Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Diadem Tiara


"Sometimes the grass is greener because it's fake"


Actually, gue literally tidak mengerti korelasi antara kutipan yang gue tulis sebagai pembuka cerita dengan isi cerita yang akan gue tulis. But I think dengan menyisipkan itu sebagai pembuka cerita ini gue akan terlihat lebih kece. Honestly gue ragu jika itu worth it. Ohh ghost it's really really doesn't work!!
Oke, Bye!!




Nama gue Fattah, Abdul Fattah lengkapnya. Gue lahir dan besar di Selatan Jakarta. Oleh sebab karena itu, karena gue tumbuh dan berkembang di Jakarta Selatan; yang notabenenya terkenal dengan bahasa dan anak-anak Gahoelnya. Gue merasa nama Fattah tidaklah menggambarkan gue sebagai anak "Jaksel" maka dari itu gue menyamarkan nama gue dengan alias "Potex". Yes, Potex! Jangan lupa pakai X!!

"Ahh…Bung, yang benar saja. Itu sama sekali tidak terdengar gaul, justru terdengar seperti… You know like emmm Jamet." 

"Lo pikir gue perduli? Aiiiiiii don ker!!" 

Stop! Mari kita tinggalkan perdebatan yang tidak penting anatara gue dan gue yang lainnya. 

What!?

Ya, silahkan nilai diri gue gila atau mengidap gangguan jiwa seperti bipolar atau apalah semacamnya. Jika mungkin kalian jujur pada diri sendiri. Perdebatan semacam itu; perdebatan dengan diri sendiri, pasti pernah juga kalian alami. PASTI!

Gue lahir pada pertengahan tahun 1992 yang dalam artian pada tahun 2020 ini usia gue hampir mendekati angka 28. Gue belum pernah menikah dan saat ini gue sedang tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun alias gue jomblo. (oke Mblo!) Gue sudah menjomblo sekitar… "Hemm sebentar… karena terlalu lama di rumah gue sedikit lupa sudah berapa lama gue menjomblo. Anya, Tania, Bella, Dea, Alisya…"

"Wih banyak juga mantan lu, Tex?"

"Mantan? Emang gue bilang itu mantan gue? Gue cuma lagi sebutin nama Selebgram yang gue follow."

"Ergghhhhhhh…"

Dan akhirnya gue ingat sudah berapa lama gue menjomblo. Gue sudah menjomblo hampir sekitar selama 28 tahun. 

"Kenapa? Ada yang salah? Ehh… Tolong itu Agan yang kumisnya tipis-tipis tebel cuma di samping, tolong liatnya biasa ajah. Gue masih normal! Gue masih nafsu liat Pevita, gue juga masih gelisah kalo liat goyang Mamah Muda. Jadi please, sekalai lagi please gue mohon sabar nunggunya, Mas. Ehh…"

Gue serius saat mengatakan kalau gue sudah menjomblo selama itu. Gue sudah menjomblo dari awal gue lahir hingga detik kalian membaca cerita. Namun sekali lagi gue menjomblo bukan karena gue homo apalagi karena gue ikut suatu aliran sekte yang mengharuskan pengikutnya menjomblo seumur hidupnya. Alasan gue masih sendiri adalah karena gue terlalu lama menatap ke suatu arah hingga gue lupa bagaimana menatap ke arah lainnya.

"Aaahhheemmm… Sorry Bung Fiersa. Bisa geseran sedikit?"



Aku dan kamu itu antitesis yang manis
Yang tidak bisa bersatu namun saling butuh
Yang tidak bisa berpadu namun saling rindu


Dia bernama Tiara, wanita yang mungkin paling mengerti mengapa hingga sampai saat ini gue masih sendiri. Seperti namanya, Tiara, adalah sesuatu yang sangat berharga, simbol kekuasaan, simbol kecantikan, simbol keagungan, dan simbol kebertundukan; dalam hal ini bagaimana gue bertunduk, berlutut, mencurahkan segala perasaan gue hanya untuknya. Dan teruntuk gue pribadi Tiara bukan hanya simbol-simbol feminisme atau kekuasaan (yang menguasai seluruh perasaan di dalam hati gue) lebih dari itu Tiara adalah sebuah keindahan. Gue menyukainya… Ahh, Tidak! Gue mencintainya, sungguh-sungguh mencintainya. Tiara adalah sebuah kesempurnaan.

Tiara adalah seorang wanita yang sempurna. Sekali lagi sempurna; gue tidak peduli kelakuan absurdnya yang selalu mencium kaos kakinya setiap kali dia melepaskannya. Gue tidak peduli setiap kali dia membersihkan hidung, dia selalu meletakan kotorannya di bawa mejanya. Gue juga tidak peduli bagaimana suaranya saat tertawa yang bahkan bisa terdengar hingga radius belasan meter. Gue juga tidak peduli suara falset nya yang mememik di telinga saat menyanyikan sebuah lagu dan gue benar-benar tidak peduli pada kenyataanya suara falset itu keluar bukan hanya saat dia bernyanyi bahkan saat dia berbicara. Gue mencintainya, dan semua itu sama sekali bukan sebab untuk tidak menganggapnya seorang wanita yang sempurna. Ya, karena gue mencintainya.

Gue mengenal Tiara sudah lebih dari setengah umur gue. Kami satu sekolah sejak dari TK, SD, SMP, SMA, kami berada dalan satu Universitas yang sama meski berbeda fakultas, bahkan kami bekerja pada perusahaan yang sama walau berbeda divisi.

Manis bukan hubungan gue dengan Tiara? Selalu berada dalam satu lingkungan dari Taman Kanak-Kanak, beranjak dewasa dan kini sudah bertanggung jawab atas hidupnya. Dengan benih-benih cinta yang tumbuh… "Ah, rasanya sulit dibayangkan betapa manisnya hubungan gue dan Tiara." 

Ya, jika dibayangkan seperti itu memang sangat manis kisah diantara gue dan Tiara. Namun pada kenyataanya hubungan gue dan Tiara tidaklah semanis itu. Memang gue mengenalnya sedari kami masih kanak-kanak. Tapi meski begitu gue dan Tiara sama sekali tidak pernah akrab satu dengan lainnya. 

Hubungan gue dan tiara mungkin hanya bisa dikatakan "Sebatas kenal." Ya, gue mengenalnya sejak lama, begitu juga sebaliknya. Sebatas itu! Hanya sebatas itu. Bahkan, gue dan Tiara tidak pernah berada di dalam satu percakapan yang lebih dari 2 menit. Gue dan Tiara mungkin berada di dalam satu habitat yang sama, namun gue dan Tiara adalah dua spesies yang berbeda yang tidak memiliki suatu alasan untuk berkomunikasi lebih dalam selain menyelamatkan diri dari pemangsa.



Hari itu matahari bersembunyi di balik tebalnya awan penghujan di pagi hari. Pagi yang sangat mendukung untuk tetap bergelut di balik selimut, pikir gue kala itu. Namun apa daya suara lembut yang terdengar di awal, mencoba membangunkan gue seketika berubah menjadi suara yang sangat kerasa. Bahkan gue merasa suara itu lebih keras dibandingkan suara Kapten Leonidas.

"FATAAAAAAHHHHH SUDAH JAM SETENGAH TUJUH!!!!" Suara Nyokap gue terdengar begitu menggelegar.

"Iyah, Mah. Lima menit." Sahut gue karena gue tahu saat itu waktu baru menunjukan pukul 05.40 waktu di handphone poliponik gue. (Oh, Mom… I love you)

Baru saja hendak melanjutkan tidur, suara sodet yang beradu dengan penggorengan terdengar nyaring di samping telinga gue yang akhirnya memaksa gue untuk segera bangun dan pergi ke kamar mandi. Ya, nyokap gue merangsek masuk ke dalam kamar dan membangunkan gue dengan cara yang barbar. 

Dengan penuh rasa malas akhirnya gue mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah dan berangkat pukul 6 lewat 20 menit. Dan adegan seperti itu selalu menjadi kebiasaan gue di setiap pagi. Gue berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum. Walaupun sebenernya bokap gue selalu menawarkan diri untuk mengantar gue ke sekolah, namun gue enggan pergi diantar oleh bokap 

Gue. Bukan maksud gue tidak ingin merepotkan orang tua gue, bukan. Gue tidak sebaik itu dalam berpikir, gue berpikir kalau gue berangkat ke sekolah diantar oleh bokap gue. Gue tidak bisa berbelok arah ketika rasa malas ke sekolah menghinggapi diri gue. Yap, gue tidak bisa Madol, kasarnya.

Seperti biasanya, hari itu gue naik angkutan umum mikrolet dari jalan raya dekat rumah gue. Entah kebetulan Semesta atau memang ini sudah kebiasaan, hampir setiap pagi gue mendapat supir yang sama yang sudah agak gue kenal. Bagaimana tidak, hampir setiap pagi selama gue sekolah di tingkat SMP gue sering sekali naik angkotnya Bang Lae, gue memanggilnya.

"Ahh bosan kali aku melihat kao pun setiap pagi." Canda Bang Lae kala itu dengan logat bataknya yang khas sekali.

"Lah sama Bang, Ogut juga bosen, hahaha."

Bang Lae mulai melajukan mikroletnya sementara gue duduk di samping Bang Lae. Untuk membunuh bosan, gue mengeluarkan handphone gue dan memainkan game Bounce yang ada di handphone gue. Sesekali Bang Lae berhenti untuk mengangkut penumpang. Hingga sampai Bang Lae kembali menghentikan laju dengan sangat kasar, Bang Lae menyuruh gue untuk sedikit menggeser tempat duduk.

"Cil, Bergeser lah kao sedikit, biar muat itu nona cantik duduk di samping kao." Ucap Bang Lae.

"Lah penuh." Sahut gue sambil melihat kebelakang yang ternyata sudah sangat padat penumpang.

"Eh Potex." Suara renyah seorang perempuan memaksa gue untuk mengalihkan seluruh kesadaran gue padanya dan perempuan itu ternyata Tiara.

"Eh Ra, tumben." Sahut gue sambil bergeser untuk memberikannnya ruang untuk duduk.

"Iyah nih, bokap gue engga bisa nganter."

Dan saat itu Tiara pun duduk di samping gue. Untuk pertama kalinya gue duduk dengan Tiara begitu dekat hingga gue bisa menghirup aroma parfumnya. Begitu dekat hingga gue bisa merasakan bahunya yang sedikit mengangkat saat dia bernafas. Begitu dekat hingga gue bisa melihat dengan jelas bola matanya yanh ternyata berwarna coklat. Dan begitu dekat hingga nafas gue seketika tersekat-sekat sampai kening gue sedikit berkeringat hingga gue merasakan sesuatu perasaan yang membuat jantung gue lebih cepat berdetak.

"Entah itu sebuah kesialan atau sebuah keberuntungan. Hampir 9 tahun saling mengenal namun aku baru tersadar, Kamu begitu menawan."


Sekitar 20 menit akhirnya angkot berhenti di suatu persimpangan, gue tiba sudah tiba di tujuan. Tiara membayar ongkos perjalanan kemudian turun dari angkot. Sementara gue masih diam duduk bersansar.

"Eh Cil Madol lagi kah kao!?" Tanya Bang Lae.

"Tex, elo ga turun?" Tanya Tiara dari luar angkot.

"Oh… Ah… Gue belom ngerjain tugasnya Bu Risma, keknya gue cabut deh." Jawab gue tanpa melihat ke arah Tiara.

"Ih kebiasaan!" Sahut Tiara kemudian gue sedikit melirik ke arah dia yang ternyata sudah agak berjalan beberapa langkah menuju ke sekolah.

Setelah hari itu gue tidak pernah lagi berada satu angkot bersama Tiara. Namun sialnya bayangan Tiara selalu tertinggal di dalam angkot itu dan suara Tiara yang mengucapkan kata "Kebiasaan" selalu terngiang-ngiang di kepala gue. Memicu pertanyaan besar di dalan hati gue. "Apakah itu hanya sebuah basa-basi? Atau Tiara memperhatikan KEBIASAAN gue selama ini?" 

"Entah, itu cuma basa-basimu atau… ah, entahlah. Namun satu kata 'kebiasaan' yang keluar dari mulut kamu yang akhirnya membuatku setelahnya menjadi kebiasaan memperhatikan segala gerak-gerik kelakuanmu."



Orang bijak berkata: "Sebuah cinta memang harus diungkapkan karena tidak pernah ada cinta yang disembunyikan, kecuali oleh seseorang yang terlalu mencintai dirinya sendiri." 

Jika merunut perkataan orang bijak sebuah cinta harus diungkapkan. Anggaplah gue bukan orang yang bijaksana. Namun gue ingin melempar protes pada orang bijak tersebut, musabab tidak selamanya cinta yang tidak diungkapkan itu karena seseorang lebih mencintai dirinya sendiri; Karena ada kalanya sebuah cinta memang tidak untuk diungkapkan; saat sebuah kenyataan yang terlihat di awal sudah sangat menyakitkan; ada cinta yang memang ditakdirkan untuk tidak dipersatukan.

Semenjak hari itu ada kebiasaan baru dalam hidup gue yaitu memperhatikan dari jauh tingkah laku Tiara. Gue sebenarnya menyadari jika gue merasa jatuh hati namun gue memutuskan untuk berdiam diri. Ada hal yang membuat gue enggan untuk mengatakan atau sekedar menunjukan apa yang gue rasakan. 

Dan waktu terus berputar, pagi terus bergerak hingga tergantikan malam. Gue masih memendam perasaan di dalam diam. Mencoba mengelak apa yang gue rasakan namun semakin mengelak perasaan semakin tidak terbantahkan. Hingga sampai hari terakhir gue berada di tingkat sekolah menengah pertama, gue berniat untuk mengungkapkan apa yang gue rasakan. Karena gue berfikir mungkin ini kali terakhir gue bisa bertemu dengan Tiara. Namun niat itu gue urungkan, mengingat kembali apa yang membuat gue selama ini hanya memendamkan perasaan.



Setelah lulus SMP gue melanjutkan pendidikan di sebuah SMA swasta yang ada di Jakarta Selatan. Entah kebetulan atau memang itu semua adalah takdir yang ditetapkan oleh Tuhan. Tiara masuk di SMA yang sama, gue bertemu dengannya saat briefing calon siswa/i baru sebelum memasuki masa orientasi siswa.

Namun kenyataan itu juga tidak membuat segalanya berubah. Gue dan Tiara tetap berada di dalam satu habitat tetapi gue gue dan Tiara tetaplah dua spesies yang berbeda. Gue tetaplah menjadi gue yang terkadang cabut sekolah demi memanen gold di Ether dan mengikuti WAR siang dalam permainan RF online dan Tiara tetap menjadi "Tiara" yang selalu dipuja oleh khalayak pria dan selalu menjadi Diadem pembeda bagi siapapun yang berhasil meraih cintanya.

Kondisi seperti itu terus berlanjut hingga periode masa gue dan Tiara menjadi mahasiswa. Gue dan Tiara kembali berada di dalam lingkungan yang sama namun gue dan Tiara tetap tidak berada di dalam lingkaran hidup yang sama. Namun karena hal itu pula, karena gue selalu berada di dalam lingkungan yang sama sehingga gue masih bisa menatap ke arah yang sama dan sialnya dengan perasaan yang juga sama bahkan harus gue akui terkadang dibumbui cemburu yang tidak seharusnya. 



Setelah gue lulus kuliah, gue langsung berkerja di salah satu perusahaan retail. Gue bekerja di salah satu gudang penyimpanan barang dagangnya. Selama satu tahun menjadi staff di gudang entah kenapa gue merasa itu satu tahun terhampa yang pernah gue lalui. Entah karena tekanan pekerjaan yang terkadang membuat gue ingin salto sambil juggling atau karena selama setahun itu gue tidak pernah melihat apa yang selama hampir 17 tahun kebelakang selalu gue lihat setiap hari. Entahlah, sepertinya alasan kedua adalah alasan terjujur yang keluar dari dalam hati gue.

Memasuki tahun ke dua, gue dipindah tugaskan ke kantor pusat di divisi retail. Gue begitu terkejut saat hari pertama gue menjadi "Orang kantoran" orang yang pertama kali gue temui saat memasuki area gedung kantoe gue berada adalah Tiara. Gue sempat mengelak jika itu adalah Tiara. Namun saat dia melihat gue yang sedang berdiri mematung karena melihatnya, Tiara menghampiri gue.

"Heyy Tex, Potek kan?" Tanya Tiara memastikan.

"Iya, Tiara?" Tanya gue dengan konyolnya.

"Kamu ngapain, Tex?" 

"…" Gue sedikit terdiam karena Tiara menggunakan kata "Kamu".

"Aaa…Iii… Ini aaakk… gue dipindah tugasin ke sini." Jawab gue akhirnya dan terlihat bodoh pastinya.

"Oh ya? Dimana ?" Tanya Tiara.

"PT. *** " Jawab gue singkat.

"Serius? Berarti selama ini lo kerja di PT. ***?" Tanya Tiara seperti memastikan.

"Iya, udah setahun, kemaren di gudang, sekarang dipindahin kesini."

"Udah setahun?" Sambar Tiara seolah tidak percaya.

"Iya, kenapa sih?" Tanya gue.

"Hahaha. Gapapa." Jawab Tiara lalu tersenyum. "Oh iya sekarang lo pindah ke bagian apa?" Lanjut Tiara.

"Divisi Retail nih." 

"Oh, itu ada di lantai 10." Sahut Tiara.

"Kok tau?" 

"Hahahah, gue juga udah satu tahun, lho. Kerja di sini." Sahut Tiara kemudian melangkah menuju ke depan pintu lift. Sementara gue kembali diam mematung.

"Kebetulan macam apa ini?" Gue berbicara sendiri di dalam hati.

Sebulan pertama gue menjadi "orang kantoran" kegiatan gue lebih banyak didominasi oleh proses adaptasi gue dengan lingkungan kerja yang baru. Biar bagaimana pun, bekerja di gudang dan di kantor itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Gue hanya bertemu Tiara sesekali, sesekali saat jam makan siang, sesekali saat hendak beranjak pulang. Ya, gue hanya sesekali melihatnya setiap hari. Lebih tepatnya gue selalu mencari untuk waktu yang sesekali itu setiap hari. 

Berlanjut di bawah
⬇⬇⬇
oktavpAvatar border
sargopipAvatar border
indrag057Avatar border
indrag057 dan 33 lainnya memberi reputasi
34
2.9K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan