Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

RyoEdogawaAvatar border
TS
RyoEdogawa
Di Depan DPR, Mantan Ketua IDI Blak-blakan Ungkap Alasan Terawan Mangkir


Di Depan DPR, Mantan Ketua IDI Blak-blakan Ungkap Alasan Terawan Mangkir Saat Dipanggil MKEK


Suara.com - Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) periode 2015-2018, Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG, akhirnya ikut buka suara terkait polemik rekomendasi pemberhentian Terawan Agus Putranto sebagai anggota IDI.

Di depan Komisi IX DPR RI, Prof Marsis secara terbuka mengungkapkan alasan dokter Terawan tidak pernah datang saat pemanggilan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Marsis mengungkapkan pada periode kepemimpinannya, ia sempat diminta mengeksekusi putusan MKEK.

"Saya katakan pada waktu itu, apakah beliau sudah diberikan kesempatan untuk pembelaan diri di depan majelis yang terhormat," ujar Prof Marsis saat rapat bersama Komisi IX DPR RI, Senin (4/4/2022).

Prof Marsis mengungkapkan, bahwa MKEK telah melakukan pemanggilan dokter Terawan, namun yang bersangkutan tidak hadir.

"Saya kebetulan juga mantan tentara. Jadi saya menelepon dokter Terawan, saya minta pak Terawan bisa nggak ngomong dengan saya, saya berikan kesempatan untuk berbicara melakukan pembelaan diri. Dia mengatakan, 'Saya siap Prof Marsis'," lanjutnya.

Dalam waktu tiga hari, mereka kemudian bertemu di Hotel Borobudur, Jakarta. Pada pertemuan itu Prof Marsis menanyakan alasan Terawan mangkir saat dipanggil oleh MKEK.

Dalam kesimpulan, saya melihat suatu cara yang tidak komunikatif itu terjadi di antara Pak Terawan dengan majelis kode etik. Buktinya saya telepon dalam 3 hari beliau datang mau ketemu saya," ungkap Prof Marsis.

Lebih lanjut, Prof Marsis mengatakan, bahwa dalam pertemuan itu, Terawan berjanji untuk bisa menyelesaikan masalah dengan terhormat. Ia juga sepakat untuk membawa dan melengkapi bukti terkait dugaan tentang masalah kelalaian dalam praktik kedokteran.

"Tapi sayangnya dalam perjalanan waktu, komunikasi ini tidak terjadi dengan baik dan dalam keputusan sidang di Samarinda, diputuskan dokter Terawan akan dieksekusi," ujar Marsis.

Oleh sebab itu, ia menawarkan agar masalah antara IDI dan dokter terawan bisa diselesaikan secara internal.

"Saya hanya menawarkan seperti itu, dan tentu saya anjurkan ke dr Adib kita cari jalan yang baik untuk dr terawan dan dokter idi.

"Saya kenal dengan beliau, saya percaya dengan kepribadian beliau tentunya kalau dilakukan dengan baik dan terhormat beliau bisa menyelesaikan masalah ini. 

https://www.suara.com/health/2022/04...-mkek?page=all

Komen TS dengan menyajikan berita tahun 2018 sebagai bahan renungan..




Gerald Liew, Kasus Gagal Dokter Terawan


Januari 2015 jadi momen paling sial dalam hidup Gerald Liew. Di akhir bulan itu, pengusaha asal Singapura itu harus menerima kenyataan pahit bakal cacat seumur hidup. Nahasnya, kenyataan tersebut bahkan menghampirinya tanpa ia sadari.

Ya, Gerald yang semula manusia sehat, jadi invalid dan buta realitas lantaran otaknya hancur. Peristiwa celaka itu terjadi saat Gerald sedang mengikuti prosedur ‘cuci otak’ Dokter Terawan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Usai cuci otak, Gerald mestinya bangun. Namun ternyata, ia tak bisa membuka mata. Ia pun tampak kesulitan untuk bangkit, sehingga keluarganya langsung merasa ada yang salah.

“Mereka (tim dokter) mengatakan prosedur hanya akan berlangsung 20-30 menit, tapi nyatanya keseluruhan prosedur berlangsung selama 1,5 jam. Dan setelah kami sadar ada sesuatu yang salah, kami memanggil Dokter Terawan kembali ke ruangan. Ayah saya kemudian dibawa ke ruang operasi. Di sana, dia menghabiskan waktu 7 jam,” kata John Liew, putra Gerald, via sambungan telepon dari Singapura kepada kumparan, Kamis (5/4).

Sepupu John, Sarah Diana, pada hari yang sama membeberkan rincian kisah yang menimpa pamannya tiga tahun lalu itu.

Gerald Liew, tutur Sarah, ialah warga negara Singapura yang sering bolak-balik Jakarta untuk keperluan bisnis. Ia pertama kali mendengar soal Dokter Terawan dari rekan bisnisnya pada awal 2015. Katanya, Terawan punya metode terapi hebat. Gerald pun diajak ikut menemui sang dokter untuk membuktikan kemanjuran ‘sihir’ itu.

“Karena diajak oleh rekan bisnis, akhirnya ya dia (Gerald) ikut saja,” kata Sarah saat bertemu kumparan di Hotel Pullman, Thamrin, Jakarta Pusat.

Dari hasil pemeriksaan awal, Gerald didiagnosis berpotensi terserang aneurisma (pembengkakan pembuluh darah) yang bisa memicu stroke hemoragik (stroke akibat pembuluh darah pecah). Selanjutnya, ia disarankan untuk ‘cuci otak’ dan memasang koil untuk mencegah aneurisma tersebut.

Gerald pun setuju untuk menempuh prosedur cuci otak alias brain flushing. Maka, sehari sebelum terapi, dia menghubungi keluarganya di Singapura untuk mengabarkan akan melakukan “operasi kecil”.

Keluarga Gerald di Singapura, tutur Sarah, tentu saja kaget mendengar kabar tersebut. Sebab Gerald terbang ke Jakarta dalam keadaan sehat. Lagi pula, selama ini ia dikenal sangat memperhatikan kesehatan, termasuk dengan rutin berolahraga dan menjaga pola makan. Jadi buat apa “operasi kecil” itu, tanya mereka.

Gerald menepis kekhawatiran itu. Ia mengatakan, ini hanya operasi kecil yang tak perlu dicemaskan. Pula, kata Gerald, ia ditangani oleh dokter hebat yang terkenal.

Tetap saja, keluarga Gerald--istrinya, Becky Liew, dan anak sulungnya, John Liew--memutuskan untuk terbang ke Jakarta hari itu juga.

Seperti orang lain yang kerabatnya menjalani ‘cuci otak’ di RSPAD, Becky dan John menyaksikan langsung prosesnya dari luar ruangan yang disekat kaca.

Sebelum prosedur dimulai, John sempat bertanya pada Terawan tentang apa cuci otak itu, dan bagaimana prosesnya akan berlangsung.

Terawan, ujar John, lantas menjelaskan kepadanya bahwa itu adalah operasi kecil yang akan makan waktu 20-30 menit, dan hanya memerlukan pembiusan lokal. Jadi, Gerald akan tetap sadar selama operasi berlangsung.

Tapi kemudian, waktu operasi molor menjadi satu jam lebih, membuat keluarga Gerald gelisah. Lebih-lebih, setelah proses cuci otak usai, Gerald dibawa keluar ruangan oleh tim dokter dalam kondisi tak sadarkan diri.

“Dia kan seharusnya sadar. Jelas ada sesuatu yang salah,” kata John, melihat Gerald tak kunjung membuka mata, pun menunjukkan gelagat janggal.

Terawan mengecek keadaan Gerald dan langsung membawanya ke ruang operasi. “Tujuh jam di ruang operasi. Tujuh jam,” kata John, menekankan betapa lamanya mereka menunggu dengan rasa frustrasi, untuk menanti kejelasan.

Akhirnya, setelah tujuh jam di ruang operasi, Gerald dipindah ke ruang unit perawatan intensif (ICU). Namun kondisinya tak terlihat membaik.

Ia (Terawan) menjelaskan, aneurisma ayah saya terletak pada posisi sulit di otaknya. Jadi dia ingin melakukan prosedur coiling yang tidak mudah. Tapi setelah tujuh jam, mereka (tim dokter) mengatakan tidak bisa melakukan apa pun. Ayah saya mengalami kerusakan otak.

Menurut Sarah, kepada dia, John, dan Becky, Terawan menjelaskan telah terjadi kecelakaan saat pemasangan koil (kawat tipis untuk menyumbat pembuluh darah yang membengkak). Koil yang dipasang ternyata meleset dan melukai otak serta area sekitarnya.

“Aku nanya ke Dokter Terawan (kenapa bisa begitu), dia bilang enggak tahu kenapa bisa kayak gitu. Karena koilnya udah berada di posisi yang benar, kalau kata dia. Intinya, aku merasa dia menyalahkan koilnya,” kata Sarah menceritakan ulang percakapannya dengan Terawan tiga tahun lalu.

Terawan, tutur Sarah, kemudian mengatakan sudah tidak bisa melakukan apapun untuk memperbaiki kondisi kerusakan otak Gerald.

“Dia tidak mengakui kesalahannya. Dia bilang ini sebuah kecelakaan,” ujar John.

Dokter Terawan bilang, ‘Saya juga enggak tahu. Ini pertama kali kejadian.’ Jadi koilnya meleset, ngehancurin otak Uncle Gerald. Dia (Terawan) juga bilang, Uncle enggak akan bisa ngomong lagi karena otaknya udah hancur. Enggak akan bisa jalan juga, lumpuh total.

Tim Terawan kemudian menawarkan agar Gerald ditangani lewat fisioterapi (pengobatan untuk penderita yang mengalami kelumpuhan) setelah kondisinya membaik. Mereka juga akan mengecek kembali kemungkinan untuk melakukan operasi perbaikan.

“Tapi melihat kondisi ayah saat itu, saya merasa menyerahkannya ke fisioterapi bukan hal yang tepat, dan saya tak percaya padanya (Terawan) setelah semua yang terjadi,” kata John.

Pada akhirnya, ketika itu keluarga Liew memutuskan untuk tidak melayangkan tuntutan, termasuk tidak lagi menuntut jawab tentang kenapa kesalahan fatal itu bisa terjadi pada Gerald yang sesungguhnya tidak sakit apa pun.

Alih-alih ribut di Jakarta, John memutuskan untuk membayar biaya ‘operasi kecil’ gagal itu sebesar Rp 122 juta lebih (setelah didiskon 30 persen karena ‘kecelakaan’ yang terjadi), lalu menyewa pesawat medis (ambulans) guna membawa Gerald kembali ke Singapura, dan menyerahkan sang ayah ke tangan ahli saraf di RS Mount Elizabeth Singapura.

Sewaktu keluarga menceritakan kronologi musibah yang menimpa Gerald di Indonesia, ujar Sarah, “Dokter di Singapura heran kenapa Dokter Terawan mengambil tindakan itu (coiling). Memang ada kemungkinan aneurisma, tapi bisa jadi itu 10 tahun lagi, 20 tahun lagi. Bisa saja Uncle sudah mati duluan karena sebab lain. Jadi (coiling) gak diperlukan karena malah berisiko.”

Selanjutnya di RS Mount Elizabeth, kondisi Gerald perlahan membaik. Ia, misalnya, bisa menggerakkan tangan dan kembali berbicara, berkebalikan dengan keyakinan Terawan bahwa dia tak mungkin lagi bisa bicara.

Namun, fisik Gerald pulih sebatas itu. Seperti yang diucapkan Terawan, Gerald benar-benar lumpuh hingga kini. Dia tak pernah lagi bisa berjalan. Pula otaknya tak bakal bisa pulih seumur hidup.

Otak Uncle (Gerald) hancur. Padahal tadinya sehat, enggak sakit apa-apa, hanya diterapi ikut kawan. Sekarang dia mengalami memory jumping. Memori baru tak ingat, memori-memori lama ingat.

Kehancuran pada otak Gerald adalah nyata. Sebagian ingatannya hilang. Ia, contohnya, tidak ingat pernah ikut terapi cuci otak Dokter Terawan. Yang tak kalah mengerikan, memori Gerald kerap berhenti di satu momen di masa lalu.

“Uncle mengira ibunya masih hidup, padahal sudah meninggal belasan tahun lalu,” kata Sarah.

Gerald juga tak ingat beberapa rekannya, pula tak pernah bisa menjawab saat ditanya kenapa memutuskan untuk melakukan ‘cuci otak’, dan apakah dia tahu sejak awal soal risiko pemasangan koil selama cuci otak berlangsung.

“Kami, keluarganya, sampai sekarang enggak tahu dia (Terawan) ngomong apa sama Uncle Gerald,” ujar Sarah.

Dokter Fritz Sumantri Usman, Sp.S, FINS, interventional neurologist di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, mengatakan pemasangan koil biasanya hanya dilakukan saat aneurisma sudah pecah, bukan untuk tindakan pencegahan.

“Berdasarkan beberapa penelitian yang sangat valid, koil hanya dipasang setelah aneurisma pecah,” kata Fritz di RSUP Fatmawati, Jakarta Pusat, Jumat (6/4).

Jika memang aneurismanya besar, imbuh Fritz, “pasien boleh diberi pertimbangan agar aneurismanya dikoil, selama dia tahu risiko kematian dan kecacatan yang mungkin timbul. Karena pemasangan koil pada kasus aneurisma memiliki risiko relatif lebih besar dibanding dengan prosedur-prosedur intervensi lainnya.”

Meski demikian, tegas Fritz, “Jurnal-jurnal medis mengatakan, kalau aneurisma belum pecah, sebaiknya jangan diapa-apakan.”

Saat ini Gerald melakukan rawat jalan di Singapura. Namun akibat kehancuran otaknya, bisnisnya pun ikut remuk.

“Ini seperti efek domino. Kondisi keuangan keluarga memburuk karena pengobatan yang tidak murah, dan itu pun mempengaruhi hal-hal lain,” kata Sarah.

Sampai sekarang, Uncle masih lumpuh, di kursi roda. Enggak bisa ngapa-ngapain, tapi bisa komunikasi. Kalau disuruh terapi lagi akan marah, macam, ‘Gue udah sakit banget. You don’t know the pain.’ - Sarah Diana

Dokter Terawan yang beberapa kali dihubungi kumparan, belum bisa memberikan keterangan terkait kasus Gerald Liew karena agendanya yang padat. Namun, usai pertemuan dengan Komisi I DPR di RSPAD, Rabu (4/4), ia sempat mengatakan bahwa semua prosedur tentu memiliki risiko.

Semua ada risikonya. Yang penting coba dikerjakan dengan cermat, dengan persiapan yang baik, dan didukung doa.
- Dokter Terawan

Pada akhirnya, layaknya kehidupan, ada lembar hitam, putih, pula kelabu. Perkara ini mungkin tak sesederhana yang dikira. Selayaknya semua pihak terkait duduk satu meja untuk mencari penyelesaian bersama.

https://www.google.com/amp/s/m.kumpa...dokter-terawan

Beruntung banget gak sampe dituntut..









typhoeAvatar border
viniestAvatar border
hercule2008Avatar border
hercule2008 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
5.7K
144
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan