Bu Sri

Namanya Bu Sri atau kami biasa memanggilnya mama fikar karena anak sulungnya bernama Zulfikar. Biasa ditempatku nama anak lebih familiar daripada nama orang tuanya, begitu juga dengan Bu Sri. Wanita yg umurnya belum masuk paruh baya. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah ku, hanya berbeda komplek dari rumahku. Anaknya yang bernama Fikar dulu adalah salah satu murid disekolah tempat aku bekerja. Bu Sri adalah sosok yang ramah,supel dan selalu menyapa dengan senyum, banyak yang suka dengannya karena pribadinya yang ramah itu. Bahkan guru-guru di sekolah tempat ku mengajar dulu pun beliau dikenal sebagai sosok yang menyenangkan dan tidak banyak komplen.
" Bu Mira, saya titip Fikar ya, kalo dia nakal atau usil tolong nasehati." Begitu yang selalu Bu Sri sampaikan jika bertemu aku di ruang Tata Usaha untuk membayar SPP Fikar. Sosok yang ramah,periang dan murah senyum.
Lama tak bertemu karena aku ikut suami pindah ke luar kota sampai akhirnya aku kembali ke rumahku, kulihat sosok Bu Sri amat sangat berbeda. Dia kerap berdiri mematung di samping warung sayur diseberang rumahnya,dengan tatapan kosong. Kadang aku berpapasan dengannya di jalan dengan dandanan yang amat sangat berbeda dengan yang biasa dia kenakan. Jiwa penasaranku sebenarnya ingin tau kenapa dengan Bu Sri tapi suamiku bilang jangan kepo jadi orang, mungkin dia sedang ada masalah, begitu yang selalu diucapkan suamiku.
Siang ini sepulang menjemput anak-anak dari sekolah, anakku merengek meminta dibelikan bakso kesukaannya yang ada di pos kamling depan komplek dekat rumah Bu Sri. Jiwa penasaranku kembali muncul karena sudah hampir dua bulan aku tidak melihat Bu Sri karena aku harus pulang ke kampung halaman. Dan semenjak pulang dari kampung tak pernah lagi kutemui sosok Bu Sri disekitaran komplek. Akhirnya kuberanikan diri bertanya kepada Mas Jun penjual bakso yang juga tetangga Bu Sri.
" Mas Jun,kok aku udah gak pernah liat Mama Fikar lagi ya, kemana ya mas?" Tanyaku kepada Mas Jun.
"Lah Mba Mira memang gak tau kalo sekarang mama Fikar sudah pulang ke kampungnya?, dipulangkan sih mba tepatnya."
"Oh ya? kenapa?kok saya gak denger tuh mas." Jawabku semakin penasaran.
"Walaah Mba Mira ketinggalan berita. Mama Fikar kena gangguan jiwa mba semenjak rumahnya dijual sama Fikar."
"Astagfirullah, dijual gimana Mas Jun?".
"Ya dijual mba, semenjak alm suaminya meninggal rumahnya itu memang sudah mau dijual sama Fikar mba,lha wong yang bikin bapaknya stres sampe sakit terus meninggal itu ya Fikar. Dia pingin jual rumahnya itu buat nikah sama pacarnya. Lha orang tuanya gak setuju tho wong Fikarnya kerja juga belum, sepeninggal bapaknya gak lama rumah itu dijual diam-diam sama Fikar, ibunya diusir,uang hasil jual rumah dipakai untuk nikah sama si Fikar. Bu Sri mungkin shock sampe jadi orang linglung, sudah pernah dibawa pulang sama ade nya si Fikar ke kampung tapi balik lagi kesini,katanya runah saya disini,bukan dikampung,semenjak itu dia sering bengong di seberang rumahnya sambil natap rumahnya yang sekarang sudah dibeli orang lain. Kami kasian mba Bu Sri disini sudah gak ada yang mau ngurus, Fikar sudah gak mau tau ibunya bagaimana, adiknya Bu sri yang ada di kecamatan lain pun sudah lepas tangan gak mau perduli lagi, akhirnya kami dan pak Rt sepakat untuk minta bantuan desa buat mulangin Bu Sri ke kampungnya. Oiya mba ini baksonya sudah." Ucap Mas Jun seketika yang membuat ku kaget.
"Ooh iya jadi berapa mas?"
"Jadi Rp36.000 mba."
Setelah kuberikan uang dan kuraih bakso yang disodorkan Mas Jun aku pun bergegas pulang. Sepanjang jalan tanpa sadar aku teringat Bu Sri, sosok ibu yang harus mengalami gangguan kejiwaan karena ulah anaknya. Kasihan, dalam hati aku berdoa semoga kelak anak-anakku tidak memperlakukan kedua orang tuanya dengan dzolim. Aamiin.