TS
nohopemiracle
Renungan: Muhammad Membaca Hingga Membaca Muhammad.
Quote:
Quote:
Andaikan kaum Muslimin adalah sebuah barisan besar, dulu aku merasa berada di bagian paling belakang dan pojok, tetapi semakin lama rasanya aku seperti tidak lagi merupakan bagian dari barisan itu. Aku tidak keluar dari barisan itu, hanya mungkin tak sengaja mengambil jarak, sebab semakin lama semakin berkurang pemahamanku kepada meraka. Pengambilan jarak amat diperlukan sebagai cara untuk lebih objektifdan adil memahami pasukan itu, sebab aku mencintai dan bangga pada meraka.
Akan tetapi, hasilnya adalah aku semakin merasa asing kepada diriku sendiri, apalagi kalau aku melihat diriku dari maqam barisan itu. Arah perjalananku (Sabil) sama dengan derap barisan itu, yakni menempuh As-Shirath Al-Mustaqim men-tauhid ke Allah Swt. Jalan (Syari’) yang kami tempuh juga sama, karena Allah-lah yang melapangkan jalan itu. Tetapi, caraku menempuh (Thariq) jalan, pola Haluan, dan presisi konsentrasiku berbeda dengan mereka. Itu ternyata juga membuat “ujung jarum tauhid” kami pun berbeda.
Misalnya, Allah memerintahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan tawaran-Nya kepada umat manusia: “Kalau memang kalian mencintai Allah, maka ikutilah jejakku. Niscaya Allah pun mencintai kalian, mengampuni dosa-dosa kalian. Sebab ia sungguh Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Quote:
Aku tidak mampu menghindari kesimpulan, bahwa itu adalah informasi dan penjelasan sangat ekplisit bahwa manusia ini hidup tak lain untuk menempuh proses percintaan dengan Allah Swt. Jadi, hidup ini urusannya adalah cinta, kesetiaan, komitmen, kerinduan, dan pencapaian kebahagiaan tertinggi dan sejati. Kalau klausulini disebut transaksi, maka yang ditransaksikan adalah kadar cinta. Kalau sebutannya adalah perhitungan, maka yang utama dihitung adalah kesungguhan dan kedalaman cinta.
Siapakah pelaku utama cinta kepada Allah dan pejuang “rahmatan lil’alamin? Muhammad Saw Allah menyuruhnya menyampaikan fattabi’uni¹. Maka, pelajaran paling mendasar dan pasal utamanya adalah mempelajari, belajar dan mengikuti “Al-Sirah Al-Nabawiyah" dari berbagai literatur Sirah yang tersedia. Meng-Islam adalah lelaku “fattabi’uni”: mengenali dan meneladani Muhammad bayi, Muhammad balita, Muhammad remaja, Muhammad dewasa, hingga Muhammad alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’mati wa radlitu lakumul islama dina.²
1.Ikuti, mengikuti.
2.Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah kuridhai islam itu jadi agama bagimu.
Quote:
Maka, kesempurnaan dan keutuhan islam seseorang mungkin harus dicapai lebih dari membaca dan melaksanakan Al-Quran, melainkan juga membaca Muhammad. Sampai pun pangkal dan ujung Nur Muhammad. Muhammad sebagai manusia, dengan segala rincian perilaku kemanusiaannya. Muhammad manusia, yang sebisa mungkin kita temukan presisi penguraiannya dengan Muhammad Nabi dan Muhammad Rasul. Bukan sekadar Muhammad dalam peta sejarah, Muhammad dalam peristiwa-peristiwa dakwah, politik, kebudayaan dan akhlak. Tetapi yang lebih bernuansa dan berkarakter dari itu, yakni kepribadian Muhammad. Kisah-kisah tentang energi hidupnya, keluasan jiwanya, kelembutan hatinya, ketekunan perjuangannya.
Tentu benar bahwa muatan primerIslam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul Muhammad Saw. Tetapi dalam pasal perjanjian yang ditawarkan oleh Allah itu substansi utamanya adalah “mengikuti Muhammad”. Mungkin Quran dan Sunnah adalah bagian dari Muhammad, dan bukannya Muhammad bagian dari Quran dan Sunnah. Makhluk manusia ditetapkan oleh Allah sebagai ahsanu taqwim¹ , dan yang paling ahsan dari segala ahsan adalah Muhammad.
Di dalam pernyataan Allah itu Muhammad adalah subjek utama pekerjaan cinta. Muhammad bukan sekedar seseorang yang kebetulan dipilih untuk menyampaikan firman Al-Quran dengan lelaku Sunnah. Dengan Bahasa yang mungkin lemah: Muhammad lebih utama dibanding Al-Quran. Cintaku kepada Muhammad Saw bahkan membawaku seakan-akan melihat bahwa jika Al-Quran ini diaduk menjadi satu adonan dengan alam semesta, dengan semua Malaikat dan para Nabi dan Rasul, jadinya adalah Muhammad Saw.
1.Manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk.
Quote:
Sedemikian sibuk dan gugup aku dalam cinta kepada Muhammad Saw karena Allah Swt, sehingga saya terseret makin jauh dari barisan kaum muslimin. Tatkala Allah menyatakan Ashhabul jannati humul faizun, para penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung, yang sampai ke rasa jiwa dan pemahaman akalku juga berbeda. Anggapan umum terhadap firman itu adalah bahwa dalam barisan kaum muslimin: laba terbesar dan tertinggi bagi kehidupan manusia adalah surga.
Bagiku surga adalah kampung sangat indah permai yang disediakan oleh Allah Swt untuk dihuni oleh manusia-manusia yang beruntung. Surga bukan keuntungan itu sendiri, sekurang-kurangnya bukan keuntungan utama atau primer sebagai hasil dari pengabdian manusia. Surga adalah tempatnya, bukan “harta benda termahal”. Keuntungan tertingginya adalah perkenan cinta Allah Swt itu sendiri, dengan seluruh perwujudan kemesraan-Nya.
Dan itu menurut Allah Swt bisa dicapai dengan “fattabi’uni”. Mengikuti jejak Muhammad, dengan segala keutuhan maupun rincian perilaku kemanusiaan maupun kenabian dan kerasulannya. Totalitas Muhammad tidak bisa direduksihanya menjadi Al-Quran, tidak bisa dipersempit hanya menjadi Sunnah beliau, apalagi dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan Syariat dan Fiqih. Itulah spektrum Shalawat. Itulah dialektika siapa pun saja yang ikhlas mencintai Beliau “berdua”.
Quote:
Aku tergolong fasih mengucapkan Al-Fatihah, Ibuku memperdengarkan dan melatihku untuk itu sejak aku di dalam kandungannya. Fasih bibirku. Tetapi hingga sekarang ini tak kunjung fasih hatiku, pikiran dan apalagi kelakuanku. Oleh karena itu, pernyataan pribadiku kepada Allah Swt yang paling relevan adalah “La ilaha illa Anta, subhanaKa inni kuntu mindhdholimin”¹. Juga “Robbana dholamna anfusana wa in-lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khosirin"² .
Aku cucu Adam yang bodoh, misin, dan malang. Aku lembek terhadap godaan Iblis. Aku bagaikan mualaf abadi, sehingga berteman juga dengan hanya sesama mualaf, di bagian bagian bawah dan pinggiran kaum Muslimin. Aku tidak mungkin ada ada di arena elite para ulama, ustaz, dan kiai. Aku tidak terletak di peta ilmu mereka. Aku tidak bisa lolos memasuki area kehebatan dan kecanggihan kecendekiawanan mereka. Tak mampu kupenuhi syarat-rukun untuk menjadi bagian dari beliau-beliau.
1.Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.
2.Ya Allah, kami telah mendholimi pada diri kami sendiri, jika tidak engkau ampuni kami dan merahmati kami tentulah kami menjadi orang yang rugi.
Quote:
Aku cucu Adam yang didatangi oleh makhluk agung yang kusangka Malaikat, karena penampilan dan kostumnya, namun ternyata Iblis. Iblis melakukan pencitraan yang sempurna, sehingga aku tertipu. Kakek Adam tertipu di surga, sedang aku cucunya tertipu di Bumi, di Negara, politik, kebudayaan, perekonomian, perdagangan, yang kemudian juga memengaruhi dan mensifati perilaku keagamaan. Iblis-iblis merajalela di setiap strata dan segmen kehidupan di Negeri dan Bumiku. Pencitraan dan pencitraan dan pencitraan. Dari pemimpin nasionalhingga kopi saset. Dari Demokrasi hingga Sertifikasi Halal. Dari angka Lembaga Beras hingga Rapor Sekolah. Dari Buku Nasional hingga Baliho tepi jalan.
Padahal aku mualaf tak sudah-sudah. Sejak kecil aku mengikuti Pengajian-pengajian untuk meningkatkan Iman dan Taqwa, tanpa pernah meningkat itu iman dan taqwa. Aku "Balita Islam” tak berkesudahan. Sebagian telah meningkat menuju dewasa, tetapi mandeg dan tersandera di stratum “Puber Islam”. Islam tidak tumbuh subur, karena aku dan para sejawat di masyarakat di mana aku berada, sangat sibuk dengan harta benda, kikis usia untuk menanggung kecemasan akan tidak bisa hidup. Maka kami masuk sekolah, agar punya tiket untuk mudah mencari pekerjaan, sehingga demikian berkurang kekhawatiran akan tak bisa hidup.
Quote:
Kalau sudah memperoleh tiket bisa hidup dari Universitas, kami harus memastikan akan bisa menumpang di Lembaga Bisa Hidup, di Birokrasi Negaraatau Perusahaan Swasta. Seluruh proses itu ditempuh dengan bekal ketidakpercayaan kepada tanggung jawab Allah atas makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Dengan modal ketidakyakinan bahw Allah adalah Rahman dan Rahim sampai ke ujung kuku, pucuk rambut hingga ke lepas cakrawala, bahwa Allah adalah Hakim Karim ‘Aziz Hakim dari tepian langit hingga ke lubuk Bumi, dari galaksi-galaksi raksasa hingga pori-pori terkecil di mengalirnya darah dan melingkarnya usus.
Aku harus memulai Kembali Islamku dari momentum perjanjian azali “Alastu birabbikum”¹ , hingga janin di dinding Rahim Ibunda, sampai ke rumah-rumah tetangga, masyarakat luas, tanah air yang menghampar, bahkan Negara yang berwajah campuran Malaikat dan Iblis. Tak bisa lagi kuteruskan mengucapkan Syahadatain tanpa berada dan mengalir dalam dialektika dengan segala sesuatu yang tak ada sezarah pun yang tidak terkait dengan Allah Swt dan Rasulullah Saw. Tak bisa kuucapkan Basmalah dengan Rahman dan Rahim yang tak tercermin pemaknaan dan kesadarannya pada setiap Langkah kaki dan segala perilaku hidupku.
Tak mungkin lagi kuucapkan Maliki Yaumiddin dengan tanganku menggenggam erat Sertifikat “Pemilikan” Tanah, serta dua kaki berlari mengejar kekuasaan dunia. Hancur martabatku dengan hidupku yang sekarang tatkala mulutku melantunkan Iyya-Ka na’budu wa iyya-Ka nasta’in. Setan-setan dan seluruh isi jagat raya yang tidak punya kelaziman untuk tertawa, mungkin akan tertawa ketika kumohon kepada Allah Ihdinash-shirathal mustaqim. Karena Allah sudah menjawab dan memenuhinya beribu-ribu kali, namun petunjuk-Nya itu tak pernah benar-benar kujalani dan kulewati.
1.Benarkah Aku Tuhan Engkau.
Quote:
Seluruh Al-Fatihah-ku menyumbang partikel gempa, longsor tanah, letusan gunung, dan badai raksasa. Aku mencitrakan diri di hadapan Allah Swt dengan pura-pura memohon agar ditempatkan di Shirathalladzina an’amta ‘alaihim, padahal aku tak pernah mau berhijrah dari Ghoiril maghdlubi ‘alaihim wa ladl-dholin. Dan aku merasa aman-aman saja, karena sedemikian Shobur dan Halim-nya Allah. Karena ada semacam perlindungan sesaat di Amhilhum ruwaida.¹
Maka tulisan ini adalah mengingat kembali wilayah yang selama berabad-abad bukan tak dirambah dan dikembarai, tetapi belum pernah disadari keutamaannya dalam proses bercocok tanam Islam dalam diri manusia. Adanya Al-Sirah Al-Nabawiyah² dimaksudkan untuk mendorong pengetahuan dan keyakinan betapa pentingnya membaca “Sirah” Rasulullah Saw, untuk men-janin-kan Kembali Islam dalam jiwaku, melahirkan kembali Islam dan hidupku, memproses pengutuhan keislamanku, serta siapa saja yang Islamnya masih serendah aku.
Secara dinamis (mutaharik, ijtihadiyah) “peng-utuh-an” itu mungkin bisa juga ditempuh dari atau pada “penggenapan” dari keganjilan atau kondisi ganjil. Atau “penyempurnaan” (mutakamil) dari kondisi cacat. Sempurna bukan keadaan tanpa kelemahan dan kekurangan, sebagaimana dimengerti oleh pengetahuan umum, serta sangat dimutlakkan kebenarannya. “Sempurna” adalah suatu maqam dan wujud di mana makhlukalam atau manusia, berkondisi “se-presisi mungkin” terhadap atau dengan yang Allah maksudkan tatkala menciptakan mereka. Kekurangan, kelemahan atau relativitas, dengan demikian adalah bagian dari kesempurnaan makhluk, yang berbeda di banding kesempurnaan Khaliq. Kesempurnaan Allah itu absolut, mutlak. Kesempurnaan makhluk itu nisbi, relatif.
1.Kelompok para pendusta (Q.S At-Tariq Ayat 17).
2.Perincian kisah hidup rasulullah, yakni asal-muasal, suku dan nasab, dan keadaan masyarakatnya.
Quote:
Sedangkan aku hidup di tengah para bukan Tuhan yang memutlak-mutlakkan pendapat dan ucapan-ucapannya. Bagaimana mungkin tetumbuhan Islam di dalam hidupku tidak menjadi kerdil dan mogul? Seorang Muslim yang tidak mengalami urutan dan pemetaan pengetahuan tentang “Al-Sirah Al-Nabawiyah”, ibarat seorang pengkuliner yang melahap makanan tanpa mengerti asal-usul makanan itu. Makan hasil masakan tanpa mengetahui bahan-bahannya, tanpa menghayati bagaimana makanan itu dimasak, siapa saja yang memproses masakan itu, bagaimana “ilmu” dan “politik” dapur masakan itu, apalagi menganalisis kenapa bahan-bahan sekaya dan sedahsyat itu menghasilkan makanan yang sama sekali tidak sepadan dengan bahan-bahan dasarnya.
Atau mengenyam dan menikmati bebuahan tanpa mengingat kembang dan daun-daunnya. Tanpa pengetahuan tentang ranting, dahan, pohon, dan akarnya. Tanpa penghayatantentang asupan dari dalam tanah yang membuat pohon itu hidup dan berbuah. Apalagi menemukan tanah adalah bumi, bumi adalah bagian dari langit alam semesta yang tak terjangkau keluasan dan kekayaannya. Terlebih lagi merasakan atau mengembarai rentangan garis-garis antara setetes rasa manis dalam sebiji buah dengan pembagian kerja para malaikat. Muslim yang Muslim Ketika merasakan sapuan angin, menatap gunung, rumbai dedaunan, merasakan hangat dari cahaya matahari, serta mengalami penglihatan, pendengaran atau perabaan dan perasaan apa pun saja, tidak bisa tidak ingat kepada Allah.
Quote:
Aku belumlah seorang Muslim yang Muslim seperti itu, yang keislamannya dibimbing oleh proses panjang perjalanan Iman-nya, di mana ia mengimani Allah dengan menemukan keimanan di setiap pengalamannya dengan setiap ciptaan dan segala kehendak-Nya. Aku belum manusia dengan ke-Muslim-an di mana tidak mungkin tidur kalau tidak di pembaringan keridaan dan ranjang kepasrahannya kepada Allah. Tidak mungkin bangun dari tidur tanpa pertama-tama mengingat Allah. Tidak pernah mengalami kebahagiaan dan dukacita, kegembiraan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, tanpa menemukan keterikatannya dengan qadla dan qadar Allah Swt.
Mungkin aku tergolong di antara pada Muqallidin¹dari kalangan kaum Muslimin yang mengenal Islam sebagai “barang jadi”, sebagai “produk baku” yang diproduksi oleh “Pabrik” kaum ulama, ustaz, kiai atau masyayikh² . Mereka disebut dan menyebut diri mereka “masuk Islam”, bukan “Islam masuk ke mereka”. Mereka diperkenalkan kepada Islam dalam packaging mazhab-mazhab, aliran-aliran, dan tipologi-tipologi.
Aku dan mereka bukan Tabiit-tabiinar-Rasul³ , melainkan pengikut pengikut ulama, kiai, dan ustaz. Dengan mohon maaf apabila memakai bahasa jujur dan transparan, namun pasti terasa vulgar dan kasar: Al-Muqallidin, termasuk aku itu, adalah konsumen dari para "Makelar" atau "Broker" Islam, yang bahkan mendirikan dinding tebal tinggi jangan sampai mereka merasa sah dan mampu untuk memperoleh akses langsung dari sumber primer Islam dan Sirah Rasul.
1.Orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid.
2.Tokoh muslim-Syekh.
3.Pengikut, orang Islam awal yang sepergaulan juga masa hidupnya setelah para Sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad.
Quote:
Atau para Muqallidinitu semacam Narapidana di Penjara Mazhab, di mana setiap akses mereka dengan wilayah di luar penjara sepenuhnya ditentukan oleh otoritas "Majelis Sipir”, bahkan "Ormas Sipir", "Gank Sipir" ataupun "Mafia Sipir" Para Narapidana di-brainwash, dicuci otaknya, dibuat meyakini tiga hal yang memosisikan mereka. Pertama, kaum narapidana tidak memiliki kredibilitas keilmuan untuk mengakses dunia sejati dan alam luas di luar Penjara. Kedua, kaum narapidana tidak memiliki hak politik untuk mengakses langit dan bumi di luar penjara.
Dan ketiga, mereka wajib taat kepada "Mafia Sipir”, sebab jika tidak, mereka akan kehilangan peluang untuk mendapatkan rida dan memperoleh berkah dari Allah Swt. Para narapidana menjalani hidup dengan pendapat dan keyakinan bahwa segala hal yang menyangkut kuasa dan kasih sayang Allah, jalannya hanya melalui "Mafia Sipir".
Oleh karena pada "stratum" inilah maqamku dan banyak kaum Muslimin sampai detik sekarang ini, maka coretan ini harus bersegera menyatakan bahwa jangan sampai tulisan ini ternyata berasal dari "Sipir yang lain”.
Berlanjut di Post #2...
Polling
0 suara
(Masih) Tertarikkah Agan dan Sista untuk membaca & memahami Sejarah Nabi dan Rasul?
Diubah oleh nohopemiracle 03-06-2020 15:17
d0dittt dan nona212 memberi reputasi
2
919
Kutip
5
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan