Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
Surat Izin untuk Hidup
#SIUH_Bab2


Hai semua, masih ada yang ingat dengan cerita ini di bab 1? Maaf karena lama gak up lagi, karena saya udah lama juga gak buka kaskus. Oke saya ingin lanjut ke bab 2, semoga suka.




"Kau pasti tidak meminum obat itu dengan benar, makanya bayi itu masih ada di perutmu?"

"Kau menyalahkanku? Kau tidak merasakan sakitnya bagaimana, setelah meminum obat itu. Kau pikir aku sengaja ingin mempertahankan bayi ini? "

"Lalu apa yang harus kupikirkan, ha?"

"Kau tidak mengerti, Aryo. Bukan hanya dirimu saja yang tidak menginginkan bayi ini, tapi aku lebih tidak menginginkannya," jawab Sari kesal.

Bagaimana bisa pria yang berstatus suaminya itu menyalahkan semua kepada dirinya. Dia yang merasakan sakitnya, dia yang harus menerima akibatnya jika obat itu ikut mengancam dirinya. Dan seenak jidat, pria itu meragukan dirinya. Apa pria itu buta, hingga tak bisa melihat dirinya kesakitan setelah meminum obat itu.

"Sepertinya, kau membutuhkan dosis yang lebih tinggi," ucap Aryo.

"Dosis tinggi? Tidak, aku tidak mau. Jika hanya satu tablet obat itu membuatku sesakit itu, lalu apa yang akan terjadi jika aku memakai dosis yang lebih tinggi? Sebenarnya apa maumu, kau ingin membunuh bayi ini atau ingin membunuhku? "

"Tidak ada cara lain lagi dan kau tidak perlu khawatir, karena aku memiliki seorang teman yang bisa membantu kita." Sari menghela napas, sebenarnya dia sedikit ragu. Jika dia salah mengambil keputusan. Bukan hanya nyawa bayi dalam kandungannya, tapi nyawanya juga akan ikut terancam.

"Bagaimana?"

"Apa itu akan aman untukku?" tanyanya pelan.

"Tentu saja. Sudah banyak yang mengunakan obatnya dan mereka masih hidup sampai sekarang."

"Baiklah."

Sari menelan ludah, menatap nanar obat di dalam genggaman. Perkatan teman Aryo kini berputar di otaknya. Bayangan tentang dirinya yang kesakitan kini terlihat jelas di pikirannya.

Ingin rasanya ia mengurungkan niat, tapi keadaan sepertinya begitu mendesak. Jika dia tidak menggugurkan bayi dalam kandungannya, maka dia akan terjebak seumur hidup dengan pria bernama Aryo, yang sangat menyebalkan dan keras kepala itu. Ditambah lagi dia akan kehilangan Putra, pria yang begitu ia cintai melebihi dirinya sendiri.

"Cepat minum obat itu, sebelum bapak dan ibu tau!" perintah Aryo.

Sari kembali menelan ludah, ditaruhnya empat tablet obat itu di bawah lidah. Setelah 30 menit wanita itu menelan ludah, kemudian memuntahkan sisa obat yang belum tercerna.

Tepat setelah tiga jam, perut Sari mengalami kontraksi. Wanita itu merintih kesakitan, cairan merah ketal kini mengalir turun membasahi kakinya. Aryo tersenyum melihat istrinya yang mengalami pendarahan, Sari menjerit kesakitan. Wanita itu menyurah-serapahi Aryo yang hanya tersenyum memandangnya. Dasar pria gila.

"Bawa aku ke rumah sakit, aku mohon! Akh .... " Tubuh Sari melemas, kegelapan kini mendominasi penglihatan. Di detik berikutnya kesadaran wanita itu benar-benar hilang.

****--------

"Bapak tidak percaya, kalian tega melakukan semua ini," ucap seorang pria yang usianya hampir mendekati kepala enam.

Semua orang di sana hanya diam menunduk, mereka sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing.

"Entah apa yang akan terjadi, jika Bapak telat membawa Sari ke rumah sakit saat itu? Bukan hanya bayi dalam kandungannya, tapi nyawa Sari juga ikut dalam bahaya."

"Sudah, Pak! Sari butuh istirahat, dia masih lemas," ucap sang istri yang tengah duduk di sofa, tepat di samping Sari yang hanya menatap kosong ke depan. Meski Sari hanya menantunya, tapi ia sangat menyayangi Sari, seperti anak kandungnya sendiri.

"Hanya duduk sebentar tidak akan membuatnya dalam bahaya." Sang istri hanya menghela napas mendengar jawaban suaminya. Ia sangat tau watak suaminya yang tegas, dia tau jika saat ini suaminya itu tengah kecewa karena hal ini. Bahkan dirinya pun sangat kecewa.

"Aryo, Sari, apa sebenarnya yang ada di pikiran kalian, hingga kalian tega ingin melenyapkan bayi yang bahkan belum lahir ke dunia?"

"Kalian telah melakukan dosa besar, Nak. Apa kalian tidak takut akan murka Allah?" Lanjutnya.

"Pernikahan ini adalah paksaan," ucap Aryo. Setelah sekian lama ia menutup mulut, kini ucapan itu keluar dari mulutnya. Semua orang memandang Aryo dengan tatapan tak percaya, kecuali Sari. Dari tadi wanita itu hanya menatap kosong ke arah depan.

"Bayi itu sebuah kesalahan," Lanjutnya. Ditatapnya semua orang yang ada di sana satu persatu.

"Aryo," ucap sang ibu lirih, matanya kini sudah berkaca-kaca menatap sendu ke arah sang putra.

"Kalian yang memaksaku menikah dengan Sari, untuk memenuhi janji kalian pada orang tuanya. Kalian tidak memikirkan kebahagiaanku, selama ini aku diam karena aku menghormati kalian. Tapi sekarang tidak lagi, aku tidak mau mempertaruhkan masa depanku hanya untuk memenuhi janji kalian."

"Aryo," ucap sang ibu lirih, air matanya kini menetes, mengalir deras membasahi pelupuk matanya. Apa dia bukan ibu yang baik, hingga keinginan putranya sendiri pun ia tak tau? Apa selama ini dia hanya mementingkan dirinya sendiri dan menganggap bahwa sang putra juga bahagia saat dia bahagia? Apa semua yang ia lakukan ini salah?

"Maafkan Aryo, Buk! Aryo tidak bisa tinggal di rumah ini lagi." Aryo melangkah pergi dari sana, pria itu tidak perduli dengan ibunya yang dari tadi memanggil-manggil dirinya sambil menangis.

Tekadnya kini sudah bulat, dia harus pergi. Di sini yang dipertaruhkan bukan hanya masa depannya, tapi juga masa depan Sari. Namun, pria itu sepertinya lupa bagaimana dengan keadaan Sari dan bayinya jika ia pergi saat ini.

"Aryo ... hiks-hiks. Pak, Aryo, Pak." Sang suami hanya diam menatap sang putra yang sudah melangkah pergi dengan koper di tangan.

"Kalau Bapak tidak mau mencegahnya, biar Ibu saja."

"Biarkan saja dia pergi!" ucap sang suami.

"Pak."

"Jika Ibu mencegahnya, maka Bapak yang akan pergi dari rumah ini. Anak itu harus diberi pelajaran agar dia mengerti."

Sang istri hanya menangis sesenggukan, melihat ke arah pintu yang terbuka lebar. Sekarang hanya satu hal yang bisa dia lakukan, yaitu menunggu keajaiban datang. Menunggu putranya berubah pikiran dan kembali pulang.
Sari tersenyum miris melihat semua drama ini.

"Aku akan kembali ke rumah orang tua angkatku, setelah bayi ini lahir," ucapnya, yang membuat pasangan tua itu menoleh ke arahnya.

"Bukankah kalian hanya menginginkan bayi ini, maka keinginan kalian akan terpenuhi. " Lanjutnya kemudian melangkah pergi. Lagi-lagi cairan bening itu keluar dari mata ibu Aryo. Ujian apa lagi ini, setelah putranya apakah dia juga akan kehilangan menantunya? Sepertinya dia telah gagal menjaga amanat dari kedua orang tua kandung Sari.

"Bunga, sayang ada apa? Bunga." Aku terbangun ketika merasakan seseorang mengguncang tubuhku.

"Mama ... " ucapku langsung memeluk mama, ketika menyadari orang yang mengguncang tubuhku adalah mama. Air mata membasahi pipiku. Napasku tersenggal-senggal, karena kebanyakan menangis. Mama mengusap lembut rambutku.

"Mama, Bunga bukan kesalahan 'kan? Mama dan papa menginginkan Bunga 'kan?" tanyaku sambil menangis, tiba-tiba mama menghentikan gerakan tangannya yang membelai rambutku. Mama melepaskan pelukan, menatapku dalam. Entah apa arti tatapan itu, aku pun tak tau.

"Mengapa kamu menanyakan itu, sayang? Apa selama ini kasih sayang mama dan papa tidak menunjukkan, bahwa kami menginginkan dirimu? " ucap mama menatapku sendu. Tentunya hal itu membuatku sangat bersalah, lagi-lagi aku melukai hatinya, hanya karena pemikiran konyolku.

"Bunga tidak bermaksud seperti itu, Ma."

"Apa kamu masih marah sama Mama dan papa, karena hidup kita sekarang ini?" Aku menggelengkan kepala. Kenapa lagi-lagi permasalahan itu yang selalu dibahas. Tidak bisakah mama melihat perjuanganku untuk beradaptasi dengan kehidupan kami sekarang?  Aku benci ketika melihat mama menatapku seperti itu.

"Ma, Bunga-"

"Ini sudah pagi, sebaiknya Bunga mandi. Mama akan masak dulu untuk kamu dan papa." potong mama cepat. Tanpa mendengarkan lanjutan dari ucapanku, mama melangkah keluar dari kamarku.

Aku menghela napas, memandang punggung mama yang semakin menjauh dan hilang ditelan pintu. Semua ini karena buku berisi surat itu, hingga aku menangis dalam tidur. Membuatku berpikiran konyol, hingga menyakiti hati mama.

Tunggu dulu, di mana buku itu? Aku mencari ke segala tempat termasuk di kolong tempat tidur, tapi aku tak kunjung menemukannya. Hanya satu tempat yang belum kuperiksa, yaitu lemari.

Kubuka lemari kayu itu dan benar saja buku itu ada di sana bersama petinya juga. Aku mengernyit bingung menatapnya. Bagaimana mungkin peti itu kembali ke tempat di mana aku menemukannya, padahal aku ingat pasti. Bahwa aku telah membawa dan membaca isinya di atas kasur tadi malam? Apa jangan-jangan?



***Mohon krisarnya

Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 34 lainnya memberi reputasi
33
2K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan