frontalbabyAvatar border
TS
frontalbaby 
Petaka Lirik


Hai semuanya!
Perkenalkan, namaku Ferina. Tapi, teman-teman biasa memanggilku Rina agar lebih singkat. Di sini, aku akan menceritakan pengalaman mistisku selama mendaki Gunung Gede bersama keempat orang temanku. Mereka ini tergabung dalam 1 band kampus. Oke, aku mulai dengan menceritakan siapa saja mereka:

Yang pertama ada Gia;
Dia adalah cowok yang sudah setahun lebih menjadi pacarku. Gia hobi main aneka alat musik sejak kecil. Sekarang bersama band-nya ia dipercaya sebagai bassist. Walaupun band-nya cukup terkenal dan fansnya banyak, untungnya Gia bukan cowok genit. Jadi, aku tidak perlu merasa cemburu berlebihan padanya. Pokoknya, hubungan aku dan Gia sejauh ini lancar dan tidak ada masalah yang terlalu rumit karena kami berdua sama-sama orang yang ‘gak macem-macem’ dan jalani aja apa yang ada gitu.

Kedua ada Danu;
Danu ini adalah vokalis band. Wajah Danu sebenarnya gak ganteng-ganteng amat. Tapi suaranya merdu in a manly way, tubuhnya tinggi, matanya dalem, rambutnya yang ikal sedikit gondrong, dan struktur rahangnya yang kotak membuat ia tampak cool & macho. Gak heran, banyak cewek yang menjadi fansnya.

Ketiga ada Raya;
Namanya biasa aja, tapi wajahnya Raya ini Arab banget; hidung mancung, mata yang dalem, plus brewokan. Dia adalah drummer band. Berkali-kali aku mendengar kabar Raya dekat dengan cewek A, B, C, D, tapi tidak ada yang berhasil. Masih jomblo hingga sekarang emoticon-Big GrinMungkin karena dia pemalu ya. Tapi aslinya jika sudah kenal, dia asyik juga kok.

Keempat ada Rara;
Bukan siapa-siapanya Raya ya. Nama aslinya Debora, tapi orang-orang memanggilnya Rara. Rara ini personil band dengan perawakan paling mungil dan paling cantik (ya iyalah, kan satu-satunya cewek). Awalnya dia adalah keyboardist saat band ini masih beranggotakan 5 orang. Namun ketika Nico, mahasiswa antropologi yang juga gitaris band saat itu tewas akibat kecelakaan tunggal, Rara beralih memegang gitar. Rara ini aslinya dari Jogja, tapi matanya sedikit sipit sehingga banyak yang mengiranya Chinese. Tapi karena mata sipitnya itulah, kalau dia udah dandan, jadi mirip eonni-eonni Korea. Cantik!

Jadi sekitar sebulanan yang lalu, band ini mendapat tawaran dari salah satu manajemen musik indie untuk bergabung dengan mereka. Jelas Danu dkk. menerima tawarannya. Satu lagu ciptaan band juga sudah rampung direkam secara profesional dan sedang disiapkan untuk bisa disiarkan di radio-radio serta menembus iTunes, Spotify, Joox, dan aplikasi streaming lainnya. Beberapa gigs bahkan sudah dijadwalkan menunggu mereka manggung.

Gak heran sih, soalnya band ini memang cukup komersil. Penampilan personilnya cukup ganteng & cantik (mungkin hanya pacarku saja yang wajahnya termasuk rada standar emoticon-Big Grin), follower di medsosnya sudah banyak, beberapa video cover lagu yang diunggah ke YouTube pun mendapat sambutan cukup baik hingga subscriber-nya terus bertambah. Berbagai festival band juga sudah sering mereka taklukkan. Dan satu lagi, kematian Nico yang diberitakan di mana-mana dua tahun yang lalu secara tidak langsung menambah popularitas band. Nico sebetulnya sempat selamat meskipun mobilnya ringsek parah setelah menabrak pagar pembatas jalan tol dan jatuh terpental berkali-kali. Namun Nico hanya bertahan 2 hari.

Oke, kita kembali ke cerita perjalanan kami ya…



Pendakian ini adalah salah satu bentuk reward untuk diri mereka sendiri atas pencapaian dari band tersebut. Ya, semacam perayaan karena sudah bisa masuk manajemen. Kebetulan kegiatan kampus pun sedang libur. Oh ya, by the way, kami berlima adalah teman kampus dari jurusan yang berbeda-beda.

Gia yang mengajakku dalam pendakian ini agar Rara ada temannya. Aku menyetujui ajakan itu karena memang tidak pernah melakukan pendakian. So, aku pikir ini kesempatan yang bagus untuk mencoba hal baru. Syukurnya, orang tuaku memberikan izin. Dengan catatan, tidurnya gak boleh satu tenda dengan cowok!

Hari Selasa pagi kami berangkat melalui Jalur Cibodas. Katanya sih, ini jalur favorit para pendaki karena banyak view indah. Rencananya, kami akan refreshing di Gunung Gede ini selama 3 hari 2 malam.

Rute yang kami lewati begitu menyenangkan. Apalagi cuaca hari itu sangat holiday-able (bahasanya ngarang banget ini wkwk). Cerah, tapi tidak terlalu terik. Ditambah suasana di kawasan Gunung Gede juga sedang tidak terlalu ramai. Aku berjalan bersebelahan dengan Rara. Danu memimpin di depan. Sedangkan Gia dan Raya di belakangku. Sesekali, kami mengambil foto menggunakan handphone atau kamera.

Melewati pos Kandang Batu, kami bertemu dengan air terjun dan sungai kecil. Kami menyempatkan diri beristirahat sejenak sambil berfoto dan ngemil. Ada juga yang mencuci muka menggunakan air dari sungai. Katanya, air di sini aman juga untuk diminum. Para pendaki sering mengisi ulang botol minuman mereka di sini. Aku pun tertarik mencoba air sungai mentah yang terlihat segar itu. Kebetulan botol minumku yang kecil sudah hampir kosong.



Di sinilah masalahku dimulai.

Usai mengambil air dan hendak kembali kepada teman-temanku, aku tak menemukan mereka. Jejak keempat orang itu hilang seketika. Padahal aku hanya turun ke sungai sebentar. Aku sempat berpikir ini hanya prank. Tapi nyatanya dalam waktu lebih dari 15 menit, mereka masih juga tak terlihat. Mau mengontak mereka pun percuma, tidak ada sinyal seluler di sini. Parahnya, mendaki di saat weekday yang sepi membuatku kesulitan menemukan pendaki lain yang bisa menolongku.

Mataku sudah terasa hangat. Hampir saja aku menangis karena tidak tahu harus berbuat apa. Tapi tiba-tiba datang seorang cowok berkacamata hitam. Ia hanya mengenakan kemeja kotak-kotak, celana jeans, dan sepatu semi-boots. Tidak ada carrier atau tas besar yang ia bawa. Hanya waist bag kotak kecil yang bertengger di pinggangnya.

Awalnya aku curiga pada cowok itu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya dia yang ada di sini. Lagipula dia juga ramah dan dengan sukarela mau menolongku menemukan teman-temanku. Ia mengajakku ke arah Kandang Badak karena katanya, saat ia berjalan dari Kandang Batu, ia tidak menemukan orang dengan ciri seperti teman-temanku. Jadi satu-satunya kemungkinan, mereka sudah ke Kandang Badak lebih dulu. Kecuali kalau mereka hilang.

Aku terlebih dulu memperkenalkan diriku kepada cowok itu karena ia terus-terusan memanggilku ‘mbak’. Aku juga tak nyaman jika harus terus memanggilnya ‘mas’. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Dika. Sepanjang perjalanan, aku mengobrol dengan Dika. Ia mengaku sedang cedera bahu sehingga carrier-nya dibawakan oleh porter lebih dulu. Sambil mengobrol, diam-diam aku mengambil foto Dika beberapa kali. Untuk jaga-jaga saja seandainya dia berbuat jahat (tapi amit-amit sih), ada fotonya di handphone-ku.

Aku menceritakan tentang teman-temanku dan band-nya. Surprisingly, Dika ternyata cukup mengetahui soal band-nya Gia dkk. Ia bahkan tahu tentang gosip (katanya) lagu baru mereka adalah lagu hasil mencuri. Aku sebagai pacarnya Gia malah baru mendengar gosip tersebut.

Sesampainya di Kandang Badak, Dika mempersilakanku mencari teman-temanku di antara para pendaki yang sudah mendirikan tenda . Sementara dia pamit akan menemui temannya juga.

Benar saja, keempat temanku sudah ada di Kandang Badak. Namun mereka belum mendirikan tenda karena sibuk mencari-cariku. Menurut penglihatan mereka, aku berjalan terlebih dulu menuju Kandang Badak. Mereka hanya mengikutiku walaupun di tengah jalan, mereka tiba-tiba kehilangan jejakku. Tapi, mereka terus berjalan karena yakin dengan penglihatannya sejak awal.

Kami berhenti meributkan soal siapa yang salah melihat atau bagaimana aku bisa terpisah dari rombongan atau siapa Dika. Toh saat itu kami sudah berkumpul semua dengan lengkap. Fokus menikmati liburan saja.

Malam hari.
Para cowok memasak nasi liwet dan air menggunakan aneka peralatan masak ala pendaki. Sementara aku dan Rara diminta beristirahat saja. Mungkin karena kami berdua tidak pernah mendaki gunung, mereka khawatir kami malah mengacaukan acara masaknya emoticon-Big Grin

Sambil menunggu nasi matang, aku duduk berdua dengan Gia tak jauh dari tenda. Sementara yang lain duduk-duduk santai di sekitar kompor portable sambil menghangatkan diri. Aku menanyakan pada Gia perihal lagu baru band-nya yang menurut gosip merupakan lagu curian.

“Ngaco, ah!” respon Gia menampik kabar tersebut.

“Aaaarrghhh!!!” tiba-tiba ada suara jeritan.

Aku dan Gia terkejut mendengar suara itu. Suaranya Raya. Cowok yang biasanya cool dan kalem itu tiba-tiba berteriak barusan. Wajahnya pucat. Tangan kanannya memegang centong nasi. Ia jatuh terduduk dengan panci nasi yang tumpah di sebelahnya.

Pikiranku, Raya terluka karena tersenggol panci nasi yang panas lalu terjatuh. Tapi ternyata bukan.

Aku merasa mual saat mendekat dan melihat sesuatu di bagian dalam sepanci nasi yang sudah matang. Ada ulat belatung berwarna putih bergerak-gerak. Jumlahnya banyak.

“Kok bisa gini?!” tanya Danu. Di sebelahnya ada Rara yang tanpa sadar memeluk lengan kanan Danu. Wajah imutnya tampak ketakutan.

“Mana gue tahu?! Lo pikir kita masak belatung dibarengin sama beras?” jawab Raya sedikit emosi. Mungkin akibat masih panik. “Tiba-tiba aja keluar dari dalem panci, Bro!”

Kami memutuskan tak membahas lebih jauh. Perjalanan hari ini sudah cukup membuat kami lelah, ditambah aku (atau mereka?) yang tadi menghilang, tak perlu ditambah membahas hal yang tak penting. Danu dan Gia membuang semua nasi dan belatung itu, lalu menguburnya. Sebagai gantinya, mie cup instan jadi santapan kami malam itu.

Selesai makan dan bersih-bersih, aku dan Rara tidur berdua dalam sebuah tenda dome. Para cowok tidur di tenda sebelah kami yang ukurannya lebih besar. Kami semua tidur lebih awal karena berencana mendaki puncak Gunung Gede mulai pukul 02.00 pagi.

Namun sepertinya belum pukul 02.00, tiba-tiba aku terbangun. Telingaku mendengar suara ribut-ribut dan jeritan kecil kalau tidak salah dengar. Maklum, baru banget bangun. Takutnya cuma mimpi dan masih tak bisa membedakan antara kenyataan atau bunga tidur. Kalo kata orang Sunda, lulungu. “Ra! Rara!” bisikku.

“Iya Rin! Kamu denger itu?” Rara ternyata sudah bangun juga. Kami segera bangun dan keluar dari tenda untuk mengetahui apa yang terjadi.

Rupanya ada lagi binatang tak diundang mendatangi kami. Kali ini lebih parah. Dua kalajengking besar tiba-tiba ada di dalam tenda Gia, Danu, dan Raya. Saat ini kalajengkingnya sudah tidak terlihat. Tapi kami beserta pendaki lain di Kandang Badak masih mencari-cari binatang itu. Ngeri kan, kalau tiba-tiba ada kalajengking masuk ke tenda. Semua lampu yang tadi sudah dimatikan kembali dinyalakan.

Satu jam dari kejadian mengerikan itu, waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Kami berlima dan semua pendaki lain yang ada di sana memutuskan untuk bergerak memulai summit attack agar bisa melihat sunrise tepat di puncak gunung. Kalajengkingnya dilupakan saja. Toh nanti siang bisa dicari lagi atau diusahakan untuk dicegah agar tak datang lagi kalau seandainya sudah kabur.

Puncak Gunung Gede berhasil kami taklukkan pada pukul 05.00. Matahari yang baru terbit di balik pulau-pulau awan menjadi pemandangan menakjubkan yang menyambut kami. Rasa lelah dan kantuk hilang seketika berkat keindahan itu. Gallery handphone-ku pasti penuh gara-gara pemandangan di sini emoticon-Big Grin

Puas melihat sunrise, kami tidak langsung pulang ke tenda di Kandang Badak. Mandalawangi menjadi tempat kami beristirahat sejenak. Di tempat itu juga ada sebagian pendaki yang mendirikan tenda. Mereka berbaik hati menawarkan makanan dan minuman. Tapi kami juga membawa minuman dan sedikit makanan kecil sebagai bekal tadi saat berangkat. Jadilah kami berlima hanya numpang duduk-duduk santai sambil mengobrol.

Aku sedang asyik mengambil foto Rara secara candid dari jauh ketika ia tiba-tiba mulai menari dengan syal panjangnya. Aku pikir ia hanya menari biasa sehingga aku merekamnya sambil tersenyum-senyum. Tapi lama-kelamaan, ia juga menyanyi. Lagunya berbahasa Sunda. Padahal Rara bukan orang yang mengerti Bahasa Sunda. Ia bahkan mulai berteriak-teriak tak jelas. Matanya melotot dan tampak berapi-api. Urat-urat di dahinya tampak menonjol jelas.

Para pendaki yang kebanyakan cowok langsung menghampiri dan menenangkan Rara. Sementara aku hanya terdiam ketakutan dan berhenti merekamnya. Apakah yang barusan itu kesurupan?

Setelah Rara berhasil ditenangkan, ia beristirahat di salah satu tenda. Gia meminta aku menemani Rara yang tampak lemas, kemudian ia pamit sebentar keluar bersama Danu dan Raya.

Aku tak sengaja menguping mereka berbincang di balik semak-semak, di belakang tenda.

“Nu! Gue curiga kejadian-kejadian ini petunjuk buat kita, soal lagu itu,” aku mendengar Gia berkata pelan kepada Danu.

“Iya Nu! Mungkin itu arwahnya Nico!” Raya ikut menimpali. “Dia gak mau lagunya kita akuin begitu aja.”

“Lu sepemikiran, bro!” kata Gia. “Gue malah curiga Si Dika-Dika yang kemaren nganterin cewek gue itu sebenernya arwahnya Nico!”

Bulu kudukku merinding mendengar kata-kata Gia barusan. Aku memang tak pernah melihat atau bertemu Nico secara langsung. Jadi, aku tidak tahu apakah Dika yang kemarin itu sebenarnya adalah… semacam arwah penasarannya Nico?

“Kemarin, Si Dika itu ngasi tahu Si Rina bahwa lagu band kita sebenernya hasil nyuri! Siapa lagi yang tahu soal itu selain Nico, coba?” lanjut Gia.

What? Jadi lagu barunya mereka itu sebenernya hasil nyuri? Aku pamit sebentar kepada pemilik tenda dan segera menghampiri ketiga cowok itu. “Maaf aku nguping kalian. Jadi sebenernya ada apa dengan band kalian?”

Gia, Danu, dan Raya terkejut melihatku.

“Apa hubungannya sama Rara barusan kesurupan? Terus Dika? Terus, jangan-jangan kejadian belatung sama kalajengking semalem juga masih ada hubungannya?!?”

“Nico itu udah meninggal, Rin,” jawab Danu. “Jadi, gak mungkin ada kaitan apa-apa sama kita.”

Aku tak menyerah memojokkan mereka agar menjawab yang sejujurnya. Akhirnya mereka mengakui dan menjelaskan bahwa lagu yang mereka rekam kemarin sebenarnya adalah ciptaan Nico sejak dulu. Namun, mereka memutuskan mengakuinya sebagai lagu mereka, tanpa kredit kepada Nico agar tidak rumit. Alasannya, ayah dan ibunya Nico sudah bercerai sehingga Danu dkk malas mengurus urusan royalti. Mereka khawatir ayah dan ibunya Nico malah berebut royalti tersebut dan melibatkan mereka dalam masalah keluarganya Nico.

Gia juga menceritakan soal kecurigaannya pada Dika yang kemarin hilang begitu saja usai mengantarkanku ke Kandang Badak. Pasalnya, nama belakang Nico adalah Triandika. Ada ‘Dika’-nya. Ketika Gia memperlihatkan fotonya Nico, aku tidak bisa mengatakan ia mirip dengan Dika karena kemarin Dika mengenakan kacamata hitam walaupun perawakannya sama-sama kurus dan tinggi disertai brewok tipis di pipinya.

Kengerianku semakin bertambah ketika aku memperlihatkan foto Dika yang kuambil diam-diam kemarin. Semua fotonya hanya berisi noise. Hanya garis-garis dan gelombang hitam-putih tidak beraturan. Aku kembali merinding.

Bukan hanya aku. Banyak foto teman-temanku di handphone masing-masing hanya berisi noise. Bahkan salah satu video yang direkam oleh Danu tiba-tiba ada suara auman hewan buas seperti harimau atau singa. Aku benar-benar ingin pulang saja.

Akhirnya kami memutuskan pulang di hari itu juga. Salah seorang pendaki yang juga bermalam di Kandang Badak (serta menjadi saksi atas kejadian-kejadian semalam dan kesurupan Rara) menyarankan kami sebaiknya pulang dan menyelesaikan masalah-masalah yang mungkin kami hadapi. “Takutnya ada kejadian lain lagi yang lebih parah,”katanya.

Sesampainya di bawah dan menemukan sinyal, aku berusaha mencari foto-foto Nico dari google dan medsosnya. Dari beberapa foto yang kutemukan, ada momen Nico mengenakan kacamata hitam aviator. Ia tampak sangat mirip dengan Dika yang kemarin aku temui. Ya ampun emoticon-Frown Apakah Dika adalah Nico?

emoticon-flower emoticon-flower emoticon-flower

Setelah kembali ke Jakarta, Danu dan ketiga personil band lainnya sepakat untuk mengurusi royalti hak Nico. Pihak manajemen pun tak masalah dengan perubahan perjanjian royalti tersebut. Mereka mengurusi royalti dengan adiknya Nico.

Dari adiknya Nico, akhirnya diketahui bahwa beberapa bait dari lagu ciptaan Nico sebenarnya adalah terjemahan dari syair-syair Sunda buhun(kuno) yang dicurigai sebagai jampi dan memiliki kekuatan magis. Syair-syair tersebut Nico dapatkan dari lembaran buku-buku lawas milik kakeknya dan sempat menjadi bahan penelitian untuk makalahnya.

Danu dkk. memutuskan mengubah bagian lirik tersebut. Meskipun pihak manajemen sempat tidak setuju karena mereka harus melakukan rekaman ulang untuk bagian-bagian itu. Ribet. Tapi akhirnya diizinkan juga.

Berhari-hari sejak pendakian itu, aku selalu menyalakan lampu saat tidur. Keempat temanku juga selalu mengalami mimpi buruk. Raya bahkan sampai berhenti makan nasi akibat tragedi belatung.

Namun pada akhirnya, mimpi-mimpi buruk itu hilang setelah semua urusan lagu diselesaikan. Mungkin memang benar, yang kemarin menghampiri dan menemaniku saat kehilangan teman-teman adalah Nico. Ia mungkin berusaha menghentikan Gia dan teman-temannya menggunakan lagu yang mengandung kutukan itu. Lalu siapa yang membuat Rara menari dan menyanyi? Mungkin dia adalah penulis syair jampinya. Ah entahlah. Aku tak mengerti dan tak ingin mendalaminya. Satu hal yang pasti menjadi pelajaran bagi kami, mencuri karya orang lain itu bisa benar-benar membahayakan. Apalagi jika kita tidak tahu asal-usulnya.

Apakah aku masih mau mendaki? Maybe, someday but not today. Dan aku akan pastikan teman-teman mendakiku bukan orang yang sudah mencuri karya orang lain emoticon-Big Grin

TAMAT

Quote:

Diubah oleh frontalbaby 30-09-2019 16:40
ceuhettyAvatar border
sebelahblogAvatar border
zafinsyurgaAvatar border
zafinsyurga dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2.9K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan