Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Puncak Iman adalah Saat Rasionalitas Diabaikan (Agnostic-Theist)
Masih bahas soal agnostik, dari beberapa komentar saat bahas trit tentang apa sih itu Agnostik, salah satu pertanyaan/keraguan yang muncul beberapa kali adalah :

"Apa bisa mempercayai sesuatu yang tidak bisa dinalar?"

Yang intinya tidak setuju bahwa, seseorang yang beragama, bisa saja dia pada saat yang sama adalah seorang yang Agnostik. Atau sebaliknya, kalau seseorang itu agnostik, tidak mungkin dia beragama, atau kalaupun beragama ya cuma sekedar label dan tidak benar-benar diimani.

Maka dalam trit ini, ane akan berusaha berargumen, bahwa antara menjadi agnostik dan menjadi orang beriman, itu sebenarnya tidak ada konflik di antara keduanya.

Dasar pemikirannya bukan dari pemikiran ane sendiri, tetapi ane mengutip dari salah satu filsuf dari Eropa yang juga seorang teolog Kristen.


Quote:



Ada banyak cara menerjemahkannya, tergantung dari pemahaman anda. CMIIW, tapi saya menerjemahkannya : karena itu absurd, makanya itu disebut iman.

Jadi dari sudut pandang ini, justru letak keimanan yang tertinggi itu adalah karena apa yang diimani itu absurd, tidak masuk nalar, tidak rasional.

Kalau dia masuk akal, kalau dia rasional, ya namanya bukan iman.

Mari telusuri beberapa kalimat pernyataan di bawah ini untuk mendapatkan gambaran tentang maksud kalimat singkat di atas (cuman 3 kata, credo quia absurdum) :

1. Saya percaya bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat. Bisakah itu disebut iman? Kalau itu disebut iman/percaya, kira-kira dengan rentang 0 - 10, dapat nilai berapa?

Apa yang membutuhkan iman dalam mempercayai pernyataan tersebut? Tiap hari ente bangun pagi (asal bukan pemalas ya), ente bisa lihat matahari terbit di timur dan tenggelam di barat. Terus butuh iman untuk mempercayai hal itu buat apa? Bodoh kan?

2. Saya percaya bahwa jumlah sudut-sudut sebuah segitiga adalah seratus delapan puluh derajat.

Bisakah disebut iman? Ya bisa juga, kalau dia asal percaya pada guru matematikanya, tanpa pernah mencoba menghitung jumlah sudut segitiga.
emoticon-Entahlah
Tapi misalnya kemudian ada yang bilang, eh guru matematikamu bohong lho. Seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk membuktikan benar/salah pernyataan gurunya itu? Apakah butuh iman untuk tetap mempercayai pernyataan gurunya itu? Bukankah cukup hitung saja jumlah sudut segitiga dan kebenarannya akan terungkap.

---------------------------

Bandingkan dengan beberapa kalimat pernyataan di bawah :

Quote:


Secara nalar dan rasionalitas, that's absurd. Itu absurd. Nggak masuk akal. Orang kalau sudah mati dan dikubur tiga hari ga bakalan bangun lagi. Nggak ada yang namanya orang mati terus hidup lagi. Secara biologi tidak masuk akal. Mau lakukan eksperimen bunuh orang lalu ditunggui apa dia bisa bangkit lagi? Dst.

Jadi di luar nalar, tetapi orang percaya. Itulah yang namanya lompatan iman.

Jadi bisa dikatakan sebagai iman/kepercayaan, justru karena yang dipercayai itu absurd dan tidak masuk nalar, tidak masuk akal, tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, akan tetapi orang tersebut memilih untuk percaya.

Credo Quia Absurdum

Salam Kaskus.

emoticon-Nyepi

Jadi being an agnostic doesn't automatically means that you don't have religion or certain faith. That's what faith is. You still believe, even when you don't understand. You still believe, even when it's illogical. Etc.

0
624
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan