Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lupineprinceAvatar border
TS
lupineprince
Jaga Kesehatan Mental Anak Muda Indonesia

Ilustrasi. Seseorang yang didiagnosis mengalami isu mental melewati pasang-surut pemulihan diri. Namun, seseorang dengan masalah kejiwaan juga punya harapan bahagia dan bebas dari stigma.

DENTY PIAWAI NASTITIE

JAKARTA, KOMPAS — Sejatinya, bahagia tidak perlu dicari karena kebahagiaan ada dalam setiap langkah kita. Bahagia adalah untuk diri sendiri sehingga tidak membutuhkan pengakuan orang lain. Tidak membanding-bandingkan, nyaman dengan apa yang dimiliki, menerima apa pun kondisi yang dihadapi, dan tidak terlalu peduli dengan omongan orang adalah kunci bahagia.

Binar (20), warga Tangerang Selatan, Banten, yang juga mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Depok, Jawa Barat, pertengahan bulan lalu, bercerita, saat akan masuk perguruan tinggi, ayahnya memasuki usia pensiun, terkena stroke, dan kakak pertamanya harus kehilangan pekerjaannya akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2020.

Situasi itu membuat pilihannya untuk memilih universitas menjadi sangat terbatas. Ia hanya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri dan di kelas reguler. Keuangan keluarga yang sedang tidak baik-baik saja membuatnya tidak mungkin untuk kuliah di universitas swasta atau di kelas internasional di perguruan tinggi negeri.

Di tengah keterbatasan itu, ia tetap bersyukur karena bisa diterima di universitas negeri meski pada jurusan pilihan keduanya. Dia justru merasa cocok dengan jurusan pilihan keduanya meski kesempatan magang atau bekerja menjadi lebih terbatas.

Namun, saat mulai membandingkan dengan kehidupan teman-temannya yang jauh lebih beruntung, rasa iri dan tidak bahagia itu muncul. Ketidakbahagiaan itu muncul karena dia merasa harus berjuang lebih keras untuk mencoba sesuatu dibandingkan dengan teman-temannya yang begitu mudah mencoba hal-hal baru yang disukai.

”Ya...perasaan (iri) itu masih normal sih...dan semua orang juga memiliki battle (perjuangan) masing-masing. Toh, kalau dipikir-pikir, saya masih memiliki banyak privilege (hak istimewa) dibandingkan dengan orang-orang lain yang jauh lebih tidak beruntung dari saya,” katanya.

Akan tetapi, tidak semua anak muda dapat menyikapi positif keterbatasan dirinya seperti Binar. Banyak anak muda yang justru jatuh depresi hingga menyakiti diri sendiri karena kecewa terhadap kegagalan atau keterbatasan yang ada.
Anggota komunitas <i>line dance</i> Happiness berlatih di Taman Lansia, Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/2/2020).
Kompas

Anggota komunitas line dance Happiness berlatih di Taman Lansia, Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/2/2020).

Kepala Pusat Bimbingan dan Konsultasi Psikologi yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, Meiske Yunithree, mengatakan, bahagia itu tidak serumit apa yang kita pikirkan. Kunci bahagia itu sederhana, yaitu nyaman dengan apa yang kita miliki dan menerima diri kita apa adanya dengan segala keadaan yang ada.

”Sifat dasar manusia itu serakah, sulit terpuaskan. Ketidakmampuan kita menerima yang ada pada diri dan tidak bisa merasa cukup dengan apa yang kita miliki adalah kunci ketidakbahagiaan,” ujarnya. Saat bisa merasa cukup dan puas, saat itulah manusia akan bahagia.

Gangguan cemas

Ketua Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Diana Setiyawati yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/7/2023), mengatakan, di kalangan anak muda, gangguan depresi makin banyak ditemukan. Salah satu akibat depresi yang sering terjadi ialah tindakan menyakiti diri sendiri.

Hasil Riset Kesehatan Dasar mencatat, ada peningkatan pasien gangguan mental emosional dari 6 persen pada 2013 menjadi 10,35 persen pada 2018.

Kondisi tersebut kian diperparah oleh pandemi Covid-19. Hasil survei kesehatan mental remaja nasional (I-NAMHS) 2022 menunjukkan, satu dari tiga remaja mengalami masalah kesehatan mental. Dengan populasi remaja saat ini, ada sekitar 13 juta remaja yang mengalami masalah kesehatan mental.

Survei itu juga mendapati, gangguan cemas merupakan masalah kesehatan mental yang paling banyak dialami oleh remaja, mencapai 26,7 persen.


”Gempuran bagi generasi muda sekarang ini luar biasa. Pascapandemi Covid-19, masalah kesehatan mental juga disorot terkait dengan perkembangan dunia digital,” ujar Diana.

Padahal, ujar Diana, keterhubungan yang berlebihan dengan media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental. Ia mencontohkan, ada kliennya yang terobsesi menjadi cowok macho. Saat melihat foto laki-laki muda dengan penampilan yang gagah di depan mobil di media sosial, muncul gangguan psikomastik yang membuat rasa cemas berlebihan sehingga dia bisa setiap hari puluhan kali menimbang badan.

Di kalangan anak muda, gangguan depresi makin banyak ditemukan.

Sementara menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Elizabeth Kristi Poerwandari, teknologi telah mengubah perilaku individu dalam hubungan sosial. Kompetisi di zaman sekarang pun lebih ketat sehingga manusia dituntut untuk selalu lebih unggul daripada yang lain. Padahal, manusia bukan makhluk sempurna.

Kristi menyarankan, untuk menjaga kesehatan jiwa anak muda, perlu menyeimbangkan kehidupan di dunia nyata dan maya, tidak menuntut diri agar sempurna, dan bersyukur pada hal-hal kecil.

Terapis memijat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam perawatan di panti rehabilitasi disabilitas mental Yayasan Jamrud Biru, Jalan Mustikasari, Kelurahan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (21/11/2019).

Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang menuturkan, pemerintah telah menyediakan pelayanan kesehatan jiwa untuk masyarakat, termasuk kelompok usia muda, di sejumlah puskesmas. Tenaga kesehatan yang bertugas di puskesmas tersebut telah dilatih untuk menangani masalah kesehatan jiwa.

Meski demikian, berdasarkan data I-NAMHS 2022, hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental yang pernah mengakses layanan kesehatan jiwa untuk membantu mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka.

Editor: ADHITYA RAMADHAN
Sumur: https://www.kompas.id/baca/humaniora...muda-indonesia

Kesehatan mental. Pada sering lihat di Twitter soal orang2 muda yg "perlu healing" terus dicaci-maki boomer kan? Well, self-diagnosis itu nggak baik sih dan yg muda ada yg jadi over-aware dan manja, itu ada, tapi yg tua juga suka nyalahin yg muda sebagai generasi mental tempe, sampai bandingin generasi stroberi vs durian, padahal durian bau tengik bikin trauma intergenerasi.

Kurangnya akses psikologi / psikiater (75% di Jawa, itu juga banyak yg tutup saat perlu) juga jadi masalah, belum biaya buat yg menengah ke bawah. Dan masalah stigma buat yg cari bantuan, "yg cari psikiater cuma ODGJ", "kurang ibadah", dll.
Di sisi lain, peningkatan angka masalah mental ini juga mungkin karena akses internet lebih gampang, jadi orang lebih sadar soal kesehatan mental, tapi ini tetap masalah yg harus diwaspadai, apalagi dengan sisa didikan keras generasi tua (baru berapa hari kan kasus anak SMP bakar sekolah sendiri, guru yg ikut bullying, atau perpeloncoan berdalih "dUn1A k3Rj4 iTU k3Ra5 D3k").

Fix 2045 Indonesia Cemas.



Btw, Kompas harian menyebalkan begini, batas artikel bulanan habis gara2 ganti tab untuk artikel yang sama.
Diubah oleh lupineprince 11-07-2023 05:44
MistaravimAvatar border
areszzjayAvatar border
nomoreliesAvatar border
nomorelies dan 3 lainnya memberi reputasi
-2
387
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan