enyahernawatiAvatar border
TS
enyahernawati
Last Letter for Mommy



"Kenangan tentang Ibu, takkan pernah mati. Ia akan selalu abadi, hidup dalam sanubari."

(Enya)



Mommy, Ayah, dan Adinda saat menghadiri wisudaku tahun 1998

❤️❤️❤️

"Sungguh, musibah terbesar dalam hidup ini adalah kehilangan orang-orang yang kita cintai."

❤️❤️❤️

Assalamualaikum Sahabat Kaskuser semuanya ....

Bulan Desember, tanggal 22, adalah hari yang diperingati sebagai Hari Ibu, tetapi ini khusus hanya di Indonesia saja, ya. Sebab, Hari Ibu atau Mother's Day di negara lain itu berbeda. Baik tanggal dan bulan perayaannya, juga latar belakang terjadinya.

Namun begitu, Enya yakin, bagi kita semua yang bernama anak, setiap hari adalah Hari Ibu. Karena memang, bakti kita sebagai buah hati, tak boleh lekang dan berbatas oleh waktu. Ia harus senantiasa ada setiap hari, terus-menerus selamanya, dan akan tetap selalu abadi, sampai mati.

❤️❤️❤️

Thread kali ini, adalah thread sedih bagi Enya. Menulis surat dan menceritakan kenangan tentang seorang perempuan luar biasa yang telah melahirkan kita. Perempuan yang telah diberikan hati seluas samudera. Perempuan yang juga memiliki bermilyar cinta, yang selalu siap sedia mengorbankan seluruh jiwa raganya demi sang ananda.

Quote:


Dan salah satu dari perempuan hebat itu adalah perempuan yang biasa kupanggil, Mommy. Bagiku, setiap masa yang terlewati bersamanya, selalu merupakan masa-masa yang indah dan berkesan.

Ya. Tulisan ini adalah curahan hati. Perasaan sakit yang mendalam karena rasa kehilangan. Sungguh, air mataku ini takkan pernah kuasa membayar semua kesedihan.

❤️❤️❤️

Sesal di Ujung Penantian
Oleh: Enya Hernawati Zainal

Kembali aku harus meninggalkan kota ini, tanah kelahiranku. Tak pernah lama aku tinggal di sini. Sejak kecil, kuliah, bekerja, bahkan setelah berumah tangga pun, aku jarang menetap hingga yang bertahun-tahun. Namun, bayangan indah ketika berada dalam pangkuan Mommy--panggilan sayangku pada perempuan yang telah melahirkanku itu--takkan pernah lekang dimakan usia.

Kota ini ibarat persinggahan saja jadinya. Tempat di mana aku mampir sebentar mengisi selaksa kenangan, kemudian meninggalkannya dengan membawa berjuta rindu. Rindu yang selalu ikut pergi menemani, ke mana pun kakiku melangkah. Rindu yang selama ini senantiasa tersimpan di tahta hati terdalam. Rindu yang nantinya akan kubawa pulang, datang kembali ke pelukan Mommy.

Bukan mauku seperti itu. Keadaanlah yang memaksa semuanya berlaku demikian.

***

Perempuan yang dulu sangat cantik dan pekerja keras itu, kini telah menua. Seluruh rambut di kepala sudah tampak memutih. Keriput pun mulai menjadi hiasan di sekujur tubuh yang pernah sangat berdaya sebagai seorang hawa. Sorot mata yang dulu tajam, kini terlihat sendu, sarat dengan kerinduan. Lebih-lebih ketika beliau menatapku, salah seorang anak perempuannya yang paling sering mengembara. Ya, di antara kami lima bersaudara, memang akulah yang paling jarang berada di rumah.

Hari ini, kembali aku berpamitan. Meminta restu, pergi untuk yang ke sekian kalinya meninggalkan ibunda tercinta yang biasa aku panggil mommy itu. Padahal niat hati ingin selalu bersama, merawat dan menemaninya di hari tua. Namun, apa daya ... garis hidup membuatku tak pernah mampu untuk melakukan itu semua. Sementara, beliau pun tak menginginkanku tinggal di sisinya.

Meskipun telah diizinkan oleh belahan jiwaku 'tuk mendampingi Mommy, tetapi tetap saja, perempuan yang masih terlihat sisa-sisa kecantikan di masa mudanya itu bergeming, tak mau aku jauh dari suami dan anak-anak. Beliau tak rela jika karena dirinya, aku harus terpisah dengan keluarga.

"Berapa lama, Enya, nanti di Pakistan?" Mommy membuka pembicaraan pagi itu, ketika kami sedang duduk bersama di teras menikmati sarapan pagi.

"Enggak tau, Mommy ... sepertinya paling cepat dua tahun. Bisa juga lebih hingga lima tahun," jawabku menjelaskan dengan perasaan gundah. Sedih rasanya membuat Mommy kembali merasa kehilangan.

"Lama juga, ya?" Mommy kembali bersuara dengan mata menerawang jauh.

"Setelah itu, Enya gak pergi-pergi lagi, kan?" Mommy melanjutkan tanya dengan ekspresi wajah yang tampak duka.

"Iya, insyaallah. Selesai pendidikan ini, Enya gak akan ke mana-mana lagi. Enya akan tinggal di sini dan merawat Mommy. Doakan semoga semua baik-baik saja ya, Mommy. Mommy dan Ayah juga, hendaknya sehat selalu sampai nanti kami kembali."

Itulah percakapan terakhirku dengan Mommy, sesaat sebelum aku meninggalkan negeri tercinta ini menuju perantauan di belahan bumi yang lain.

Akhirnya, aku pun pergi. Melangkahkan kaki menjauh lagi darinya. Tatapan mata itu, tetap tak pernah bisa berbohong. Sedu seperti menahan sakit, kehilangan saat melepasku. Hatiku pun sama, dipenuhi ceruk duka karena meninggalkannya.

Dalam perjalanan waktu, tak sedikit Mommy bertanya, kapan kami akan pulang, kapan selesai, dan kapan kembali. Selalu begitu, berulang dan berulang. Mommy seperti tak bisa menahan kegelisahannya, memperlihatkan betapa hatinya merindu seolah takut tak akan bertemu. Usia yang sudah senja, membayangi ketakutan takkan bersua.

Lagi, dan lagi kami berjanji akan kembali dalam waktu yang tidak lama. Berkali-kali pula kami menjawab, insyaallah, habis idul fitri. Insyaallah, habis naik haji. Insyaallah, bulan Desember. Insyaallah, bulan Januari. Selalu seperti itu. Semua itu tentu saja berkaitan dengan izin karena kami sedang bersekolah. Hingga akhirnya, kini telah sampai di bulan Februari.

Setiap kami menjawab tanya, beliau akan selalu berkata, "Masih lama ya, ternyata." Bahkan, di saat tak bisa menepati janji akan pulang setelah menunaikan ibadah haji pun, Mommy masih tetap sabar, setia menunggu kepulangan kami.

Pernah beberapa kali beliau dirawat di rumah sakit. Membuat kami was-was akan rasa kehilangan. Akan tetapi, setelah Mommy sehat dan balik ke rumah, lagi kami meneruskan tinggal di tanah rantauan ini. Melanjutkan kesibukan karena pekerjaan dan kuliah. Berjanji dan masih saja berjanji akan segera kembali.

Duh, seandainya saja waktu bisa diputar ulang ....

Duhai, penyesalanku sungguh tak pernah berujung.

***

Dua puluh tiga Januari 2019.
Setelah hampir dua tahun, akhirnya keputusan pun bulat sudah. Kami cuti dari sekolah. Berniat pulang 'tuk melepas kerinduan. Namun, ego sebagai manusia yang ingin menikmati segala sesuatunya dengan istilah, 'mumpung sedang berada di sini', ditambah dengan adanya undangan dari saudara dan sahabat, membuat kami memperpanjang masa tinggal di daerah transit hingga dua minggu. Kami memutuskan tanggal 9 Februari 2019, baru akan pulang ke Padang dari Malaysia.

Kembali tanya itu berulang, "Tanggal bara, Enya, tibo(tanggal berapa, Enya, tiba)?"

"Insyaallah Mommy, sebentar lagi. Enya sudah beli tiket, kok. Tiga minggu lagi kami sampai." Aku menjawab, tentu saja dengan perasaan bahagia karena sebentar lagi akan bertemu beliau, perempuan dermawan yang sangat kurindukan itu.

"Tiga minggu lagi? Baa kok lamo bana (kenapa kok lama sekali)?" Suara Mommy terdengar seperti bergumam sendiri, menelurkan kegelisahannya karena masih terasa jauh jarak waktu terbentang 'tuk bertemu diriku, anak perempuannya yang secara sifat dan perilaku merupakan prototipe dirinya.

"Gaklah Mommy, tiga minggu kan tak lama. Hanya sebentar. Apalagi, insyaallah ini sudah pasti. Kan, tiket udah di tangan. Tunggu Enya ya, Mommy. Sabar, ya ...." Kembali aku menjawab tanya Mommy dengan perasaan suka cita.

***

Seharusnya, hari ke-23 di bulan Januari itu, kami bisa langsung pulang dan tiba di Indonesia bertemu Mommy. Namun, seolah masih terbawa suasana sebagai pelancong, kami mampir dan berjalan-jalan dulu menikmati negeri singgahan. Berusaha memanfaatkan setiap momen keindahan alam dan kelezatan kulinernya. Sama seperti yang biasa kami lakukan jika sedang bepergian. Jalan pulang, sepertinya belum membawa kami langsung tiba ke kampung halaman.

Sebenarnya ada perasaan berat dan tidak nyaman yang kami rasakan ketika bepergian waktu itu. Entahlah rasa apa, dan kenapa. Kami semua sepertinya tidak begitu menikmati atmosfer seperti biasa. Sering sekali kami batal pergi ke daerah wisata tujuan, meski persiapan matang sudah dilakukan. Kadang, rasa malas pun timbul begitu saja, membuat kami akhirnya malah lebih banyak tinggal dan berdiam diri di rumah.

Beberapa kali kami juga menanyakan kondisi Mommy saat sedang jalan-jalan tersebut. Alhamdulillah, selalu jawaban baik yang kami dapatkan, bahwa Mommy dan Ayah dalam keadaan aman, sehat-sehat saja.

***

Hari itu, Rabu tengah malam tanggal 7 Februari 2019, entah kenapa kami semua tak bisa tidur. Sedikit pun mata ini tak mau terpicing. Hanya berguling-guling saja di tempat tidur dengan perasaan gelisah. Aku, anak-anak, dan abinya, sulit sekali 'tuk memejamkan mata.

Hingga berita mengejutkan itu sampai kepada kami. Innalillahi wa wainnailayhi raajiuun ....

Dini hari, jam lima waktu Malaysia, serasa diguncang gempa maha dahsyat, bumi tiba-tiba laksana tanah lumpur yang menyeretku ke dalam pusaran gelap, menyesakkan. Mommy, perempuan yang sangat cantik luar dalam itu telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Hanya dua hari sebelum kami tiba, pulang ke kampung halaman.

Langit terasa runtuh. Impian bertemu dan merawat Mommy sirna seketika, berganti penyesalan yang dalam. Hati seakan tercabik oleh rasa bersalah, kenapa tak langsung pulang ke rumah.

"Kak, kita pulang pagi ini ya? Dek ingin bertemu dan memeluk Mommy sebelum dimakamkan?" Dengan berlinang air mata aku meminta kepada suami penyabar ini, untuk memajukan tiket penerbangan kami yang tanggal 9 menjadi tanggal 7 hari ini.

"Iya, akan Kak, usahakan. Bersiap-siaplah. Bereskan barang-barang. Bawa saja semua, nanti di bandara kita susun. Yang paling penting, kita dapat tiket terlebih dulu" jawabnya, juga terlihat seperti menahan isak.

Dengan tergesa-gesa kami berangkat ke Bandara KLIA 2. Dua jam perjalanan yang terasa sangat lamban. Kami berusaha berpacu dengan waktu.

***

"Nya, kalau lewat Asar Enya tibo, lamo na Ibuk manunggu. Kami salasaian se yo (Nya, kalau lewat Asar Enya tiba, terlalu lama Ibuk menunggu. Kami selesaikan/makamkan saja ya)." Nera, kakak tertua menelepon memberi tahu keputusan keluarga besar di Padang, bahwa tak bisa menanti kami hingga petang.

"Yo, kalau mode tu, baa juo lai
(Ya, kalau harus seperti itu, ya mau bagaimana lagi)," sambil masih terisak, telepon uni, kujawab. Ketakutan tak akan berjumpa Mommy membayangi pikiranku.

"Tapi, tunggulah kami sampai sabalun Asar, dih. Kami kini sadang ka Bandara mancari tiket. Go show se (Tapi, tunggulah kami sampai sebelum Asar, ya. Kami kini sedang ke bandara mencari tiket. Go show langsung)." Penuh harap aku meminta. Air mata seakan seperti keran air yang dibuka sebesar-besarnya, bercucuran tak bisa ditahan. Mata pun semakin berat, membengkak karena banyak menangis sepanjang perjalanan.

Ajal, jelas di tangan Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, luka karena rasa bersalah benar-benar terasa menghantui. Air mata, meski telah ditumpahkan sederas hujan hingga membanjiri segenap jiwa pun, tetap saja tak bisa mengalirkan perih dan melapangkan dada ini dari penderitaan yang melekat.

Sesal itu betul-betul membayangi. Kata andai, menari-nari dalam ingatan. Andai saja kami segera pulang. Andai saja tak jalan-jalan dulu.

Haaah! Aku mengembuskan napas dengan keras. Teringat ucapan Rasulullah yang mengatakan bahwa kita tak boleh berandai-andai, karena kata andai itu bisa menjadi pintu masuknya setan yang akan menyesatkan. Astaghfirullah.

***

Jam dua belas siang WIB, akhirnya kami tiba di Bandara Internasional Minangkabau. Tak sabar ingin segera sampai di rumah.

Tak tahu lagi apa yang terasa, ketika melihat sosok perempuan tangguh itu, kini terbaring dalam diam.

Aku segera masuk, menjatuhkan diri di samping Mommy. Mommy tampak tersenyum, seakan sedang tertidur saja.

"Mommy ... Mommy .... Maafkan Enya. Maafkan Enya Mommy." Aku menangis dalam luka yang dalam. Perih seperti sembilu menyayat kalbuku. Aku memeluk Mommy, mencium dan mengusap wajahnya perlahan.

Lama ... aku rebah di sisi Mommy, menatap dan mengelus pipinya dengan lembut. Sementara itu, dadaku masih saja berguncang hebat, terus tersedu dalam tangis.

"Mommy ... Mommy sudah berjanji akan menunggu Enya. Mommy sudah janji," bisikku terisak, pilu.

"Sudahlah, Nya ... jan ditangisi juo (Jangan ditangisi lagi). Semua sudah takdir. Rilakanlah (Relakanlah) ...." Hampir semua orang yang ada di sekeliling jasad Mommy berkata seperti itu.

Aku paham apa yang mereka katakan. Meskipun begitu, perasaan menyesal tak bisa dihilangkan begitu saja dari batinku. Walau banyak saudara dan sahabat yang menenangkan, memberi ketenteraman pada jiwaku bahwa tak perlu disesali karena semua itu sudah takdir Sang Maha Perencana. Namun, tak mudah melakukannya. Hati, sungguh tak bisa dibohongi. Sebongkah rasa sakit telah tinggal di sana. Bukan hendak meratap, apalagi menggugat takdir. Aku tahu, semua itu terlarang dan dibenci Allah. Namun, tidak bolehkah aku menumpahkan kedukaan karena rasa bersalah?

Seperti ucapan banyak orang, waktu adalah obat mujarab yang akan menyembuhkan semua lara. Hanya waktulah penawarnya. Akan tetapi, untuk yang satu ini ... aku rasa, waktu pun takkan sanggup memulihkannya.

***

Satu kunci pintu surgaku telah tiada. Hanya doa yang tersisa hinggga akhir hayatku sebagai kado untuknya. Semoga Mommy dilapangkan dan diterangkan kuburnya, diampuni semua dosa-dosa, dijauhi dari siksa kubur dan siksa api neraka, serta dimasukkan ke dalam surga-Nya, Aamiin Yaa Mujibas Saailiin.

***

Tulisan ini aku dedikasikan untuk Mommy Hj. Nurhayati binti M.Yatim rahimahallah, perempuan tangguh yang telah mewariskan hampir seluruh sifat dan karakternya untukku. Mendidik dan menjadikanku sebagai perempuan yang juga kuat, insyaallah, sama seperti dirinya. Selalu terhatur doa untukmu, Mommy.



❤️❤️❤️

Spoiler for Surat Terakhir Untuk Mommy:

❤️❤️❤️

Konten Sensitif


Quote:


❤❤❤

Ini link tentang sejarah Hari Ibu di Indonesia, ya....

link
Diubah oleh enyahernawati 12-01-2021 14:59
jlampAvatar border
limpahkurnia280Avatar border
limpahkurnia212Avatar border
limpahkurnia212 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
4K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan