Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amekachiAvatar border
TS
amekachi
Keluguan Suku Samin, Budi Luhurnya dan Tentang Jiwa Anarkinya

Anarkisme adalah filsafat yang berpaham bahwa masyarakat bisa dibentuk tanpa negara, bersifat kolektif, dan non-hierarki. Ajaran ini juga dihubungkan dengan paham kiri seperti sosialisme dan komunisme yang menuntut perjuangan rakyat.

Pemikirnya mulai dari Max Stirner, Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, dan Edward Douwes Dekker (Multatuli) yang pernah berkunjung ke Hindia Belanda pada 1838.

Rupanya, pandangan anarki tak hanya dimiliki oleh pemikiran Barat saja, tetapi juga dimiliki beberapa kelompok masyarakat adat di Nusantara. Salah satunya adalah masyarakat Samin atau Sedulur Sikep yang tinggal di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kemiripan antara falsafah Saminisme dengan Anarkisme itu diungkap oleh Harry J Benda dan L Castles dari Leiden University dalam Journal of the Humanities and Socieal Sciences of Southeast Asia and Oceania tahun 1968.

Jasper seorang asisten residen Tuban dan Cipto Mangunkusumo juga menilai bahwa Saminisme muncul akibat kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang eksploitatif dan memberatkan. Ungkapan mereka dikutip oleh Amrih Widodo dalam Untuk Hidup Tradisi Harus Mati di Majalah Basis edisi Oktober tahun 2000.

Secara pemahaman yang berunsur kebudayaan Jawa dan kepercayaan Kejawennya, Saminisme dicetuskan pertama kali Samin Surosentiko, seorang petani yang menjadi tokoh perlawanan di Blora. Penyebaran paham ini awalnya tersebar dari Klopoduwur, Blora pada 1890 yang tersebar ke beberapa kabupaten seperti Pati hingga Bojonegoro.

"Itu kebetulan saja, Ki Samin Surosentiko enggak kuliah ke Eropa kok. Dia hanya menggali pemahaman Jawa kuno terus dikembangkan tahun 1850-an," kata Pramugi Prawiro Wijoyo, salah satu masyarakat Sedulur Sikap Blora ketika ditemui National Geographic Indonesia (20/03/2021).


Awal mula pergerakannya melawan kesewenangan bermula dari kelompok masyarakat tani yang tertindas oleh pemerintah Hindia Belanda. Mereka sempat menolak membayar pajak, mengkritisi otoritas--baik era kolonialisme hingga kemerdekaan kini, dan berbicara terus terang.

"Kami kalau melawan enggak pakai kekerasan, karena cara itu selalu gagal seperti yang dilakukan Diponegoro sebelum Ki Samin," Pramugi menjelaskan.

"Cara kami cukup kalau ditanya cukup mbulet (ketus), enggak mau bayar pajak, dan enggan kerja bakti, dan enggak perlu takut."

Gerakan protes mereka terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan Indonesia sangat kental, terlebih jika itu menyangkut masalah lingkungan. Sesuai dengan ajaran Kejawen juga, mereka menyadari bahwa hidup harus selaras dengan alam dan kekuatan rohani.

Untuk itu, masyarakat Samin ingin agar alam dan lingkungan sekitarnya lestari, dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesama, bukan untuk pribadi. Apalagi jika harus dibawa keluar negeri, papar Pramugi.

Secara catatan birokrasi, Pramugi merupakan ketua masyarakat Samin. Ia mengakui bahwa jabatan itu hanya diberikan oleh pemerintah Indonesia yang tak dihendaki dirinya karena tak sesuai dengan falsafah Samin.


"Saya enggak ingin itu. Saya ditunjuk jadi pemimpin tetap saja cari duit dari keringat sendiri, bukan duit rakyatnya," ungkapnya.

Idealisme mereka yang enggan pada hierarki juga tertuai dalam bahasa Jawa-ngoko yang mereka gunakan.

Tingkatan Jawa Krama (halus), Madya (biasa), Ngoko (kasar) yang umumnya dipakai tak diterapkan karena cara menghormati orang lain bukanlah lewat bahasa, tetapi perbuatan. Selain itu, penggunaan Jawa-ngoko identik dengan bahasa Jawa Kuno agar bisa memperkuat inti pembicaraan.


Pramugi Prawiro Wijoyo, salah satu masyarakat Samin di Sambongrejo, Blora Jawa Tengah. Secara struktur, ia dianggap sebagai ketua, tetapi secara adat ia tak menganggap adanya jabatan itu. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)
Ajaran Saminisme berprinsip nilai luhur yakni tak membenci agama manapun, tak boleh dengki, sabar dan tak bertengkar, memahami hidup dan kematian, melawan ketertindasan, jujur dan menjaga ucap.

Prinsip Samin juga enggan untuk berdagang karena memiliki unsur ketidakjujuran/kapitalisme. Bahkan beberapa masyarakat juga berpendapat tak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang yang rawan kepentingan pihak luar.

Perbedaan tafsir ajaran Samin Surosentiko bagi Pramugi adalah hal yang wajar, karena ajaran ini sebenarnya budaya tutur yang diturunkan dari mulut ke mulut. Beberapa orang mencoba menuliskannya dalam bentuk kitab, tetapi tak dapat memungkiri perbedaan tafsir itu sendiri.

'Kitab' yang dianggap sebagai pedoman hidup masyarakat Samin adalah Serat Jamus Kalimasada, yang terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.

Tetapi Pramugi menolaknya sebagai patokan utamabagi kelompoknya. Sebab serat-serat itu berunsur Hindu, sedangkan Kejawen yang dipahami Samin Surosentiko benar-benar murni falsafah budaya Jawa atau Kejawen.

Perbedaan tafsir dalam masyarakat Samin juga disebabkan luasnya cakupannya. Mereka dapat melebur dalam masyarakat agama lain, bahkan antar komunitas juga bisa memiliki pandangan berbeda tentang penerapan Saminisme.


Walau berbeda, mereka terkadang mengadakan Temu Ageng Sedulur Sikep di Sambongrejo yang diadakan setiap Jumat Legi sebagai ajang silahturahmi Sesama masyarakat Samin.

Bagi mereka, Jumat Legi merupakan unsur laut yang berarti tempat kehidupan bermula dan air yang dibutuhkan untuk hidup.

"Kegiatan itu selalu diadakan oleh pihak pemerintah, jarang yang diadakan sendiri. Kalau [masyarakat Sedulur Sikep lainnya] mau ke sini, datanglah ke sini. Kami enggak ajak, karena kalau megnajak itu ada konsekuensinya, [seperti] harus tanggung jawab kalau lapar," ia menekankan.

"Tetapi yang jelas bagi kami tidak ada ritual, Samin itu ajaran non-ritual. Enggak semedi, enggak apa, karena yang penting bagi kami itu sama saudara rukun yang baik, kerja yang jujur, kita saling santai ben penak (biar enak)."

Salah satu kejadian yang terjadi di lingkungan suku samin dewasa ini

Warga Sedulur Sikep Samin Blora digegerkan dengan adanya selebaran ajakan aksi anarkis. Tulisan tangan itu tersebar di sejumlah sedulur sikep kabupaten setempat. Selebaran dengan bahasa jawa itu membuat tokoh Samin geram. Karena, isinya dinilai provokatif, tidak mencerminkan dengan ajaran Samin Surosentiko, Sang Guru Besar Samin.

Sesuai hasil penelusuran sementara, selebaran itu diduga berawal dari salah satu dukun di Desa Galuk, Kecamatan Kedungtuban. Selebaran di kertas putih hasil fotokopi itu paling atas bertuliskan ‘’Suro Sentiko Samin’’. Kemudian di bawahnya bertuliskan ‘’surat negoro kanggo wong cilik sanak jowo’’ atau artinya surat negara untuk orang kecil di jawa.

Dalam surat itu, mengajak warga jawa atau warga Samin meminta kembali aset yang dipakai oleh investor dan tambang. Selain itu, juga berisi ajakan untuk menjarah toko milik komunitas tertentu, minimarket dan SPBU. Dengan petunjuk berkumpul pada Jumat Legi. Kemudian paling bawah ada cap jempol di atas materai.

Selebaran itu langsung ditanggapi tokoh masyarakat Samin, bahwa surat tersebut tidak benar. Karena Samin tidak mengajarkan hal tersebut. ‘’Sampai tindakan seperti itu tidak mungkin, setahu saya ajaran samin, jangan melakukan iri dengki, bertengkar, bahkan mengambil barang temuan saja tidak boleh, apalagi sampai provokasi,’’ ujar Tokoh Samin, Gun Retno di Desa Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung.

Dia menuturkan, saat dia tahu adanya surat tersebut tersebar masyarakat Samin di Desa Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung. Langsung memberikan video tanggapan tentang isi selebaran itu tidak benar. Bahwa surat itu jauh dari ajaran Samin Surosentiko. Namun anehnya, setelah video tersebar komunitas samin di Ploso Kediren pada malam hari pelaku penyebar surat itu marah-marah. Bahwa mereka tidak terima jika dikatakan surat itu berisikan provokasi.



‘’Mereka mengatakan jika itu merupakan kata-kata dari Mbah Samin sendiri,’’ ujarnya menirukan.


Sehingga, dia meminta segera diproses oleh pihak berwajib. Karena isi surat itu sudah sangat membahayakan, dan memicu kerusuhan. ‘’Kami ingin tahu apa sebenarnya motif pelaku melakukan ini,’’ ungkapnya.

Tokoh Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Pramugi Prawiro Wijoyo mengatakan, Samin di Sambongrejo juga mendapatkan surat edaran tersebut. Bahkan surat edaran itu diberikan langsung kepadanya oleh pelaku. Diminta menyebar selebaran itu.

‘’Sebelum saya sebarkan sudah diamankan polisi, saya ya takut, saya tidak ngurusi hal semacam itu,’’ ujarnya. Pramugi menegaskan, selebaran itu didapatkan dari orang bernama Samijo warga Desa Galuk, Kecamatan Kedung tuban. ‘’Dia (Samijo) bukan orang samin, dia itu dukun,’’ ungkapnya.


Masyarakat Samin adalah komunitas yang menganut ajaran Samin. Ajaran Samin berangkat dari Samin Surosentiko (Raden Kohar) yang lahir 1859 di Klopodhuwur, Randublatung, Blora. Salah satu komunitas yang masih menganut ajaran Samin berada di di dusun Jepang, Kecamatan Margomulyo ,Bojonegoro Jawa Timur.

Dusun Jepang berada di tengah hutan, perbatasan Kabupaten Bojonegoro dan Ngawi, berpenduduk 258 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 600 jiwa. Namun yang betul-betul masih ngugemi (menjalankan dengan sesungguhnya) ajaran Samin sekitar 100 KK (250 jiwa). Meskipun sudah ada penduduk pendatang, namun kerukunan dan gotong royong semuanya berlaku sama. Karena prinsip Samin adalah sami-sami (bersama-sama). Kita semua saudara, tidak boleh membeda-bedakan.

Nama lain dari Masyarakat Samin adalah Peniten atau Sedulur Sikep. Sebutan-sebutan ini diakui oleh Mbah Hardjo Kardi (85) sesepuh masyarakat Sakin di Jepang, dia tidak mempermasalahkannya. Peniten artinya sikap untuk niteni (mencermati) ajaran dari leluhur.

Kata sedulur adalah saudara, sikep adalah senjata. Sedulur sikep bermakna ajaran Samin yang mengedepankan perlawanan tanpa senjata atau tidak menggunakan kekerasan. Karena pada mulanya ajaran Samin merupakan bentuk perlawanan penduduk bumi putera terhadap kolonialisme Belanda. Bukan dengan cara fisik, tetapi melalui tindakan pembangkangan terhadap segala macam peraturan pemerintah kolonial Belanda. Salah satunya, menolak membayar pajak karena mereka beranggapan bahwa bumi yang dipijak dan digunakan adalah milik Tuhan dan warisan nenek moyang.

Masyarakat Samin dikenal jujur dan terbuka terhadap siapapun termasuk kepada orang-orang yang belum dikenalnya. Mereka akan mengatakan apa saja sesuai dengan realitas tanpa ada rekayasa. Meskipun kadang disalah-pahami sebagai sikap lugu dan cenderung dianggap bodoh. Cara inilah yang dulu dipergunakan melawan Belanda, meski sudah mengerti tetapi pura-pura tidak mengerti. Mereka menganggap semua orang sebagai saudara sehingga sikap kebersamaan selalu diutamakan. Sifat-sifat ini tercermin dalam perilaku, sikap maupun bahasa yang digunakan.

Mereka sangat memegang ”solat” yang berarti solahing ilat (gerak lidah). Lidah harus dijaga agar tetap mengucapkan kata-kata yang jujur dan tidak pernah menyakiti orang lain. Lidah adalah sumber dari segala masalah. Jangan menyakiti orang lain, kalau tidak mau disakiti, jangan membohongi orang lain kalau tidak ingin dibohongi, jangan mencelakai orang lain kalau tidak mau dicelakai orang lain dan masih banyak.

Selain itu adalah gotong royong. Kalau ada yang sedang membangun rumah atau mengerjakan sawah misalnya, tanpa diminta semuanya akan datang dan membantunya. Gotong-royong untuk kebutuhan umum dinilai lebih tinggi nilainya daripada kebutuhan pribadi, dan kerja bakti merupakan hal yang terpuji. Gotong royong ini dikenal oleh masyarakat Samin sebagai sambatan atau rukunan.

Kebersamaan itu juga berlaku dalam hal simpan pinjam. Warga memiliki acara rutin yaitu arisan setiap 35 hari sekali (setiap Jum’at Legi), dengan iuran sebesar Rp 5.000,- namun ada yang menabung Rp 20.000,- Rp 50.000,- atau Rp 100.000,- Semua tabungan ini dikumpulkan dan dipinjamkan kepada siapa saja yang membutuhkan. Tanpa dikenakan bunga sama sekali. Karena ajaran Samin atau Sedulur Sikep adalah harus menolong saudara.

Menurut Mbah Hardjo Kardi, ajaran yang dianut masyarakat Samin disebut pandom urip atau hukum kehidupan bagi masyarakat pengikut Samin. Ajaran tersebut antara lain:

1. Angger-angger partikel (hukum tindak-tanduk atau tingkah laku), yang populer dengan istilah drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), mbujuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), dan krenah (nasehat buruk). Artinya masyarakat Samin jangan bersikap sombong, membenci orang lain, iri hati, bertengkar, membuat marah orang lain, bersifat cemburu, bermain judi, mengambil barang milik orang, sedangkan menyentuh saja tidak boleh. Sebetulnya maksud dari ajaran tersebut pada dasarnya adalah diharapkan jujur antara pikiran dan perbuatan atau kelakuan.

2. Angger-angger pangucap (hukum berbicara). Pangucap saka lima bundhelané ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu. Maksud dari hukum ini, orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh, dan sembilan. Angka-angka tersebut di sini adalah angka-angka simbolik belaka. Makna umumnya adalah kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang dapat menyakiti hati orang lain. Tidak “menjaga” mulut, mengakibatkan hidup manusia di dunia ini tidak sempurna. Maka orang harus berbicara secara baik dengan orang lain.

3. Angger-angger lakonana (hukum segala sesuatu yang harus dilakukan). Lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling dan trokalé dilakoni. Maksudnya, masyarakat Samin senantiasa diharapkan ingat pada kesabaran dan ketabahan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menghadapi segala permasalahan, prinsip kesabaran dan ketabahan dalam menyelesaikan masalah menjadi acuan utama. Di lain sisi, selalu menempatkan segala bentuk kebahagiaan maupun kesedihan sebagai bagian yang kodrati harus diterima. Secara umum, prinsip ini dapat dihubungkan dengan filsafat Jawa wong sabar bakal subur (orang yang sabar kelak akan makmur atau bahagia) ataupun nrimo ing pandum (menerima dengan ihlas pemberian Tuhan).

Komunitas (masyarakat) Samin mempunyai kepercayaan tersendiri, yakni Agama Adam. Menurut Mbah Hardjo Kardi, Agama Adam adalah agama kawitan dan ini dijadikan dasar pokok dalam hidupnya. Mengutip dari Fauzanati (2012:42), dikatakan dalam ajaran masyarakat Samin (Agama Adam) memiliki filosofi yang sangat penting, yakni agama iku gaman, gaman lanang, adam pangucape, damele rabi. Maksudnya agama iku gaman adalah senjata, gaman lanang adalah senjata laki-laki, adam pangucape bermakna ketika seseorang hendak melakukan persetubuhan harus dimulai dengan “jawab” pada waktu perkimpoian, dan damele rabi adalah bahasa dan alat kelamin laki-laki yang kemudian sebagai alat melakukan hubungan antar manusia (laki dan perempuan).

Meskipun ditengah kehidupan modern, masyarakat Samin tetap memegang ajaran Saminisme dari leluhur. Yaitu menjunjung kejujuran, keterbukaan, toleransi, gotong royong dan mempertahankan tradisi leluhur.

Selain hal-hal tersebut di atas, empat hal ajaran pokok Samin adalah :

1. Pangganda: Pangganda meliputi dua hal, yaitu ganda (bau) yang baik dan ganda (bau) yang buruk. Jika ganda yang baik maka hendaknya dilaksanakan, sedangkan ganda yang buruk hendaknya ditinggalkan.

2. Pangrasa: Pangrasa meliputi dua hal, yaitu rasa benar dan rasa salah. Jika rasa yang benar hendaknya dilaksanakan, sedangkan rasa yang salah hendaknya ditinggalkan.

3. Pangrungan: Pangrungon meliputi dua hal, yaitu pangrungan (mendengar) yang baik dan mendengar yang buruk. Jika mendengar yang baik hendaknya dilaksanakan, sedangkan mendengar yang buruk hendaknya ditinggalkan.

4. Pangawas: Pangawas meliputi dua hal, yaitu pangawas (melihat) yang baik dan melihat yang buruk. Jika melihat yang baik hendaknya dilaksanakan, sedangkan melihat yang buruk hendaknya ditinggalkan

Keterangan

Tahun :2019

Nomor Registrasi :201900983

Nama Karya Budaya :Ajaran Samin Surosentiko Bojonegoro

Provinsi :Jawa Timur

Domain :Adat istiadat masyarakat,ritus dan perayaan-perayaan

Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda


Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia

Komplek Kemdikbud
Gedung E Lt.10
Jl. Jenderal Senayan Sudirman Jakarta 10270
Email: kebudayaan@kemdikbud.go.id
Telepon: (021) 5725047, 5725564



Sumber 1:
https://www.google.com/url?q=https:/...YHBaD5q2eciQWZ

Sumber 2:
https://www.google.com/url?q=https:/...zkAGjFzUmw38wG

Sumber3:
https://www.google.com/url?q=https:/...G1ZLgf-RIkWh0d

Budaya yang sangat luhur, memang dulunya....nenek moyang kita itu orang yang luhur dan ramah tamah.....semua orang yang terlihat dimatanya adalah orang baik
johanneskrauserAvatar border
pakisal212Avatar border
brigadexiiiAvatar border
brigadexiii dan 5 lainnya memberi reputasi
4
2.2K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan