dikkysudrajatAvatar border
TS
dikkysudrajat
IDI Transparanlah


IDI, Transparanlah

Beberapa tahun lalu, Peradi (organisasi advokat yang sah) memecat satu advokat ternama karena hasil pemeriksaan yang cukup lama dan melibatkan dua ahli etika dari luar, disimpulkan: terbukti melanggar kode etik advokat.

Advokat tersebut pernah dekat dengan aku (tak usah kutulis namanya), seseorang yang kuberi respek; a wellknown lawyer, tokoh dan pejuang HAM yang telah kuakrabi sejak kerja di sebuah majalah hukum.

Saat itu aku ikut prihatin. Sulit percaya. Tetapi, aku harus memaklumi pemecatan tersebut karena ada etika profesi advokat yang tak boleh dilanggar dan telah disidangkan Peradi dengan ketat dan melibatkan dua pakar etika.

Etika profesi itu tidak hanya mengenai aturan perilaku anggota organisasi suatu profesi, pula mengenai kaidah-kaidah keilmuan--apalagi menyangkut kesehatan manusia. Kaidah-kaidah yang menuntut syarat berat, ilmiah, harus bisa dipertanggungjawabkan di forum internasional.

Namun, masih banyak yang tak paham ihwal etika profesi ini, bahkan anggota suatu organisasi profesi.

Dalam kasus dr Terawan yang sedang viral itu, sebaiknya IDI menyampaikan ke publik dasar dan bukti mereka menjatuhkan sanksi agar tidak menimbulkan rumors dan opini yang ngawur. Sampaikan ke semua media massa agar info meluas dan akuntabel.

Masyarakat negeri ini perlu dibekali pemahaman mengenai etika (terutama profesi), apa guna atau tujuannya. Juga dibiasakan transparan dan akuntabel.

Masyarakat boleh berbeda pendapat mengenai apa pun, namun harus ada kerangka pikirnya. Landasan menilai sesuatu agar tak asbun, apalagi di era digital dan media online.

IDI selayaknya transparan, paling tidak untuk mengingatkan publik: ada etika yang harus dipatuhi. Jangan biarkan sas-sus, rumors, berkembangbiak karena itu tak sehat.

________________________________________

Atas Nama Rakyat

Presiden Soeharto dulu sering (melalui TVRI dan media massa) mengimbau rakyat agar hidup irit, mengencangkan ikat pinggang, juga menyuruh makan nasi aking (nasi bekas yang "didaur ulang"). Sementara, kekayaan keluarga dan para kroninya semakin gila. Monopoli, oligopoli, amat kuat dalam pengelolaan perekonomian negara. Soeharto sering mengatakan "demi kepentingan negara dan rakyat."

Selama BJ Habibie jadi presiden (transisi ke Pilpres maka tak lama), para orang dekatnya memanfaatkan kehancuran perekonomian nasional akibat Krismon 1997-1998, perkoncoan berunsur sektarian mendadak dominan, dan ada gagasan dari beberapa menterinya agar dilakukan kebijakan redistribusi aset (bagi-bagi asetnya para konglomerat yang mengemplang BLBI). Alasan mereka "demi negara dan rakyat" pula.

Saat Gus Dur presiden, mendadak banyak yang mengaku Nahdliyin (orang Nahdlatul Ulama) dan mau menguasai BUMN dan proyek-proyek negara. Gus Dur sendiri seperti tak butuh apa-apa, istana negara malah dia bikin kayak tempat nongkrong bagi siapa saja yang mau datang. Tetapi, cara dan kebijakannya yang selow dan bahkan dituduh "ugal-ugalan" karena acap bertindak tanpa mengikuti aturan kenegaraan dan hukum, itu kemudian dianggap para politisi membahayakan negara.

Ketika Mega jadi presiden menggantikan Gus Dur melalui drama politik yang menggemparkan itu, ia sering mengeluh: capek jadi tukang cuci piring (maksudnya, menangani rusaknya perekonomian negara dan rakyat selama 35 tahun). Partainya, PDIP, pun dituduh koruptif dan banyak petualang masuk (sering pula disebut penumpang gelap), yang mendadak jadi kader dan cawe-cawe urusan negara, terutama aset BUMN. Partai politik yang pede menyebut diri "partainya wong cilik."

Dua periode kekuasaan SBY, praksis korupsi, kolusi, nepotisme, semakin menggila, menjerat banyak kader Partai Demokrat; pengurusan negara bahkan disebut seolah tanpa pemimpin, berjalan begitu saja atau autopilot, dan SBY sering mengatakan: saya prihatin.

Sampai menuju akhir dua periode kekuasaan Presiden Jokowi, banyak sekali pembangunan infrastruktur hingga ke semua pelosok negeri, mafia minyak diputus, tetapi utang negara semakin besar dan Nawacita yang dicanangkannya, seolah dia lupakan. Para oligark tetap kuat, kedelai bahan baku tahu tempe dan minyak goreng pun bisa sulit didapat rakyat, juga sering disindir hanya presiden bonekanya orang-orang kuat yang mengitarinya.

Dari semua rezim penguasa tersebut, tak ada yang benar-benar serius memperbaiki perekonomian yang pro rakyat. Penegakan hukum dan perlindungan HAM (termasuk melindungi kebebasan beragama para minoritas) pun hanya ada harapan saat Gus Dur kepala negara. Lingkungan hidup tak jua dipedulikan sungguh-sungguh, seolah takut menindak para konglomerat dan pejabat negara yang berkepentingan.

Tetapi, selemah-lemahnya Gus Dur, beliau kuanggap Presiden RI paling rock n roll, egaliter, berani, dan seakan tak takut siapa pun. Sayang sekali beliau lantas digusur oleh para politisi yang sarat kepentingan personal dan kelompok.

Di negara ini banyak sekali para oportunis dan petualang politik yang haus kekuasaan dan harta, yang gemar mendirikan parpol dan ormas atau mengaku kader (pindah parpol) sesuai kebutuhan, agar kecipratan uang negara dan jabatan, juga para tukang olah yang senantiasa mengatakan "atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat."

Mboh, rakyat yang mana.

Penulisan oleh Dikkysudrajat©
Cerita Pendek Kegiatan dan Opini Sendiri.
Karya.Original
Foto hasil jepretan sendiri.
0
5.4K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan