twisctreAvatar border
TS
twisctre 
Antara Abar dan Bogor
Antara Abar dan Bogor, kisah kasih di balik transportasi umum, yang dijalani kita kita semua, namun tak terdasari kita semua. Kisah ini benar-benar fiksi ya, didasari pada si Aku. Nanti di salah satu edisi akan penulis buka siapakah "aku".

Kisah ini adalah dilema harian pengguna transportasi umum. Mungkin satu dari sedikit series tulisanku yang tak ada kekerasan, karena biasanya tulisanku ada menyangkut ke senjata api. Kali ini aku mau buat tulisan yang agak lebih friendly by karena melawan arus horor di SFTH hari kiwari ini. Semoga tak mangkrak. Semoga masih ingat-ingat agar melanjutkan. Kalau butuh fast contact terkait cerita ini bisa dm ig ane @jr205marchen gan.

Quote:




01. Lintas Berempat

Tadi malam kepalaku pusing. Aku kurang tidur atau apalah, apakah terpapar Covid 19, aku tak tahu. Yang jelas kemarin aku disuruh ibu untuk melakukan swab antigen. Negatif. Aku juga tak batuk-batuk.

Baru aku nyaris lempar hp karena mendengar suara Denny Sumargo, dengan podcast clickbait yang menjadi idola adik dan bunda. Latahku terbang, dan menghantam seperti kencangnya Argo Bromo Anggrek kalau disuruh lari di DDT. Ingin mengucapkan kata sakti itu, tapi itu ibu, bukan abang-abang tukang sebar paku.

Isi kepala menjadi puitis, lelah, mabuk, kepayang, terlilit, namun juga bahagia, tawa, ceria. Apakah cerianya di permukaan? Tak tahu aku. Apakah semudah menggambarkan hikayat pada zaman SMA? Tidak juga.

Terlihat coretan di kertas catatanku, yang sudah 3 bulanan ini kelabu. Iya, Periuk Gandar Golong, Bila Berhenti Abar Harus Terikat. Iya, seperti abar JR 205 yang meraung kencang ketika berhenti di Stasiun Cikarang.

Aku memotret. Seperti biasa. Aku tak peduli senja, preset, filter. Selama foto menyampaikan informasi, ya sudah. Selama ada kisah dalam jepretan, entah itu penumpang kalah dengan petugas, entah adu mulut yang menjadi gelut di ujung peron. Nyawa yang teregang di stasiun transit raksasa. Begitulah.

Kekecewaan terlontar pada kontraktor, yang katanya dikepalai temanku. Kok tidak peduli sama moda rel? Kok tidak peduli pergerakan manusia di jalur yang sudah dari zaman kuda makan batu sudah banyak penglaju. Biarlah menjadi pelajaran bahwa kita harus berdikari dalam industri. Tol saja lambat kok, mungkin mengharap kereta menyelimuti nusantara sama saja berharap adanya lebaran kuda.

Dari tas, berceceranlah isi kartu pos tua. Karena aku menyenggol pembatas area KRL dan area Walahar sampai terjungkal. Ada kartu dari Langsa, oleh teman namanya Anita. Kiriman dari Gunung Mas, pengirimnya namanya Dimas, isinya foto mas-mas. Eh lupa, dengan latar belakang hutan Kalimantan. Ada juga pucuk surat betulan, dikirimkan kawan filateli di Morowali, di dalamnya ada foto dia lagi jalan ke Tolitoli.

Dan satu surat, dari ibunda. Sudah 3 tahun tiada, karena gula darah. Pucuk surat pada zaman dulu, 2001, ketika aku tengah menjadi mahasiswa rantau di Kota Palu. Aku tidak kuliah di sana, namun tuntutan PKL menyeretku sejauh ke Palu demi menggarap lahan yang luar biasa besar. Mewujudkan mimpi meningkatkan sektor industri, melahirkan taipan dan jutawan dari permesinan dan alat berat. Berat hati kala masih mencintai Bandung sebagai kota dingin, kota bersahaja, dan kota mendung pada masa itu.

Surat cinta itu berisi uang dan kabar sayang dari bunda. Hobi numismatik yang setitik membuat masih ada Rp 100 ribu edisi pertama dirilis. Apakah kubelanjakan duit semuanya? Tidak. Apakah aku rela duitnya kehilangan valuasi sejak beberapa bulan lalu? Tak apalah, nanti sejarah akan membuktikan uang ini diburu demi mahar dan ikatan cinta.

Tertulis di surat ibuku, pesan mencari jodoh. Aku mengabaikannya puluhan tahun. Ini sudah nyaris paruh baya, aku masih sendiri. Aku tahu memang banyak kawan yang bisa merelakan dirinya tak menikah demi kerjaan. Aku tahu bahwa ada teman yang menjual dirinya ke perusahaan sampai teganya dengan sadar menceraikan.

Aku tahu bahwa temanku sudah tidur selama-lamanya di pusara. Beberapa hari lalu. Bukan karena corona. Aku tak mau sampaikan di sini, aku bukanlah tukang ramal apalagi tukang indigo.

Aku tak berminat. Awalnya. Namun niat itu muncul setelah aku terpentok jendela KRL Holec, sekitar 2011. 10 tahun lalu ya? Aku jalin hubungan dengan wanita di Kapin Raya. Sementara saat itu aku masih tinggal di tengah kota - bilangan Bidara Cina. Aku coba bermotor, bolak balik Kalimalang, demi mengejarnya.

Namun nama sungai itu menunjukkan nasibku karena dia. Tertimpa malang, karena tiang listrik malang di Cipinang, siallah hubunganku dengannya. Dianggapnya tak setia. Lebih mementingkan kawan ketimbang cinta. Namun ada hikmahnya pula. Aku tak jadi tersiksa posesivitas manusia.

Dari kartu pos itu, aku coba raih lagi beberapa sahabat pena. Aku hanya pegang alamatnya. Pernah aku coba datangi salah satu sapen itu. Rumahnya di dekat exit tol Singosari, yang mau ke arah markas raja karoseri di Indonesia. Sesuai nama kabupaten tempatnya tinggal, kandas untuk mengikat cinta karena alasan agama. Nasibku seakan seperti sudah terpatri dalam nasab, walau aku yakin bisa diubah.

Baru malam ini aku di Cikarang tak bergerak hingga 2 jam. Biasanya buru-buru balik, supaya bisa rebahan, meluruskan badan. Bahkan aku hampir tidak dapat Angkot Bojong sebagai langganan setia. Di rumah yang masih bernuansa pedesaan tapi dijepit kota ini, aku memilih tambatan kaki ketika habisnya hari.

Nama-nama di kartu pos lungsuran itu kembali membayangi. Sudah lama tidak dikeluarkan dari meja kerja. 10 tahun lebih, sejak aku mulai memutuskan merapikan karena tuntutan penyimpanan yang amat amat sangat besar. Siapa tahu masih ada alamatnya Cindy alumni sekolah Kristiani, Bambang yang tiba-tiba dekat dengan menantu salah satu pengusaha besar di kota rendang, dan Mona yang terakhir kabarnya masih berjuang melawan kanker dari masa belia.

Kutinggalkan stasiun, dan pulang. Rasanya hari ini tak bisa dihabiskan dengan diam-diam saja. Tak seperti pembangunan Stasiun Tambun yang benar-benar diam.

Tapi di jalur 3, masuklah Tokyu 8500. Urung lagi aku menyambangi angkot. Cekrek, cekrek. Pulu-pulu berhasil diabadikan. Untungnya belum ganti livery.

Sudah tua, masih seperti bocah muda, yang pada masanya menari-nari di pinggir rel 1 menit sebelum palang tertutup. Namun sekarang tak akan bisa hal nekat itu terjadi. Apalagi DDT, alias jalur empat yang beriringan di Manggarai sampai Cikarang itu. Paradigma berubah. Tak ada lagi main di atas rel. Tak ada lagi pedagang. Tak ada lagi kambing dan manusia bersatu di kotak sama. Tak ada lagi yang terpanggang sampai tak berdaya demi pulang saat Lebaran.

Berbagai kereta terjepret. Berbagai bus, rute langka, semua terjalani. Kecelakaan sudah kutatap di depan mata, dengan darah yang mengalir dari rangkaian, yang begitu membuat aku ingin menghapus seisi otak rasanya. Ingin ganti otak. Ingin tak ingat.

Namun, aku tak bisa menjepret diriku satu frame dengan wanita, di pelaminan. Wanita yang kudekati bahkan menolak karena aku dianggap tak tahu diri, ketuaan, sukanya daun muda. Padahal itu selera toh, selama masih dewasa, selama tak melanggar UU Pernikahan?

Dari koleksi foto-fotoku, dengan mantan-mantan, ada satu yang menarik hati. Fotoku dengan Haryati, wanita pemilik toko roti di Rawasari. Nomor HP tak aktif lagi. Ini adalah cerita dengan mantan yang terputus karena kehendak dia, bukan kehendakku. Kala itu, aku terpental ke mana-mana, saat putus dengannya. Seakan hidup tak ada artinya. Seakan aku hanya bisa dengan dia. Jadi istri pun belum, sudah merancang mau booking lahan mana untuk bertempat tinggal.

Haryati adalah alasanku pindah ke Cikarang.

Maka rinai hujan air mata membasahi. Aku teringat Haryati hanya 500 m sebelum setan jalanan itu sampai depan kampungku. Kampung yang sengaja kupilih, agar makin jauh dari kota dan menjadi warga pedesaan tanpa menanggalkan identitas Jabodetabek.

Terlihat anak-anak tidak pakai masker, membawa batang bagai lightsaber. Aku lari masuk ke rumah. Pengecutnya aku, kata orang. Sudah tua kok takut orang tawuran, bukannya menjadi penengah. Namun semua kulakukan karena pada dasarnya menolong orang prinsipnya adalah diri sendiri dulu, baru yang lain. Bukan apa-apa, depan mataku ada tokoh masyarakat yang pernah kena bacok, untungnya ada ilmu bak kanuragan yang bisa menyelamatkan.

Air mata membayangkan Haryati tiba-tiba hilang saat kumasuki bilik kamar. Aku mandi, berdisinfeksi, lalu tidur. Padahal di luar ada konser musik, nada-nada Tiktok mengalun di tengah adu golok dan balok. Malam ini mungkin ada yang menjerit lagi, dan....

Ketika aku baru kelar mandi, terlihat Pak RT tergesa-gesa lari. Pak Yusril yang punya kandang kambing besar tiba-tiba lari. Benar dugaanku, ada yang kena bacok di bahu. Lebih sadis dari yang kuprediksi hanya geret-geret pisau seperti kelakuan alay Warung Bongkok di malam Minggu.

Aku tak tegaan, tapi takutan karena tawuran. Aku nekat pada akhirnya. Kubawa galah yang biasa dipakai untuk mengambil buah di pohon dan mengambil bola nyasar di atap rumah Pak Burhan dekat lapangan. Kuhalau orang-orang itu. Tuhan memang beserta orang-orang baik, mereka yang tawuran akhirnya kocar kacir lari, tertangkap polisi.

Lepas tawuran itu, aku balik ke rumah. Mozaik foto-foto bersama keluarga kurapikan. Aku ingin jadi lebih ajeg, supaya dapat jodoh yang ajeng. Aku lelah menikmati paras ayu sekadar menatap. Aku lelah melihat tayangan dewasa hanya sebatas urusan kamar tidur orang. Ingin kedewasaan lebih, ingin pergulatan jiwa terselesaikan dengan mengabar rasa kanak-kanak.

Bukannya apa. Mas Jodhi sudah dapat dua bini, satu di Bandung satu di Jogja. Mas Yunus tak seperti artis yang bernama sama - terbaliklah nasibnya, ia bersua dengan Mbak Cecilia di suatu sudut Jogja. Karena adik-adikku mendapat tautan hati di Jogja, aku merasa mungkinkah ini suatu kunci agar terbuka pagar jodoh, terbentang pagar ayu nantinya? Entahlah, aku tak terlalu percaya persuperstitialan tempat, feng shui, atau apapun itu terkait keajaiban geografis.

Walau aku begitu percaya toponimi kota tak kebetulan, misal Cikarang memang dinamai karena banyaknya batu karang, namun mengaitkan tempat dengan jodoh di mataku begitu tak masuk akal.

Ah, aku ingat sang mantan. Aku ingat Haryati. Apakah dia masih ada? Apakah dia betulan kerasan di Sentul - dengan (katanya) pemberian papanya yang pejabat itu? Apakah dia masih sama setelah aku hilang kontaknya selama 7 tahun. Ketika kucari Instagram dan apapun nama dia di lini media sosial, memang kutemukan kegiatan Haryati. Namun itu normatif. Normalnya orang share di media sosial saja.

Ada fasilitas bernama DM. Aku takut menyentuhnya. Selama ini aku bertahan menjadi pemuja rahasia. Aku minum teh kemasan. Aku makan masakan terenak yang pernah dibuat warung makan depan rumah sepanjang masa. Kusetel radio yang mengalunkan lagu-lagu cinta. Dan di mana pada masanya, aku terpancing menulis dengan dialunkan, dininabobokan dengan nada-nada cinta dari radio itu.

Seketika, badanku menghangat. Dalam keadaan layu dihantam lagu cinta dan dihantam rasa galau, aku mencoba melakukan DM ke akun Haryati.

"Selamat pagi Har. Aku Dio, sekarang aku pindah ke Cikarang. Apa kabar Har? Aku bukan mau nawarin apa apa, aku beneran kangen."

Aku kuatir aku hanya disangka agen marketing properti, investasi bodong, dan dongeng-dongeng kaya dengan seminar - yang aku tahu hasil kekayaannya dengan memeras dan memperdaya manusia-manusia lugu untuk ikut seminarnya.

Entahlah. Gemetarnya tanganku, takut akan jawabannya, beribu kali saat tangan gemetar dalam pertanggungjawaban blunder terbesar di kantor sekalipun. Sama beribu kali lebih gemetar dari menyaksikan tawuran tadi.

Pak RT memanggilku untuk membersihkan kampung dari batu dan kayu. Terutama juga dari ranjau paku, yang mungkin iseng ditebarkan orang-orang yang cari panggung dan cari kesempatan di tengah tawuran ini. Ada beberapa bercak darah, yang lama-lama biasa kulihat sejak 10 kali terjadi tawuran sejak aku pindahan ke ujung timur Jabodetabek ini.

Aku kembali ke rumah. Kuambil HP yang tergeletak. Ternyata pesannya dibalas. Tak hanya di-read.

"Dio, maaf ya apa yang dulu aku perbuat sama kamu. Walau memang kita nggak baik-baik putusnya, tapi aku tetap mau menjalin relasi sama kamu. Kehidupan selalu berubah. Mantan bisa menjadi kawan. Sebaliknya kawan bisa menikam lebih jahat dari lawan."

Aku terdiam.

Bersambung ke part 02, udah ngantuk ngetiknya hehehe
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
542
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan