Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

LordFariesAvatar border
TS
LordFaries
Penjelasan Psikologi di Balik Panic Buying Akibat Virus Corona

KOMPAS.com - Pada hari Senin kemarin (3/2/2020), pemerintah mengumumkan dua kasus positif virus corona pertama di Indonesia. Pengumuman ini membuat masyarakat panik dan memborong barang-barang di berbagai ritel-ritel Indonesia dalam sebuah fenomena yang disebut panic buying.

Di pusat perbelanjaan Grand Lucky di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, misalnya. Kompas.com melaporkan bahwa pada Senin sore, antrean panjang tampak mengular di depan kasir. Warga yang antre membawa troli berisi barang-barang kebutuhan pokok seperti mie instan, beras dan minyak.

Salah satu pengunjung Grand Lucky, Yani, mengaku memborong lebih banyak barang dari biasanya karena khawatir sejumlah fasilitas publik akan ditutup seperti di Wuhan, China.

Menanggapi kepanikan belanja ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mandey meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pembelian dalam jumlah banyak akibat fobia atau panic buying.

Sebetulnya, panic buying akibat virus corona bukan terjadi kali ini saja. Berbagai negara yang terinfeksi virus corona dilaporkan mengalami panic buying. Ini tidak hanya mencakup China, Hong Kong, Korea Selatan dan Jepang saja, tetapi juga Italia, Jerman, Austria dan berbagai negara lainnya.

Scroll untuk lanjut baca
Fenomena ini pun menarik perhatian para ahli psikologi dunia untuk mencoba menjelaskannya.

Mengambil kembali kontrol
Penjelasan pertama yang diberikan oleh para ahli adalah panic buying dilakukan untuk mengambil kembali kontrol.

Terkait panic buying di Hongkong, psikolog klinis Dr Cindy Chan menjelaskan kepada South China Morning Post, Selasa (25/2/2020) bahwa ada banyak faktor dari Covid-19 yang membuat seseorang bisa merasa kehilangan kontrol.

Ini mulai dari terus meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi dan angka kematian, hingga ditutupnya fasilitas-fasilitas umum.

Untuk mendapatkan kembali kontrol, orang-orang pun melakukan panic buying agar merasa telah melakukan apa yang bisa mereka lakukan.

Andy J Yap, Assistant Professor of Organisational Behaviour dari sekolah bisnis Insead, dan Charlene Y Chen, Assistant Professor of Marketing dari sekolah bisnis Nanyang, juga sependapat.

Dalam studi baru yang mereka lakukan dengan Leonard Lee, Professor of Marketing at NUS Business School; mereka menemukan ketika merasa kehilangan kontrol, konsumen akan menggantikannya dengan membeli barang-barang berguna yang didesain untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Dipublikasikan dalam Journal of Consumer Research, Yap, Chen dan Lee meminta dua kelompok partisipan untuk berbelanja. Kelompok pertama diminta untuk mengingat situasi di mana mereka hanya memiliki sedikit kontrol, sementara kelompok kedua diminta mengingat ketika mereka memegang kontrol.

Hasilnya, kelompok pertama membeli lebih banyak barang-barang yang "lebih berguna" daripada kelompok kedua, seperti lebih memilih sepatu yang fungsional daripada yang trendy.

"Analisis lebih dekat menunjukkan bahwa pemilihan ini karena asosiasi produk-produk tertentu dengan kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau kemampuan untuk membantu mengatur suatu masalah," tulis Yap dan Chen dalam situs resmi Insead.

Mereka pun menulis bahwa berbelanja tisu basah, mi instan dan masker mungkin tidak akan membantu menjaga keamanan seseorang; namun membelinya bisa memberikan ketenangan dan rasa memegang kontrol.

Tidak rasional
Di sisi lain, orang-orang yang melakukan panic buying mungkin terlihat tidak rasional dengan memborong berdus-dus mi instan, berkarung-karung beras hingga berkantung-kantung tisu toilet yang sebetulnya tak ada gunanya untuk menangkal virus corona.

Neurosains menjelaskan bahwa ketika kita merasa terancam, misalnya oleh Covid-19, amygdala atau bagian otak yang memproses rasa takut dan emosi menjadi kelewat aktif dan berakibat pada matinya proses berpikir rasional.

Alhasil, seseorang menjadi kurang rasional dan lebih mudah terpengaruh oleh pola pikir kelompok atau memunculkan mentalitas gerombolan.

Faktor-faktor ini bersatu dan membuat seseorang menjadi lebih rentan melakukan salah penilaian.

Dr Sara Houshmand, seorang psikolog klinis dari Central Health Hong Kong berkata bahwa meskipun dapat memberiksan rasa lega dan kontrol yang singkat, berperilaku menuruti kecemasan sering kali membuat seseorang lebih merasa dalam bahaya.

"Kebanyakan orang yang melakukan perilaku ini ( panic buying) akan setuju bahwa tisu toilet tidak memberikan imunitas terhadap virus corona. Lama kelamaan, perilaku yang tampak protektif dan tidak berbahaya ini akan memiliki kapasitas untuk membuat individu terus-terusan berada dalam silus stres dan cemas, yang bisa mengompromi kesehatannya," ujarnya.

Pada saat-saat tubuh kesulitan untuk berpikir rasional, Housmhmand menyarankan untuk memaksa tubuh mengurangi rasa stres. Caranya dengan bernapas perlahan-lahan dan berolahraga. Dengan demikian, Anda pun akan bisa berpikir lebih jernih.

Individu vs Komunitas
Selain dari individu itu sendiri, panic buying bisa didorong oleh faktor eksternal. Salah satunya adalah himbauan untuk "tidak panik" dari pemerintah atau bahkan media.

John Drury, seorang profesor psikologi sosial dari University of Sussex di Inggris yang meneliti psikologi kelompok berkata bahwa referensi terhadap panic buying sendiri mendorong kepanikan publik.

"Ketika pemerintah dan media massa memberi tahu kita bahwa tetangga kita sedang melakukan 'panic buying', kita membayangkan orang-orang di sekitar kita bertindak individualistik dengan buru-buru menimbun barang untuk dirinya sendiri," ujar Drury.

Hal ini, lanjutnya, membuat orang-orang lebih mungkin untuk memedulikan dirinya sendiri saja.

Untuk menangkal fenomena ini, Drury pun menyarankan untuk mulai berpikir secara komunitas.

"Ketika orang-orang mulai berpikir terkait identitas sosial mereka, mereka akan jadi lebih kooperatif, lebih sungkan untuk mendorong antrian dan lebih rela berbagai stok yang menipis dengan orang asing, daripada ketika mereka hanya memikirkan identitas personalnya," ujar Drury.

https://sains.kompas.com/read/2020/0...t-virus-corona

Berhati2 dan bersiap2 itu bagus, tp gak perlu panik dan irasional. emoticon-Recommended Seller

galer2124Avatar border
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2.7K
30
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan