Bagiku cinta itu tragis. Tak jarang, cinta membuat pertumpahan darah. Baik nyata maupun hanya kiasan. Tragis memang.

Apakah ada cinta yang suci dan abadi? Nyatanya tidak. Selalu ada alasan dan landasan dalam mempertahankan rasa itu. Seperti kali ini.

"Jangan pergi huh?" Ia menarik wajahku untuk menatap matanya.

"Tak apa. Jika kamu bertahan dengan rasa iba. Kasihan. Kasihani saja aku."

Aku menatapnya. Apakah perempuan sebucin ini? Bahkan demi mempertahankan hubungan, rela memberikan kehormatannya secara cuma-cuma. Namun, sayang. Ia datang pada orang yang salah. Aku bukan orang sebejat itu. Tak akan kusentuh kehormatan mereka, bila belum ada ikatan pernikahan.

"Akan kuberi apa yang kamu mau." Benar bukan? Apakah mereka sebucin itu?

"Maaf. Perkataanmu barusan, membuatku jijik. Aku nggak sejahat itu." Aku pergi meninggalkannya begitu saja di kamar.

Perempuan itu mengalami demam. Badannya panas, karena stres dengan keputusanku. Namun, apa daya. Dari awal hubungan ini hanya sepihak dan sekarang hatiku sudah dipenuhi nama yang lain. Rasa iba dan kasihan, malah membuat hubungan ini menyakiti kami berdua. 

"Kenapa dari awal kamu tidak menolak pertunangan ini!" 

Aku menghentikan langkah dan berbalik.

"Kamu tahu, aku nggak bisa melawan keinginan kakek?"

"Lalu, setelah ia tiada, kamu melepasku begitu saja?! Setelah warisan jatuh padamu?!"

"Kalau kamu mau, ambil saja saham yang aku punya. Namun, aku akan tetap berada di sana hingga ada pengganti yang pas."

"Apa karena perempuan jalang itu?!"

"Dia punya nama."

"Nama? Orang miskin seperti dia?"

"Setidaknya dia punya harga diri dan bisa menjaga kehormatannya. Dia bukan orang yang bisa diperbudak cinta begitu saja."

Aku membanting pintu kuat dan berlalu pergi. Inilah akhir hubungan kami. Dan akulah yang menyebabkan cinta itu berdarah. Laki-laki yang tidak bisa mencintai seseorang yang mencintainya.


Gambar