Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

febi12283Avatar border
TS
febi12283
Villa Belanda Tua Dan Perkebunan Teh Terpencil(Part2)


Ilustrasi Villa desa terpencil(Pexels.com)


 Suara dari atas loteng

 
“Jas, jangan habiskan baterai handphonemu.”
Kami sudah sepakat untuk menghemat baterai handphone kami, itu sangat penting, kami harus segera pergi dari villa ini, mencari desa terdekat dan meminta bantuan, meski itu harus berjalan kaki cukup jauh dari sini. Lagipula esok hari pasti ada banyak pekerja di perkebunan teh ini, setidakya kami bisa meminta bantuan dari mereka yang bekerja disana.

Tapi…masalahnya adalah, kondisi gelap seperti ini sangatlah merepotkan, apalagi petir dan hujan tidak menunjukan bahwa akan reda dalam waktu yang dekat. Kami tidak bisa kemana-mana, lagipula kemana kami harus pergi? Aku merasa seperti tikus yang masuk perangkap kucing besar di sini.

“Jas, kamu dengar suara itu?”aku mencoba bertanya kepada Jasmine tentang langkah kaki yang seperti berjalan pelan di atas kepala kami. Suaranya sangat mirip seperti langkah kaki, namun seperti jalan yang tidak normal, kami berusaha untuk mengabaikan hal itu, namun suara langkah kakinya semakin jelas.

Maka, aku putuskan untuk mengajak mereka memasuki salah satu lemari yang berada di tengah ruangan villa, lemari jati tua yang sudah tidak terpakai lagi, kami mencoba untuk mengintip dari dalam, siapakah yang mencoba turun dari atas rumah ini.
 
Achh….achh……
Aku berusaha menutup mulutnya Jasmine agar dirinya tidak berteriak, seorang pria dengan kepala botak, mengenakan pakaian tidur dan tanpa sandal di kakinya. Aku seperti teringat sesuatu dengan orang itu, penampilannya bahkan cara dia berjalan dan berdiri.Ah….aku menutup mulutku dengan kedua tanganku, pria itu adalah orang yang sama aku liat di perkebunan teh sewaktu kami bertiga berada di sana, sedang apa dia di sini?

Gerak-geriknya sangat aneh, sesekali dirinya menggosok mulutnya dengan kedua jarinya, tingkah lakunya aneh, seperti dirinya bukan orang yang normal. Kami takut, akupun sangat takut sekali, karena itulah aku putuskan untuk tidak keluar.
 

Pak tua, itukah kamu?
Seiring waktu, pria aneh itu kemudian pergi keluar dari villa, kami yang sudah tidak tahan berada di dalam lemari, akhrinya memutuskan keluar dan pergi mencari tempat lainnya, aku kemudian mengajak mereka berdua untuk melihat kondisi di atas rumah. Sepertinya ada loteng yang tidak terpakai, apalagi, penjaga villa sebelumnya berpesan untuk tidak naik ke atas dengan alasan tangganya sudah lapuk.

“Bagaimana Jas? Kamu ikut aku ke atas?”aku bertanya kepada Jasmine.
Asri kemudian menjawab hal yang sama, kami sepakat untuk pergi bertiga, membulatkan keberanian diri agar bisa pergi ke lokasi paling tinggi dari rumah ini, sebuah loteng tua, yang entah apa yang ada didalamnya tersebut.
 
“Jas, ini tangganya, aku akan duluan naik,”aku meminta kepada mereka untuk berjalan pelan di belakangku. Perlahan langkah kaki ini mencoba menapak naik, suara dari kayu yang sudah usang terdengar pelan..aku mencoba untuk berjalan secepat mungkin. Satu pintu berwarna merah, dengan sebuah tulisan…

Room Booby, Stop Here!
Aku membuka pintu ini, Hei…..pemandangan yang menyeramkan terlihat.
“Jangan berteriak..!”kataku kepada mereka.
Aku menggenggam tangan mereka erat, aku menutup wajah mereka dengan kedua tanganku, aku berusaha setenang mungkin agar mereka tidak berlari dan bisa mengendalikan diri mereka.

“Pak, itukah Anda?”
aku melihat bapak tua itu berada di dalam kandang anjing berukuran kecil, dirinya yang berbadan besar, dimasukan dengan paksa, sampai tidak bisa bergerak sama sekali.
“Jas, apakah dia?” aku mencoba bertanya kondisi bapak itu kepada Jasmine.
Suara tangis Jasmine masih terisak, dirinya hanya menggelengkan kepala, kemudian memberi kode untuk segera pergi dari loteng ini.

“Sudahlah, sudah jelas semua ini, ayo kita segera pergi, jangan tunggu esok pagi,”ucapku kepadanya.
Kami bergegas turun, perlahan berjalan, menuruni anak tangga, berharap tidak bertemu dengan pria aneh tersebut. Dalam kondisi hujan masih deras, kami putuskan untuk segera pergi, bagaimanapun yang terjadi.

 
Membelah perkebunan teh
Malam yang semakin larut,  hujan tidak menunjukan bahwa akan redah, jadi kami belah saja lautan hujan ini. Nekat dan berani, pergi menyusuri malamnya perkebunan teh, dingin menusuk tulang, kami sudah tidak perduli lagi dengan semua ketakutan ini, bagiku diam di villa itu adalah hal paling bodoh untuk dilakukan.

Jasmine kemudian memberi arahan, untuk menyusuri perkebunan teh, kemudian berjalan lurus, karena biasanya pasti ada desa warga disana. Aku setuju dan Jasmine setuju, kami semua sepakat pergi, dan kemudian menyusuri tepian perkebunan teh pada malam hari, di tengah derasnya hujan dan kabut.
 
“Dingin, aku gak kuat!”
Suara pelan menggigil keluar dari mulutnya Asri, aku kemudian mencoba memberi semangat kepada Asri agar dirinya tetap berjalan, dan jangan berhenti. Karena kalau kami berhenti, mungkin saja orang aneh itu akan mengikuti kami sampai ke sini.

Namun langkah kakinya berat, nafasnya sudah terputus-putus, kami kemudian mencoba memapahnya, namun ternyata berat badannya tidak sanggup kami imbangi, kami terjatuh, berusaha mengangkatnya tapi tidak mampu.

“Sri, jangan pingsan,”ucapku kepadanya.
Asri yang kedinginan mulai mengoceh tidak jelas, aku takut dirinya terkena Hipotermia, sementara aku tidak mengerti bagaimana nanti kalau Sesuatu terjadi kepadanya. Aku mencoba untuk menghangatkan tubuhnya, dengan memberinya jaket yang aku kenakan.
 
“Jas, disana ada pondok, seret Asri kesana, ayo bantu aku!”
Jasmine dengan sisa tenaga yang dia miliki, mencoba menarik Asri menuju pondok terdekat, entah berapa lama kami mencoba menariknya, hingga bisa sampai ke pondok tersebut.

“Jas…..tidurkan dia, buat badannya hangat,”aku mencoba untuk menghangatkan badannya yang sudah mulai dingin seperti es batu, aku melihat bibirnya yang mulai membiru.
Perlahan nafasnya mulai teratur, badannya sudah sedikit hangat, kami berpelukan bertiga dengan tujuan agar bisa saling menghangatkan, pandanganku kabur, aku tersungkur dalam pelukan Jasmine, dan kami tidak lagi bersuara satu sama lainnya.
 
Nak….kalian siapa?
“Jas…hei, bangun!”
Aku menepuk wajahnya Jasmine berulang kali, sedangkan Asri masih tertidur di dalam pondok bamboo tersebut.

“Jas…kita tertidur, hari sudah pagi.”
Jasmine mencoba membuka matanya, dirinya terheran karena ternyata kami melihat villa yang sudah berada jauh sekali dari tempat kami berada saat ini.
“Kita ternyata berjalan jauh sekali, pantas aja kita pingsan semua malam itu,”ucapnya mencoba menghibur.

Kami terduduk dalam waktu yang lama, kami tidak punya tujuan, bahkan tidak tahu harus pergi kemana, suara orang berjalan semakin terdengar, dan dari belakang beberapa orang mendatangi kami, dan berkata.

“Nak kalian darimana?”
Suara dari beberapa orang yang sedang mau pergi ke perkebunan mengagetkan kami, meski kami takut, tapi ada rasa lega karena akhirnya kami bisa selamat. Aku meminta bantuan kepada warga disana, untuk mengantarkan kami ke rumah kepala desa terdekat, dan mereka setuju, di tengah kerumunan, kami saling melihat satu sama lainnya, ada seyum  sumringah di wajah kami. Menaiki mobil bak terbuka, kami di antar ke rumah kepala desa terdekat, perjalanan memakan waktu hingga 30 menit lamanya.

Jasmine yang tiba-tiba bangun, kemudian berceloteh….
“Jancook, kalau kita nekat jalan ke desa yang ternyata jaraknya sejauh ini, udah mati kita kecapekan.”
Aku yang melihatnya hanya tertawa, kami saling berpelukan, memandang villa tua itu yang semakin menghilang dari pandangan kami bertiga.
 
 
Villa kosong 10 tahun.
Kepala desa tidak percaya bahwa kami tinggal di sebuah villa yang sudah kosong selama 10 tahun. Jangankan masuk ulasan internet dan website, ada yang datang saja tidak mungkin terjadi. Lebih mengherankan lagi, kalau orang yang tinggal di villa itu merupakan kakak beradik yang mengalami gangguan jiwa karena ibu mereka yang lari bersama pria lain. Sedangkan ayah mereka yang masuk rumah sakit jiwa dan meninggal disana karena sakit komplikasi..

Aku kemudian bertanya, kenapa mereka tidak dimasukin ke rumah sakit jiwa saja sama penduduk desa? Kepala desa itu menjawab, bahwa mereka sudah dianggap warga yang terkena kutukan, apalagi villa tua itu dulunya merupakan tempat pembantaian banyak orang belanda ketika Indonesia meraih kemerdekaanya.

Karena takut, kami kemudian meminta bantuan untuk diantarkan ke villa tersebut untuk mengambil barang kami yang tertinggal. Kepala desa yang waktu itu ragu kemudian setuju, kami kemudian berangkat dan pergi kesana, lagipula mobil kami hilang, dan seharusnya masih berada disana.
 
Bersambung…………



bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
522
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan