursi, menghampiriku semringah.
"Asih, nanti Bunda marah," ucapnya pelan.
"Tak apa, lagian aku ga bakal lama," ucapku berpegangan di bingkai jendela.
"Aku masih ingin main, tapi Bunda ga ngerti kemauan aku," ucapnya lirih
"Kita lanjut main sore ini aja, kamu makan dulu ya nanti sakit," Dewi hanya mengangguk dan menoleh ke belakang, takut percakapan kami didengar orang tuanya.
"Janji?" Dewi mengangkat jari kelingkingnya.
"Iya aku janji," ucapku memastikan.

Yang Dewi takutkan terjadi, ibunya melihat kami berdua.

"Dewi?! Kamu ngapain?! Mundur dari sana!" Dewi menjauh, Ibunya merogoh sesuatu dari rak piring lalu melemparnya ke arahku.

"Trang!" Suaranya nyaring, untung saja aku segera menunduk. Apa itu? Entah, Aku ingin berlari sekencang mungkin, menjauhi amukan ibunya. Tertatih-tatih dengan cemas.

Dewi maafkan aku.


***



Sore ini awan-awan terlihat lebih gelap, memangsa cahaya di sekitarnya. Keadaan jauh lebih dingin. Aku masih disini, di dekat sumur seperti halnya tadi siang.

Jujur, Entah kapan sumur ini dibuat, dulu keluargaku sering mengambil air dari sini. Untuk keperluan minum, membersihkan makanan, memandikanku, dan lain sebagainya. Orang-orang dusun sering pula mengambil air dari sumur ini, bahkan mencuci pakaian di sampingnya. Sekarang sumur ini seperti terlupakan, terlebih saat orang-orang mulai memasang pipa untuk mengalirkan air ke rumahnya masing-masing.
Sumur ini terlupakan, berlumut pekat sampai sekarang.

Aku merindukan tempo dulu, saat orang-orang lalu lalang di depan rumah kami. Ibu ku sering memperhatikan mereka, namun sebaliknya mereka seperti tidak melihat Ibu. Apakah kami berbeda dari mereka? Apakah kami tidak punya apa-apa? Apakah rumah ku tidak sebagus milik Dewi?

Dewi mempunyai teman yang banyak sekali, utamanya saat dia pergi bersekolah. Beberapa kali ia membawa teman-temannya datang ke rumah. Bermain dan menari bersama. Aku hanya duduk di atas pohon memperhatikan keceriaan mereka. Dewi, betapa beruntungnya perempuan sebaik dirimu.

Aku tak punya apapun yang bisa dibanggakan, orang tuaku sudah tiada. Rumah ku kusam dengan tanaman yang merambat di dindingnya. Lebur tak berbentuk. Namun Dewi, dengan segala kekurangan ini, ia masih setia menemaniku.

"Prats...!"

"Apa itu?" Terasa seperti ada yang menyipratkan air ke badanku.

"Ternyata kau di sana bocah biadab!"

Aku tercengang dengan sosoknya yang menyeramkan. Kumisnya tebal dengan sorot mata penuh bara.

"Hah? Apa salahku Pak?"

"Tak seharusnya Kamu di sini!" Ia menjambak rambutku, sakit sekali. Aku bisa merasakan rambut panjang ku terkelupas sedikit demi sedikit. Ia menariknya demikian kencang.

"Hentikan, sakit!" Tanganku berusaha melepaskan cengkeramannya. Ia hanya meludah di wajahku, terasa lengket sekali.

"Rasakan ini bocah!" Ia mengguyur kepalaku dengan air botol yang dibawanya. Terasa pengap, masuk ke rongga hidungku. Sungguh, sulit sekali aku bernafas.

"Orang tuamu setan! Anaknya Iblis! Haram!" Ia menghardik ku bertubi-tubi.

Aku tak tahan! Aku menginjak kakinya, hingga rambut yang ia jambak terlepas. Aku melangkah mundur dengan isak tangis. Gelisah, begitu ketakutan.

Siapa dia? Ada apa ini? Apa salah ku? Apa karena Dewi?

Aku menadah batu dari bawah, berharap jadi senjata terakhir jika ia kembali menyerang. Benar saja, ia melangkah dengan tangan yang mengepal. Seperti ingin menghantam ku bertubi-tubi. Apa yang harus aku lakukan? Ayah, Ibu, tolong anak mu ini.

Gelap mata, aku melempar batu ke arahnya.
"Jdak...!"
"Uhh, sialan...brengsek! Anak bajingan! Haram!" Ia berteriak kesakitan, berjongkok memegang kepalanya.

Aku melihat darah bercucuran. Ia mulai goyah hingga menyandarkan punggungnya ke pinggiran sumur. Seketika, aku memukul perutnya keras. Ia hanya mengaduh sakit. Aku ingin sekali mendorongnya menjauh dari tempat ini. Mengusirnya jauh.

"Anak haram! Apa yang kau lakukan!" Kakinya terangkat! Betul, sedikit lagi!

Bapak itu kekar, namun tak mampu menahan dorongan ku. Bocor di kepalanya membuat pijakannya semakin tak seimbang. Hingga kemudian "Aghhh...!" Ia masuk ke mulut sumur, kepalanya membentur beberapa kali dinding-dinding sumur itu sampai ke dasar. Suaranya meracau keras.
"Jbur...!" Aku tersadar, jika sumur ini sangat dalam. Airnya begitu keruh sampai tubuh bapak itu tak terlihat. Keadaan hening seketika.

Aku ambruk, badanku tergeletak tak berdaya. Tak mengingat apapun. Kejadian itu berlalu begitu cepat.



***



Langit mulai menghitam, memakan cahaya jingga di sekitarnya. Aku masih tergeletak dengan tatapan kosong ke atas bintang yang berwarna kemerahan. Apakah Ayah dan Ibu melihatku dari atas sana? Aku menggigil sepi merindukan mereka.

"Pak Suryono?"

"Pak...?"

"Pah, kok Pak Suryono tidak ada di halaman belakang ya?" Aku melirik ke arah rumah Dewi. Ayah dan Ibunya terlihat panik. Mereka tak mungkin melihatku yang terkapar di rimbunnya belukar semak.

"Ah, tenang aja, Pak Suryono kan Sesepuh dusun kita, mungkin ia sudah pulang ke rumahnya,"

Ibu Dewi sedikit tak percaya. Ia hanya dipeluk suaminya erat, mengusap pundaknya lalu beranjak masuk ke dalam. Aku melihat Dewi di daun jendela. Aku tahu jika ia menatapku dengan perasaan sedih. Ia menempelkan tangannya di kaca jendela.

Aku berusaha berdiri dengan kepala yang masih terasa perih. Pening sekali rasanya. Namun aku harus menemui Dewi, bukankah kita berjanji untuk bermain kembali sore ini?

"Wush...!" Tetiba dari dalam sumur muncul kepala Bapak itu. Ia terlihat pucat pasi dengan lumut-lumut yang menempel di wajah, luka di kepalanya sedikit terkelupas. Air sumur yang dingin membuat kulitnya berwarna biru keabu-abuan. Mengerikan.
Dia mengangkat kakinya, berusaha keluar dari sumur. Aku tercengang melihat sorot mata bapak itu. Benar-benar tak menahu apa yang harus aku lakukan.

"..." Ia berhasil menginjakan kaki di samping sumur. Menatapku kemudian berlalu tanpa mengucap kata sedikitpun. Langkahnya pelan sekali. Pakaian yang ia kenakan robek compang-camping, tubuhnya memar dan lecet. Ia berjalan dengan basah kuyup, menuju pohon-pohong pisang. Sosoknya hilang ditelan gelap.

Aku menoleh ke arah Dewi. Dengan kepala yang masih berdenyut, aku melangkah menuju jendela rumahnya.

"Asih...! Ada apa?!"
"Bapak tadi menyiksaku..."
Dewi meneteskan air matanya, meletakan tangannya di kaca. Mungkin berusaha mengusap kepalaku.

"Kita berjanji untuk bermain lagi,"
"Tapi, kita bisa melakukannya esok hari kan?"
"Aku ingin bertemu, memegang kepalamu yang kesakitan sekarang,"
"Hmm...Andai kata kita mampu bermain terus menerus yah?" Tanyaku mengandai sedih.
"Benar, aku bosan terus-terusan berada di rumah ini. Aku tertekan oleh Ayah dan Bunda. Setiap harinya aku hanya dimarahi buat ikut kemauan mereka," ucapnya terisak tangis.

"..."
"Asih..."

Kami memandang satu sama lain.

"Bagaimana jika malam ini kamu menginap di rumah ku?"
"Ah...?"
"Iya menginap, kita bisa tidur bersama sambil bermain boneka," timpaku meyakinkan Dewi.
Dewi berpikir sejenak lalu mengangguk dengan senyum. Aku rasa dia setuju. Ia kemudian beranjak pergi dari dapur. Dewi berkata ingin membawa bekal secukupnya.

Aku senang sekali melihat Dewi, terlebih saat wajahnya antusias mendengar ajakan ku.
Malam ini, akan jadi malam paling menyenangkan bersama Dewi. Pelipur lara dengan kejadian tadi.

Beberapa menit aku menunggunya. Terkadang aku takut jika pintu dapur rumahnya terkunci.

"Cklek...!" Suara pintu terbuka. Lega rasanya.

Aku melirik ke arah pintu itu, terlihat Dewi memakai piyama dan tas ransel di punggung. Cantik dan menggemaskan. Tak lupa ia membawa boneka beruang kesayangannya. Dasar anak kecil, tawaku melihatnya.

"Asih! Ayo, nanti keburu ada Bunda,"

Kami berlari dengan tawa pelan, berjingkrak di rerumputan. Menuju halaman depan rumahku. Di sumur itu kami berpelukan disaksikan langit yang sudah gelap kebiruan.

"Asih di sini dingin banget, ayo cepet ke rumah kamu,"

Aku mengangguk, lalu meraih tangannya. Ini malam terbaik sepanjang hidupku.


***



Aku suka saat waktu menunjuk malam hari. Seringkali malam memberikan ketenangan dan kesunyian untuk ku. Dalam suasana malam yang tenang, terdengar suara-suara khas seperti serangga yang berada di pepohonan, terkadang juga terdengar suara cicak ataupun kodok yang bersahutan
Hal-hal indah seperti itu mampu menjadi penguat bagi ku untuk memulai hari esok, walau sejatinya hidupku terasa sepi.

Bertahun-tahun yang lalu, dalam suasana malam yang sepi dan dingin, aku sering menikmati momen kebersamaan dengan orang-orang terdekat. Utamanya orang tuaku. Kami suka berbagi cerita, atau sekedar menikmati keheningan bersama.


Di malam ini-pun, warga dusun terlihat berkerumun dengan nyala obor di tangan. Bersuar di lolongan malam. Ternyata, mereka menemukan mayat Pak Suryono dari dalam sumur. Aku dan Dewi sempat bergidik ketakutan melihatnya.

Lewat percakapan mereka, aku memahami jika Pak Suryono adalah penanggung jawab atas kematian orang tua ku dulu. Seorang sesepuh dusun yang mampu melihat banyak hal. Dukun biadab! Aku sedikit lega karena ia sudah mati, berubah jadi arwah.

Selain itu mereka berdiskusi panjang. Ayah dan Ibu Dewi berkata jika anaknya hilang. Dewi lenyap tepat setelah Pak Suryono datang ke rumah mereka. Namun sampai saat ini, Dewi masih belum pulang. Para warga berinisiatif untuk mencari Dewi yang pergi entah kemana. Aku ingin sekali memberitahu jika Dewi berada di rumahku, hanya saja ia masih enggan untuk pulang. Ia masih ingin menemaniku.

Kami masih asyik menikmati warga dusun yang berkumpul di halaman belakang rumah. Sebagian lainnya pergi ke kebun belakang di balik pohon-pohon pisang. Mencari keberadaan Dewi yang justru berada di sampingku.

"Kenapa ya orang tuaku mencari-cari diriku? Sedangkan aku tepat ada di depan mereka," ucap Dewi terheran.
"Tidak apa Dewi, mereka tidak bisa melihat kita. Tapi di sini kita bisa melihat mereka dengan jelas,"
"Aku lebih suka disini, setidaknya Ayah dan Bunda tidak memarahiku," ucapnya senang.

Dengan syahdu kami menikmati cemilan bunga mawar yang tumbuh di depan sumur. Tentunya dengan tatapan aneh kepada orang-orang yang masih mencari keberadaan Dewi. Unik, justru aku melihat Dewi seperti menikmati pemandangan itu. Seolah ini permainan. Atau memang aku yang mempermainkan semua ini? Entahlah, yang ku inginkan hanyalah bermain dengan teman karibku. Dewi, ya hanya dia selamanya.

Ibu dan Ayahnya hanya mampu berpelukan, menunggu anaknya dengan derai tangis. Warga yang lain hanya mampu menenangkan.

"Khe...khe...he...he...he," aku hanya tersenyum memegang tangan Dewi. Kemudian ia membalas genggamanku dengan akrab.

"Dewi kamu senang kan berada di alam ini?" Tanyaku.

"Iya, aku senang,"

"Sunyi..."

"Hening..."

"Tenang..."

"Gelap..."

"Pekat..." Kepala kami saling menyandar. Mendekap hangat.

Kami tertawa tenang, diantara semak-semak alam. Berpadu dalam heningnya kunang-kunang di kelamnya malam.

Di alam ku sendiri. Alam roh bagi jiwa-jiwa yang mencari ketenangan. Pergi dari dimensi Manusia yang berisik.

"Besok kita main lagi ya?"


THE END


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 29-07-2023 16:24
lahidirmesa373Avatar border
krian8471070Avatar border
eynymawar675644Avatar border
eynymawar675644 dan 38 lainnya memberi reputasi
35
1.8K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan