Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ZenMan1Avatar border
TS
ZenMan1
Ekonomi Melambat, Rakyat Tunggu Gebrakan Jokowi dan Menteri!


Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah bank nasional merevisi target pertumbuhan penyaluran kredit untuk 2019. Apa mau dikata, permintaan memang masih lemah, baik dunia usaha maupun rumah tangga sepertinya sedang menahan diri.

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) awalnya menargetkan penyaluran kredit 2019 tumbuh 10-12% year-on-year (YoY). Namun kemudian diturunkan menjadi 8-9%.

Kemudian PT Bank Central Asia TbK (BBCA) juga memperkirakan pertumbuhan kredit hanya berada di kisaran 8% pada tahun ini. "Kalau melihat situasi year-to-date (pertumbuhan kredit) cuma 6%, mungkin akhir tahun bisa 8%. Kita sedikit pesimistis," kata Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA.

Mengutip Survei Perbankan keluaran Bank Indonesia (BI) edisi kuartal III-2019, pertumbuhan kredit tahun ini diperkirakan sebesar 9,7%. Lebih lambat dibandingkan perkiraan pada kuartal sebelumnya yaitu 11,2% dan realisasi 2018 yaitu 12,1%.

Sementara berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit pada Agustus adalah 7,89%, terendah sejak Januari 2018. Laju pertumbuhan kredit berada dalam tren melambat sejak November tahun lalu.

Kembali ke Survei Perbankan BI, terlihat bahwa dunia usaha dan rumah tangga memang agak menahan diri. Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan kredit baru untuk investasi dan konsumsi mengalami penurunan.

Perlambatan kredit konsumsi memberi konfirmasi bahwa konsumen rumah tangga cenderung menahan diri. Melihat data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), terjadi perlambatan dalam empat bulan terakhir. Bahkan angka IKK pada September adalah yang terendah sejak Oktober tahun lalu.

Sementara di sisi dunia usaha, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur juga dalam tren melambat. Bahkan angka PMI sudah berada di bawah 50 dalam tiga bulan terakhir. PMI yang di bawah 50 berarti industriawan tidak melakukan ekspansi.

Tak Bisa Dipungkiri, Ekonomi Memang Melambat

Kalau melihat perkembangan kredit perbankan, perlambatan ekonomi domestik adalah sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Suka tidak suka, perlambatan ekonomi adalah sesuatu yang nyata.

Tidak hanya Indonesia, negara-negara lain pun mengalami hal yang sama. Perlambatan ekonomi global adalah fenomena tahun ini. Bahkan sejumlah negara sudah mengalami resesi, karena kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun.
Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia saat ini adalah perang dagang, utamanya yang melibatkan Amerika Serikat (AS) dan China. Perang dagang dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi ini sudah terjadi lebih dari setahun terakhir.


Kala AS dan China saling hambat perdagangan, maka dunia usaha di kedua negara tentu terkena dampaknya. AS adalah mitra dagang yang penting bagi China, demikian pula sebaliknya.

Sepanjang Januari-Agustus, nilai ekspor AS tercatat US$ 1,09 triliun. Dari jumlah tersebut, China menempati urutan ketiga negara tujuan ekspor utama AS dengan nilai US$ 70,2 miliar (6,4%).

Saat AS kesulitan mengekspor ke China dan sebaliknya, maka industriawan di kedua negara merespons dengan mengurangi produksi. Pada September, output manufaktur AS turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan output manufaktur di China masih tumbuh 4,2% YoY, tetapi merupakan laju terlemah setidaknya sejak 2006.

Kala pengusaha di AS dan China mengurangi produksi, permintaan bahan baku dan barang modal dari negara-negara lain ikut turun. Padahal AS dan China adalah negara tujuan ekspor utama bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Inilah sebabnya ekspor Indonesia mengalami kontraksi selama 11 bulan beruntun.

Saat ekspor tidak bisa diharapkan sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi, maka tidak heran terjadi perlambatan. Tidak hanya di Indonesia, perlambatan pertumbuhan ekonomi (bahkan sampai kontraksi) adalah fenomena global. Semua gara-gara perang dagang AS-China

BI Sudah Beri 'Jamu'
Oleh karena itu, kunci untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi adalah faktor domestik. Nah, masalahnya permintaan domestik juga sedang loyo. Buktinya ya itu tadi, pertumbuhan kredit perbankan terus melambat.

BI sudah mencoba memberi 'jamu' dari sisi penawaran dengan menurunkan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, Gubernur Perry Warjiyo dan kolega sudah empat kali menurunkan suku bunga acuan. Plus kebijakan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) yang membuat perbankan bisa mengelola likuiditas untuk disalurkan ke kredit.

Terlihat suku bunga kredit bergerak dalam tren menurun pada tahun ini, meski masih di kisaran belasan persen. Tren penurunan suku bunga kredit diharapkan mampu menaikkan minat dunia usaha dan rumah tangga untuk mengakses pembiayaan perbankan.

"Ke depan, Bank Indonesia akan mencermati perkembangan ekonomi domestik dan global dalam memanfaatkan ruang bauran kebijakan yang akomodatif untuk menjaga tetap terkendalinya inflasi dan stabilitas eksternal serta turut mendorong momentum pertumbuhan ekonomi," demikian sebut keterangan tertulis BI usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Oktober.

Artinya, posisi (stance) kebijakan moneter maupun makroprudensial masih bias longgar. Bukan tidak mungkin BI 7 Day Reverse Repo Rate kembali diturunkan demi mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, inflasi yang stabil (dekat dengan titik tengah Bank Indonesia), dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil, Bank Indonesia memiliki lebih banyak ruang untuk memangkas suku bunga kebijakan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan. Kami melihat adanya kemungkinan penurunan suku bunga lanjutan sebesar 25 bps pada kuartal IV-2019," sebut Masyita Crystallin, Kepala Ekonom DBS Indonesia.

Pemerintah Juga Harus Beri Terobosan!
Namun, 'jamu' dari BI ini tidak ada artinya kalau tidak diimbangi dengan 'obat kuat' di sisi permintaan. Inilah yang menjadi tugas pemerintah melalui kebijakan fiskal.

"Kebijakan moneter ada batasnya. Instrumen moneter bertujuan untuk mengelola pasokan kredit, bukan permintaan. Jika Indonesia ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, maka pelonggaran moneter harus dibarengi dengan stimulus fiskal yang kuat agar dapat menggenjot konsumsi rumah tangga dan investasi," sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Ya, ini menjadi tugas Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama para menterinya di Kabinet Indonesia Maju. Rakyat menanti gebrakan baru pemerintah agar dapat mendorong permintaan domestik.

Dari sisi perpajakan, rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan menjadi sesuatu yang sangat dinanti. Penurunan tarif PPh Badan diharapkan mampu meningkatkan minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia, yang menciptakan lapangan kerja sehingga meningkatkan konsumsi rumah tangga.

Tidak hanya itu, pemerintah juga punya tugas untuk membuat Indonesia lebih ramah investasi. Hambatan perizinan, birokrasi, kepastian hukum, sampai perilaku koruptif harus dihilangkan. Kalau hambatan-hambatan ini masih ada, maka sulit berharap investor (terutama asing) mau menanamkan modalnya.

So, bagaimana Pak Jokowi? Rakyat menanti gebrakan Bapak dan para menteri lho...

sumur

https://www.cnbcindonesia.com/news/2...-dan-menteri/1
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
981
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan