Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

evihan92Avatar border
TS
evihan92
Nini Curug Penghuni Air Terjun


"Awas, Syaiful, jangan main jauh-jauh, nanti diculik Nini Curug!"

Untuk ke sekian kalinya, Budhe berpesan seperti itu. Ah, Budhe memang cerewet. Selalu saja melarangku bermain agak jauh sedikit. Tempat mainku yang paling jauh hanyalah sendang di tepi sawah, tempat warga desa ini mandi dan mencuci pakaian.

Kalau sedang bernasib baik, aku bisa bermain lebih jauh dengan ikut kakak sepupu mencuci pakaian di sungai besar. Kalau sendirian, jangan harap diijinkan. Selalu saja kalimat itu diulang lagi, "Nanti diculik Nini Curug."

Kadang aku bertanya-tanya, mengapa orang dewasa boleh bepergian sesuka hati? Mengapa anak kecil sepertiku hanya boleh bermain di dekat rumah?

Apakah Nini Curug itu hanya berani berhadapan dengan anak kecil?

Kalau benar begitu, aku tidak takut. Sekalipun masih kecil, aku pandai berkelahi. Memukul, menendang, menangkis, aku jagonya.

Menghadapi Nini Curug tentu tak kan sulit. Bukankah nini-nini itu sudah tua? Badannya sudah bungkuk, wajahnya sudah keriput. Sekali tendang, pasti jatuh.

Berbekal keyakinan itulah, suatu hari aku bermain lebih jauh dari biasanya. Aku melewati sendang, menyusuri galengan sawah, hingga sampai ke desa tetangga.

Senang sekali rasanya, bisa melihat tempat selain kebun cengkeh dan kopi di dekat rumah. Di desa tetangga ini, aku melihat kebun buah-buahan yang sebagian sedang berbuah. Ada duku dan manggis, keduanya adalah buah kesukaanku.

Dengan sigap, aku mengumpulkan manggis-manggis kecil yang jatuh dari pohon. Bukan untuk dimakan, karena belum matang. Manggis kecil itu akan kubawa pulang untuk mainan Nurjanah, adik perempuanku.

Entah berapa lama aku bermain sendiri di kebun itu. Lama-lama, bosan juga rasanya. Tak ada teman yang bisa kuajak main kejar-kejaran atau petak umpet.

Duduk di rerumputan, aku bersandar pada sebatang pohon yang rimbun. Semilir angin yang berhembus membelai lembut, membuatku mulai terkantuk-kantuk.

Entah berapa lama tertidur, aku terkejut saat terbangun. Gelap di mana-mana. Hanya bayangan pepohonan yang terlihat remang-remang.

Apa yang terjadi? Di mana aku?

"Syaifuuul, Syaifuuul ...."

Samar-samar, terdengar suara memanggilku. Lirih dan menakutkan. Siapa itu yang memanggil?

Tak sadar aku bergidik.

"Syaifuuul ...."

Aku mengerjapkan mata. Masih tak terlihat apapun selain bayangan pepohonan. Hingga kemudian, semilir angin dingin meniup wajahku.

"Hihihi ... kau anak pemberani, Syaiful ...."

Hhk!

Napasku tercekat di tenggorokan. Tepat di depanku, samar-samar terlihat wajah nenek tua renta yang keriput, ompong, dan bermata cekung.



Lalu kurasakan tubuhku terangkat, naik, terus naik semakin tinggi, melampaui pepohonan besar yang kini di bawahku.

Apa yang terjadi?

Aku menggigil ketakutan. Dalam kegelapan, masih bisa kulihat nenek itu menyeringai di depanku.

"Kau akan kubawa pulang, kujadikan anakku, Syaiful ...."

Sekuat tenaga aku berontak. Tidak, aku tidak mau! Berkali-kali tangan dan kakiku mengirimkan pukulan dan tendangan, tetapi nenek tua itu tetap tak tersentuh.

Kurasakan tubuhku bergerak melayang, seperti terbang, entah ke arah mana. Akhirnya, terdengar suara gemuruh air yang jatuh dari ketinggian. Air terjunkah itu? Ya, betul, itu air terjun! Dalam bahasa daerah kami, Purbalingga, disebut curug!

Apakah aku telah diculik oleh Nini Curug?

Tak terasa, air mataku menetes. Ingat Budhe, kakak sepupu, dan adikku. Di mana mereka sekarang? Tidakkah mereka kebingungan mencariku?

"Allahu akbar! Syaifuuul, di mana kamu?"

"Allahu akbar! Syaifuuul!"

Suara-suara dari bawah terdengar samar memanggilku. Semakin lama semakin dekat. Kulihat ada banyak obor bambu di bawah sana, menandakan banyak orang yang mencariku.

"Syaifuuul ...!"

Aku ingin menyahut panggilan mereka, tetapi lidahku kelu. Tak bisa berkata apa-apa.

"Syaifuuul ...!"

Air mataku mengalir makin deras. Lidahku masih tak bisa digerakkan.

"Awwaahu abaa .... Awwaahu abaa ...."

Kupaksakan diri untuk bertakbir, mengikuti suara-suara di bawah sana. Beberapa saat kemudian, seseorang tampak menunjuk ke arahku.

"Itu dia!"

"Itu Syaiful, di pohon besar tepi curug!"

Oh, syukurlah mereka melihatku. Aku terus berusaha bertakbir, berdoa, memohon agar Nini Curug melepasku.

Beberapa orang tampak mendekat. Lalu, diiringi takbir dan doa-doa, seseorang meraih dan menurunkan aku dari pohon tinggi tempatku bertengger tadi.

Budhe tergopoh-gopoh mendekat lalu memelukku erat. Wajahnya sudah dibanjiri air mata.

"Oalah Syaiful, Budhe harus bilang apa sama ibu-bapakmu, Le? Kalau sampai kamu ndak ketemu ...."

Aku menangis makin keras dalam pelukan Budhe. Dalam hati berjanji, tak akan lagi melanggar larangan Budhe. Bagaimanapun, beliaulah yang merawatku di desa selama bapak-ibu bekerja di kota.

Sumber : opini pribadi
Foto : dari sini
sebelahblogAvatar border
infinitesoulAvatar border
lurikaAvatar border
lurika dan 29 lainnya memberi reputasi
30
4.8K
195
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan