Aku berdiri di balik jendela kamar. Menatap pada jalanan kosong, tanpa terasa bulir air mata menetes di pipi. Sakitkah yang kurasa? Atau hanya perasaan tidak berdaya?

Sebagai seorang wanita, aku hanya bisa pasrah. Aku terlaru larut dalam perasaan sendiri selama ini. Mengharapkan seseorang yang seharusnya tidak boleh kuharapkan.

Pikiranku melayang jauh saat di mana kami bersama saling mendukung. Lewat sosial media kami bertemu, berbagi cerita. Ia yang selalu menyemangatiku saat aku mulai menemukan titik kejenuhan atau mood menulisku sedang sangat buruk. Laki-laki yang awalnya hanya kulihat dari foto profil facebook itu selalu menjadi inspirasi dalam setiap ceritaku. Ya, akun bernama Yazid itu selalu membayangi hidupku kini.



Saat itu, kami dipertemukan dalam suatu project kepenulisan buku antologi. Ketika bagian cerpenku dibedah, dia mulai memberikan kritik dan saran. Caranya menyampaikan kritik justru membuatku lebih terpacu dan belajar. Kami saling berbalas komentar yang berhubungan dengan cara kepenulisan. Aku bertanya, dia menjawab dengan sabar seolah mengerti betul tentang perasaan wanita yang penuh dengan kelembutan dan sangat sensitif.

Dasar aku yang masih menjomblo, ketika ada laki-laki memberi perhatian dan siap menjawab semua pertanyaanku, langsung saja aku menganggap dia spesial. Walaupun terkadang aku ngeyel dengan ilmu kepenulisanku yang sedikit, dia tidak pernah sekalipun memandang rendah dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Hingga, aku mulai beranggapan dia menyimpan rasa padaku. Ah, selemah itu hatiku.

Kepercayaan diriku muncul tatkala ia meminta naskah yang kutulis untuk dikirim lewat jaringan pribadi whatsapp. Kesempatan bagiku untuk berbicara lebih intim lagi dengannya. Aku mulai membuka pembicaraan ke masalah pribadi. Hingga beberapa kali curhat tentang berbagai masalah yang menimpaku.

Begitupun dengannya. Tidak jarang ia mengeluhkan kondisi pekerjaannya di dunia nyata. Bahkan, kami saling bertukar alamat agar bisa bertemu suatu hari nanti.

Tiap kali aku cerita, ia akan selalu menanggapi dengan kelimat-kalimat yang bijak.  Aku makin menaruh hati padanya. Berharap dia menjadi pendamping hidupku kelak.

Aku sudah nyaman dengannya. Begitu pula dirinya. Pernah ia mengaku sangat senang bisa berbagi cerita denganku dan berharap bisa selalu menjagaku.

Dari semua yang ia ungkapkan, aku tau bahwa kami saling terikat. Kami menautkan hati walau tidak pernah bertemu. Kami saling merindu walau tidak pernah bertatap. Kami saling mengkhawatirkan walau tidak pernah bersentuhan. Kami saling memimpikan walau tidak langsung bersua.

Sampai suatu ketika, kami janjian ingin bertemu. Namun, sebuah kenyataan pahit harus kutelan. Aku yang menggantungkan hati dan mimpiku padanya harus menerima bahwa ia sudah menikah.

Semua aku ketahui saat akun Yazid mengirimkan sebuah postingan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada seluruh teman-teman di facebook.

Kepada seluruh teman-teman facebook akun Yazid,

Dengan ini, saya sebagai istri Yazid yang mewakili akun ini memohon maaf atas semua kesalahan dan khilafan suami saya. Jika ada hutang piutang yang belum selsai harap menghubungi nomor di bawah ini.

Mohon doanya, semoga Allah mengampuni Yazid dan menerima amal ibadahnya. Serta ditempatkan di surga tertinggi. Aamiin.
Istri Yazid: 085xxxxxxx

Ada hati yang menjadi kosong di sini. Dua kenyataan yang sangat sulit kuterima harus ditelan langsung saat ini. Dua hati yang tak bisa menyatu karena terhalang status dan kematian.

Iya, begitulah cinta di dunia maya. Hubungannya maya tapi rasa sakitnya jika tidak bisa bersatu itu nyata.

Dari kejadian ini aku belajar untuk tidak memakai hati dan perasaan jika berkomunikasi dengan orang-orang di dunia maya. Kecuali, jika aku bertemu langsung dengan sosoknya dan bisa merasakan cintanya secara nyata.

Salam hangat,
RetnoQr3n