Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Anna471Avatar border
TS
Anna471
Ketika Tabir Strata Sosial Harus Memilih



Sore ini seperti biasa aku datang ke kafe Van Java dan memilih duduk di dekat jendela kaca, tempat favorit. Kafe ini tempat yang menyimpan sejuta kenangan dengan orang terkasih. Aku menarik napas dalam untuk mengurangi sedikit rasa sesak di dada. Beruntung suasananya tidak begitu ramai. Kemudian, aku mulai menggoreskan pena di kertas. Ya, aku ingin menuliskan memori indah bersama Ethan. Kafe ini menjadi saksi bisu hubungan cinta kami.



Lagi, aku merasakan sesak, ketika mengingat sosok Ethan yang begitu memesona. Nostalgia dua tahun silam berkelebat di depan mata bak sebuah film yang diputar ulang kembali. Tetes demi tetes cairan bening mengalir membasahi pipi, aku pun mengusapnya dengan kasar.

***

Aku menjalani sebuah hubungan dengan Ethan sudah tiga tahun lamanya. Dia pun benar-benar serius denganku. Bahkan, rencananya setelah aku wisuda Ethan akan langsung melamarku. Namun, aku masih ragu, bagaimana dengan keluarganya? Akankah mereka setuju Ethan menikah denganku? Masalahnya kami bagaikan bumi dan langit. Ethan keturunan keluarga kaya. Sedangkan aku dari kalangan ekonomi kelas menengah ke bawah. Seorang pegawai toko sembako dan bisa menempuh jenjang sampai kuliah karena bea siswa.

“Kamu nggak usah khawatir, Sayang. Keluargaku pasti setuju. Pokoknya kamu nggak usah khawatir, aku sangat mencintaimu. Aku akan memperjuangkan cinta kita ini.” Selalu itu yang Ethan ucapkan.

Namun, entah kenapa aku masih saja gamang, karena perlakuan kedua orang tua Ethan setiap kali aku diajak ke rumahnya sangat tidak mengenakkan. Tatapan yang sulit diartikan, meskipun di depan Ethan mereka bersikap biasa. Mungkin tak mau membuat anak tunggalnya menaruh benci pada mereka. Ibuku pun selalu menasihati agar tidak terlalu berharap pada Ethan. Beliau bilang menikah dengan keluarga yang ekonominya jauh di atas kami, akan membuat aku dianggap sampah nantinya.

Sampai akhirnya, aku terpaksa mengakhiri jalinan asmara yang telah lama ini. Aku mengajak Ethan bertemu di alun-alun kota. Dada berdebar sangat kencang ketika menunggu hadirnya pria tersayangku. Ya, aku harus membuat keputusan secepatnya, agar bisa hidup dengan damai.

“Andin, tumben ngajak ketemuan di sini sore-sore gini? Nggak sabar pula pas aku bilang masih kerja.” Ethan tersenyum dan langsung duduk di sampingku. Aku hanya menanggapi dengan senyuman yang sedikit kupaksakan.

Napas kuhela dengan panjang.

“Ethan ....” Aku menatap wajah bersihnya dengan tatapan sedih.

Ethan pun menaikkan kedua alisnya. “Kamu kenapa, sih, Yang? Wajahmu tegang banget,” ucapnya.

“Ethan ... maafin aku. Sebaiknya hubungan kita cukup sampai di sini aja.” Aku berusaha berbicara setenang mungkin, padahal dalam hati berkecamuk tak keruan.

“Hei! Kamu ngomong apa, sih? Maksudmu apa?” tanya Ethan sambil mengernyitkan dahi.

“Apa kurang jelas, Ethan? Hubungan kita berakhir di sini!” Tegas dan lugas terucap dari bibirku.

“Tapi ... apa alasannya? Kenapa tiba-tiba kamu mengakhirinya, Andin!”

“Kamu nggak usah pura-pura nggak tahu, Ethan! Kamu pasti tahu, kan kalau orang tuamu nggak pernah setuju dengan hubungan kita selama ini? Kamu tahu, kan?”

Ethan tampak membelalakkan matanya, kemudian dia menghela napas dengan dalam. Lalu, mengangguk.

“Nah, ya udah nggak perlu aku jelaskan lagi. Aku nggak mau lagi ngelanjutin hubungan ini. Percuma!” Kemudian, aku berdiri dan hendak pergi, tapi tanganku langsung dicengkeram oleh Ethan. Terpaksa aku duduk kembali.

“Dengar, Andin, apa pun yang terjadi aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Kalau perlu aku akan membawamu pergi jauh dari kota ini, hingga nggak ada orang yang bisa menemukan kita.” Ethan menangkup kedua pipiku.

Aku menggeleng. “Nggak, Ethan. Hubungan tanpa restu orang tua nggak akan pernah berakhir bahagia. Mungkin saat ini kamu bisa ngomong begitu karena masih sangat mencintaiku, lalu gimana jika suatu hari nanti cintamu hilang?” tanyaku.

“Andin ... cinta ini nggak akan pernah hilang sampai kapan pun.” Ethan meletakkan tanganku di dada bidangnya.

“Apa pun yang terjadi aku nggak akan pernah ninggalin kamu.” Sorot matanya tajam menatapku.

Aku semakin tergugu. Menangisi takdir langit yang menimpa. Aku tidak boleh egois. Mencintai tidak harus memiliki, bukan? Aku tidak mau hubungan orang tua dan anak rusak. Harus ada yang mengalah salah satu. Aku memantapkan pilihan. Meski berat harus tetap kujalani.

“Ethan … sebaiknya memang kita nggak perlu bersama lagi. Cukup sampai di sini saja hubungan ini. Kita berbeda. Aku bagaikan pungguk merindukan bulan.” Aku mengalihkan pandangan ke arah lain.

”Kamu ngomong apa, sih? Bukankah perbedaan bukan penghalang cinta kita?”

”Ethan, kamu harus sadar! Lihatlah kondisi status sosial kita, aku ini siapa, hah? Rakyat jelata yang nggak pantas bersanding dengan seorang konglomerat!” Suaraku bergetar menahan tangis.

Kulihat Ethan hanya bergeming. Mungkin dia mulai paham kalau kami tak pantas bersama. Oh, Tuhan ... kenapa kami harus dipertemukan jika akhirnya tak bisa bersama?

“Apa kamu menyerah? Apa nggak mau berjuang demi cinta kita?” Ethan menggenggam erat tanganku.

“Maaf ....”

Kemudian, aku melepas genggaman tangan Ethan dan melangkah meninggalkannya. Meski dia terus berteriak memanggil, aku tak peduli. Sebab, teringat janji tadi pagi kepada mamanya Ethan, kalau aku akan menjauhinya.

“Andin, tante percaya kamu gadis baik. Jadi tolong tinggalkan Ethan. Tante nggak mau hubungan dengan papanya memburuk. Ethan membantah kata-kata papanya untuk meninggalkanmu, dia akan pergi jauh membawamu, jika papanya nggak memberi restu. Mereka berdua sama kerasnya. Jadi, tolong tinggalkan Ethan. Kami nggak bisa jika harus kehilangan Ethan, dia satu-satunya putra kami. Dan untuk merestui hubungan kalian sangat sulit. Tante harap kamu bisa ngerti.” Ucapan mamanya Ethan membuatku sadar bahwa memang kami tak pantas bersama.

Mendengar kata-kata mamanya Ethan tadi pagi membuat keputusanku meninggalkan Ethan semakin bulat. Semua ini demi kebaikan bersama. Aku terus melangkah menjauh dengan menangis, meratap seorang diri. Berjalan dengan pikiran melayang. Raga dan jiwaku telah pergi. Separuh hati masih tertinggal. Aku berjalan terseok-seok. Jiwa benar-benar terguncang. Hati bagai diluluhlantakkan. Rasanya seperti dihempas dari dataran yang begitu tinggi.

Jika memang kami berjodoh, pastilah bisa bersatu. Jika bukan sekarang, semoga nanti bisa bersama. Namun, kalaupun bukan aku bisa apa?


***

Memori dua tahun silam benar-benar membuatku terpuruk hingga sekarang. Rasanya masih baru terjadi kemarin. Lagi-lagi, dada terasa sesak. Mengapa mencintai harus sesakit ini? Dua hati yang tak bisa bersatu perbedaan status sosial.

Aku pun menutup buku diary, lalu dengan perlahan berdiri dan melangkah meninggalkan kafe kenangan. Napas kutarik dalam-dalam. Ketika sampai di luar, mata mengawasi sekitar, matahari tampak mulai tenggelam. Suasana senja keemasan menambah gejolak dalam kalbu. Semburat jingga di ufuk barat mengingatkan akan nostalgia hangat bersama Ethan.

Doa yang terbaik selalu tercurahkan padanya. Semoga Ethan bahagia dengan pasangan pilihan orang tuanya. Meski di sini aku masih terpuruk, belum bisa melupakan bayang wajahnya dan kenangan tentang dia. Aku berharap suatu saat nanti bisa menemukan pengganti Ethan yang bisa membuka pintu hati yang telah lama terkunci rapat.



***

Selesai

Malang, 22 April 2020
Diubah oleh Anna471 21-04-2020 20:41
zatilmutieAvatar border
WardahRosAvatar border
mbakendutAvatar border
mbakendut dan 49 lainnya memberi reputasi
50
2.2K
97
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan