Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
SENJAKALA
Sebuah Telegram dari Desa membawanya pulang kembali ke Desa yang menyimpan sisi kelam dalam hidupnya, dan justru terkuak sebuah rahasia kelam lain yang tersimpan dengan rapi selama ini.

SENJAKALA
by Deva Shastravan

Inspired story by SOROP from Simpleman



Senjakala
Oleh Deva Shastravan

===

Pagelaran, Pringsewu. 1988

“Segera pulang mas koma bulek sekarat titik.”

Kubuka lagi selembar telegram berwarna biru pucat itu, dengan logo telkom di susut kirinya, telegram yang dikirimkan oleh sepupuku, Ningsih. Bulek yang di maksud tentulah ibunya Ningsih, Bulek Hartini, adik dari ibuku.

Bis yang kutumpangi hampir sampai ke Pagelaran, Pringsewu, desa tempatku dilahirkan dan dibesarkan, namun di desa itu pula yang lama kutinggalkan menorehkan sebuah luka yang sampai kini masih membekas di hatiku.

“Pagelaran! Pagelaran!” teriak kondektur bis yang menyadarkanku dari lamunan, bergegas aku turun, membayar tarifnya dan bis pun kembali melaju, menebarkan debu-debu beterbangan yang membuat mataku terasa perih. Sudah enam bulan ini kemarau panjang di seluruh Lampung.

“Mas Deva!” suara perempuan yang sangat familiar, Ningsih.

“Kok kamu tahu Mas datang hari ini?”

“Buruan, Mas. Emakku selalu memanggil nama Mas sejak sakitnya semakin parah.” Ningsih tak menjawab, justru mengalihkan pembicaraan, kulihat matanya sembab tanda habis menangis.

***

Rumah bulek Hartini tampak suram, apalagi dilihat dalam suasana remang senja. Untuk pertama kalinya kulangkahkan kaki memasuki rumah ini, setelah kepergianku 10 tahun lalu untuk ikut paklek Jumiran ke Bandar Lampung.

Paklek Jumiran sebenarnya bukan orang berada, namun karena pernah suatu hari ia memergoki bulek Hartini tengah memukuliku seperti orang kesetanan dengan sapu, ia tidak tega dan akhirnya menjadikanku anak angkatnya di kota.

Bulek Hartini memang kejam, aku sendiri tak mengerti penyebabnya. Sejak kematian ayah dan ibuku Bulek Hartinilah yang mengasuhku. Kedua orangtuaku meninggal karena terserang sakit yang aneh, yaitu selalu muntah darah bercampur belatung, dokter yang menangani tak tahu apa penyakitnya. Berbagai pengobatan alternatif pun sudah di jalani namun hasilnya nihil, semakin hari semakin tampak kurus tubuh mereka, seingatku pada hari ketujuh mereka sakit, keduanya meninggal secara bersamaan.

Kini di hadapanku kondisi bulek Hartini mirip seperti saat orangtuaku sakit, tubuhnya kurus tinggal tulang.

“Deva … Maafkan … Bulek ….” Kudengar suaranya yang seperti dipaksakan, ia berusaha untuk bangkit, namun kutahan agar ia lebih baik tetap dalam posisi tidurnya.

“Iya Bulek, aku Deva, semua kesalahan Bulek sudah Deva maafkan,” kataku. Lagipula siapa yang masih tega untuk tidak memaafkan orang yang sudah dalam kondisi seperti itu?

BLARRR!!!

Tiba-tiba seperti terdengar suara ledakan di atap rumah, bulek Hartini menjerit kuat lalu tubuhnya tampak seperti mengejang. Ningsih tak kalah kaget, menjerit sambil menutup telinganya, sedangkan paklek Yanto spontan berlari keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya terpaku sesaat, karena tak menyangka akan ada suara demikian keras dari atap rumah.

GRRRRR!!!

Kali ini yang kulihat justru pemandangan yang tak masuk akal, suara geraman itu keluar dari mulut bulek Hartini yang tengah berdiri dengan sedikit membungkuk, matanya memerah dan menatap tajam ke arahku. Senyum di bibirnya menyeringai, dengan wajah yang hanya seperti kepala tengkorak terbalut kulit bulek Hartini tampak sangat menyeramkan.

Aku mundur beberapa langkah saat tiba-tiba bulek Hartini meloncat menerkamku.

GRRRRR!!!

Sungguh … aku sangat ketakutan melihatnya, aku berhasil menghindari terkamannya dan berlari keluar kamar, sedangkan Ningsih kulihat pingsan.

Aku berlari keluar rumah, namun yang kulihat di luar justru lebih mengerikan lagi, paklek Yanto tengah mencekik leher sesosok pocong. Ya … benar-benar pocong, kain yang membungkusnya tampak lusuh kotor penuh tanah, dengan wajah yang tampak … gosong.

“Pocong laknat, kembalilah kepada yang mengirimmu!” teriak Paklek Yanto.

Seketika sosok pocong itu lenyap, bersamaan dengan munculnya sosok bulek Hartini yang mengejarku dari dalam, secara tiba-tiba tubuh bulek Hartini ambruk ke tanah.

Paklek Yanto segera menghampiri bulek Hartini, di periksanya nafas dan urat nadi, dengan wajah tampak lesu paklek Yanto menatapku, “Bulekmu sudah pergi meninggalkan kita, Dev, untuk selamanya.”

Beberapa warga berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, saat mereka tahu kalau bulek Hartini sudah tiada, mereka membantu paklek Yanto membopong tubuh bulek Hartini ke dalam rumah.

Malam itu suasana di rumah paklek Yanto jadi ramai oleh warga yang begadang menemani paklek Yanto. Rencananya besok jasad bulek Hartini akan dikuburkan.

***

Aku duduk di sebuah kursi di kamar bulek Hartini, sementara paklek Yanto duduk di ranjang yang selama ini tempat bulek Hartini terbaring, jasad bulek Hartini sendiri diletakkan di ruang tengah dengan di tutupi kain jarik.

“Deva, Paklek minta maaf atas segala perlakuan bulekmu dulu padamu.”

“Kalau boleh Deva tahu, kenapa bulek Hartini bersikap jahat kepadaku dulu, Paklek?” tanyaku, masih ada tersisa rasa marah yang terpendam dalam hatik, sehingga suaraku terdengar seperti bergetar.

“Sebenarnya tak baik membicarakan orang yang sudah meninggal, tapi baiklah Paklek akan ceritakan padamu.

Kakekmu sebenarnya benci kepada bulekmu. Kamu tahu sendiri bahwa bulekmu mengalami cacat di kakinya sejak lahir, berbeda dengan ibumu yang terlahir sempurna dengan paras yang cantik, maka kakekmu selalu memperlakukan bulek Hartini dengan perlakuan berbeda, dibandingkan perlakuan kakekmu kepada ibumu dan Paklekmu, Jumiran.

Hampir semua pekerjaan dapur bulek Hartini yang kerjakan, nyaris ibumu tak pernah bekerja, bahkan bulekmu seringkali di kata-katai oleh kakekmu sebagai perawan tua atau gadis tak laku, tapi toh nyatanya aku bisa jatuh cinta pada bulekmu, sampai menikah dan punya anak Ningsih.

Jadi sebenarnya bulek Hartini menaruh dendam pada ibumu, maka sepeninggal ibu dan bapakmu bulek Hartini langsung mengambilmu sebagai anak, Paklek sendiri tak menyangka kalau bulek Hartini bisa berlaku kejam kepadamu. Sekali lagi Paklek sebagai suami bulekmu meminta maaf sama kamu.”

Mendengar apa yang dituturkan Paklek Yanto membuat mataku berkaca-kaca, memang wajarlah kalau kiranya bulek Hartini menaruh dendam pada ibu karena perlakuan kakek selama ini padanya.

“Sekarang kamu istirahat saja, dev, kamu pasti lelah. Di belakang ada kamar kosong. Paklek minta besok kamu kembalilah ke Bandar Lampung. Firasat Paklek nggak enak tentang paklekmu, Jumiran.”

Belum sempat aku bertanya maksud ucapan paklek Yanto, dia sudah keluar kamar dan bergabung dengan bapak-bapak tetangga paklek yang duduk di teras, rasa penasaran masih menggelayuti pikiranku. Apa maksud paklek Yanto dengan ucapannya tadi?

***

Sepanjang jalan yang di lalui bis yang kutumpangi menuju Bandar Lampung, pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan yang tak bisa kudapatkan jawabannya, meski aku sudah berusaha memeras otak memikirkan dengan mengaitkan semua kejadian yang kualami di Pagelaran.

Bagaimana mungkin tubuh bulek Hartini yang lemah itu bisa bangkit dan menyerangku dengan ganas? Lalu ledakan itu suara apa sebenarnya? Pocong yang kulihat malam itu seperti yang dikatakan paklek Yanto adalah pocong kiriman, siapa yang mengirim? Ah semakin dipikirkan semakin sakit saja rasanya kepalaku.

Bis yang kutumpangi akhirnya berhenti di Terminal Rajabasa, dari sana aku naik angkot menuju Tanjung Karang, dimana paklek Jumiran tinggal.

Lagi-lagi aku di buat bingung dengan apa yang kali ini kulihat, rumah paklek Jumiran sudah ramai dengan orang, sebuah bendera berwarna kuning berkibar di depan rumah.

Jangan-jangan ….

Kupercepat langkah, kedatanganku disambut bulek Sari, istri dari Paklek Jumiran dengan pelukannya, pipinya sudah dibanjiri oleh air mata.

“Paklekmu, Dev … ia sudah meninggal … semalam.” Tubuh bulek Sari terhuyung, jatuh dan pingsan, beberapa orang yang ada di situ mengangkat tubuh bulek sari ke kamarnya.

Siang itu penguburan jenazah Paklek Jumiran dilaksanakan. Dari cerita orang-orang yang ikut menguburkan kudengar tanah yang digali sangat keras, sehingga sore hari jasad paklek Jumiran baru bisa dimasukkan ke dalam kuburnya, ditambah lagi ada yang bilang kalau saat jenazah paklek Jumiran di masukkan ke dalam kuburnya tercium bau busuk yang menyengat, entah itu dari tubuh jenazah paklek Jumiran atau dari lubang kuburnya, tak ada yang bisa memastikan.

Seminggu setelah kematian paklek Jumiran, bulek Sari memanggilku kekamarnya, di sana ia akhirnya bercerita tentang paklek Jumiran, sesuatu yang menjawab apa yang selama ini mengganjal dalam pikiranku, sebuah rahasia yang disembunyikan paklek Jumiran dengan sangat rapi.

Sebelumnya bulek Sari memintaku untuk memaafkan paklek Jumiran. Setelah aku menganggukkan kepala barulah bulek Sari bercerita.

Paklek Jumiran ternyata juga menyimpan dendam pada Ibuku, karena sepeninggal kakek ternyata dari surat wasiatnya harta yang di peroleh ibuku lebih banyak daripada yang paklek Jumiran dapatkan, tak terima dengan itu maka paklek Jumiran meminta bantuan seorang dukun sakti untuk menyakiti ibu dan bapakku, dengan kiriman santet. Santet Senjakala, demikian nama santetnya, mengakibatkan orang yang dikiriminya akan menderita sakit yang luar biasa saat senja tiba sampai menjelang paginya, dan santet itu kabarnya bekerja selama 7 hari, dan malam ketujuh korbannya akan mati dengan tragis.

Paklek Jumiran sempat kembali ke Pagelaran, karena semua surat-surat tanah yang dimiliki ibuku di pegang oleh bulek Hartini, sempat terjadi cekcok saat paklek Jumiran meminta paksa sertifikat rumah, sampai paklek Yanto, suami bulek Hartini datang dan mengusir paklek Jumiran, maka paklek Jumiran kembali kepada dukunnya dan menyantet bulek Hartini, bahkan kali ini lebih dahsyat, karena selain santet juga di kirimi pocong.

Bulek Hartini memang akhirnya meninggal karena santet, namun pocong yang dikirimnya telah di kembalikan oleh paklek Yanto, berbalik menyerang paklek Jumiran.

SEKIAN

Bandar Lampung, 31 Januari 2020

NB : Kisah ini terilhami oleh cerita Sorop karya Simpleman dan telah dibukukan.
Diubah oleh mahadev4 07-06-2022 12:29
mincli69Avatar border
danjauAvatar border
69banditosAvatar border
69banditos dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2.8K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan