mukamukaosAvatar border
TS
mukamukaos
Jangan Suka Ngomong Sembarangan!







“Mau denger gue cerita, nggak?” tanya gue ke Fandi.

“Cerita apa? Bokep?”

“Heleh, itu sih nggak perlu gue ceritain. Elu kan pakarnya. Hahaha.”

Fandi cengengesan. “Emang lu mau cerita apa?”

“Liburan sekolah kemarin, gue sama temen-temen gue muncak.”

“Muncak?”

“Naik gunung.”

“Yeee, anak kecil lagi koprol juga tahu, muncak ntu naik gunung. Terus gimana?”


*****


Jadi pada bulan Desember 2017, gue bersama teman, Kevin, memutuskan mendaki salah satu gunung besar yang ada di Jawa Tengah. Sebut saja gunung M. Sebenarnya ini idenya Kevin. Malah awalnya gue menolak ikut. Bukan karena tidak berani atau tidak kuat. Bukan. Alasan sebenarnya adalah karena gue anaknya mager(males gerak) banget.

Singkat cerita, setelah berusaha belasan kali merayu, akhirnya gue luluh dan mengiyakan kemauannya. Namun dengan syarat: tas gue tidak boleh lebih berat dari punya Kevin.

Dia setuju.

Gue bisa disebut sebagai manusia yang ‘bodo amat’ dengan beberapa aturan yang kurang masuk akal. Misalnya dilarang memakai baju dengan warna tertentu di tempat ini, atau dilarang menunjuk suatu tempat pakai jari telunjuk, dan semacamnya. Gue tidak terlalu peduli dengan semua itu. Yang terpenting, gue hanya harus berbuat baik dan tidak kelewatan.

“Bro, gue kasih tahu. Pas muncak nanti, lu jangan macem-macem,” pinta Kevin.

“Macem-macem gimana?”

“Jangan slengean. Dijaga mulutnya.”

Bodo amat.

Mendung menggelayut dari kejauhan ketika mobil yang membawa gue dan Kevin tiba di basecamp gunung M. Gue baru menyadari bahwa selama perjalanan ke mari, awan mendung seolah membuntuti perjalanan kami. Menutup indahnya mega biru yang membentang.

Dari beberapa jalur pendakian yang dibuka, Kevin merekomendasikan jalur S karena menurutnya cukup mudah dan pemandangannya indah. Cocok untuk para pendaki noobseperti gue.

“Lu pakai celana pendek, Bro?” tanya Kevin usai melakukan registrasi.

“Iya. Emang kenapa?”

“Pakai celana panjang aja...”

“Dih, jangan ngeremehin, Bang.” Gue memotong. “Gini-gini gue, kan, lulusan sekolah pertanian. Mau panas kek, dingin kek, semua lewat! Tenang.”

Kevin mendengus. “Terserah, dah.”

Beberapa kebutuhan seperti makanan, tempat makan plastik, korek, dan sebagainya telah dikemas rapi dalam tas. Tepat pukul 14.45 kami berdua mulai mendaki. Diiringi mendung yang malu-malu mengikuti ke mana langkah kaki ini tertuju.

Semoga nggak hujan, batinku.

Kami terus berjalan sambil sesekali tertawa menertawakan sesuatu. Beberapa kali juga berhenti karena gue lelah atau memang sengaja guna menikmati suasana.

“Lu ngerasa nggak sih, Bang? Daritadi mendungnya ngikutin kita mulu?” tanya gue sembari memandangi langit mendung. Kami berdua telah tiba di Pos 1.

Kevin mengerutkan dahi. “Biasa kali, Bro. Namanya juga musim hujan. Kenapa? Takut, ya? Katanya anak pertanian.”

Gue tertawa melecehkan. “Mana ada takut? Gue cuma mikir. Untung mendung doang yang ngikutin. Coba kalau macan? Hahaha!”

“Hush! Jangan ngomong gitu. Nggak baik!”

Tepat sewaktu Kevin berkata demikian, mendadak hujan turun. Dengan deras. Kami berdua kaget. Kevin memandang gue dengan tatapan ‘ini semua gara-gara bacotan lu!’.

Satu jam kemudian, akhirnya hujan berhenti. Aroma petrikor mulai menyerbak. Tetes air yang menggantung malu-malu diujung daun dan ranting bak tirai yang menghiasi perjalanan kami. Hawa dingin dari angin yang berhembus sesekali menerpa wajah.

“Pos 2 masih jauh, ya, Bang?” tanya gue setelah sekian lama berjalan. Langit telah menggelap. Sayup-sayup terdengar suara adzan. Kami sedang berjalan menuju Pos 2. Di tempat itu kami akan mendirikan tenda untuk menginap.

“Nggak, kok. Sebentar lagi. Masih kuat, kan?”

“Masih.”

Ini bukan masalah kuat atau tidak. Namun gue ngeri. Apalagi ini malam. Suasana telah berganti. Sepi, gelap, dan entah kenapa gue jadi was-was.

Kevin dan gue berjalan beriringan. Dia di depan, gue di belakangnya.

Semakin jauh menuju atas, gue mulai menyesali keputusan tidak mengikuti saran Kevin untuk memakai celana panjang. Makin larut suhu kian turun. Hawa dingin begitu menusuk. Jaket flanel yang gue pakai hanya sanggup membuat hangat di tubuh bagian atas. Namun tidak di bagian bawah.


Ada satu jalan dimana banyak ilalang dan rumput-rumput yang tumbuh lebat di kanan-kirinya. Sesekali gue mesti melihat ke bawah guna memastikan tidak menginjak sesuatu yang berbahaya. Ular, misalnya.

Karena terlalu sering melihat ke bawah, gue tidak menyadari bahwa Kevin sudah berjalan agak jauh di depan. Mengetahui hal itu gue pun bergegas menyusul.

“Ketimbang ditangkep setan,” bisik gue.

Selesai kata itu terucap, tiba-tiba sesuatu yang kasar namun basah mencengkeram betis kanan gue dan menariknya begitu cepat sampai gue terjatuh. Gue mengaduh, buru-buru melihat betis, dan terkejut mendapati sebuah bayangan hitam berbentuk tangan yang besar memegang kaki gue, dan tiba-tiba menghilang.

Tanpa berkata apa-apa lagi gue berjalan cepat mengejar Kevin.

“Woy, lu darimana? Gue tungguin juga,” tukas Kevin.

“Maaf, Bang.”

“Itu dengkul kenapa kotor semua?”

“Jatuh. Hehe. Ya udah ayok lanjut jalan, Bang.”

Tepat pukul 7 malam kami tiba di Pos 2. Di sana ada 3 tenda dan beberapa pendaki yang sedang asyik duduk melingkari api unggun. Melihat kedatangan kami, mereka menyapa gue dan Kevin dengan ramah.

Kami berdua segera membangun tenda. Di tengah sibuknya membangun tempat bernaung itu, tiba-tiba gue kebelet kencing.

“Bang, gue kebelet, nih,” bisik gue.

“Ya udah dibuang sono. Ngapain ditahan-tahan?”

“Dibuang dimana?”

Kevin yang sepertinya kesal karena terganggu aktivitasnya menunjuk semak dengan bibir. “Udeh, di situ aja!”

Gue setengah berlari menuju ke sana untuk melepas hasrat yang tertahan. Nikmat sekali.

SRAKK!!

Gue dikejutkan oleh suara yang timbul di balik semak. Gue mematung. Meski remang-remang, gue melihat bahwa sebuah semak yang tidak jauh dari gue bergerak-gerak seolah ada hewan yang berjalan di dalamnya.

Anehnya, bukannya lari, gue malah memperhatikan. Semak itu terus bergoyang lalu berhenti mendadak. Saat berhenti itulah gue menangkap sepasang mata berwarna merah menyala sedang mengintip. Mata tajamnya menatap gue di antara kegelapan.

SRAKK!! SRAAKK!!

Suara itu menyadarkan diri ini. Gue pun segera menyudahi acara buang air dan berjalan menghampiri Kevin.

Tenda telah dibangun dan barang-barang ditata dengan rapi. Kami berdua makan malam, kemudian bergabung bersama pendaki lain. Bercerita tentang apapun. Beruntung semakin malam, langit kembali cerah. Bintang-bintang mulai memamerkan kelap-kelip indahnya. Pemandangan malam kota di bawah juga tidak kalah indahnya dilihat dari sini.

“Mas, udah sering muncak ya?” tanya gue ke Aldo, salah satu pendaki lain.

Aldo mengangguk.

“Wah, berarti udah pernah ketemu setan gunung, ya? Hahahaha.” Gue berkelakar.

Mendadak semua terdiam. Mereka semua menatap gue dengan pandangan kaget. Kevin menyikut gue sambil minta maaf.

“Hati-hati, Mas. Jangan suka ngomong gitu di gunung,” jawab Aldo singkat.

Beberapa menit kemudian hembusan angin yang cukup kencang datang. Dingin sekali. Tanpa disuruh, kami semua menuju tenda masing-masing dalam diam.

“Emang gue salah ngomong, ya?” tanya gue ke Kevin saat kami di dalam tenda.

Kevin mendengus. “Bro, kita sedang di alam bebas. Jauh dari warga. Jauh dari keramaian. Jangan ngomong sembarangan kayak gitulah. Omongan lu tadi memang nggak salah kalau kita ada di tempat ramai. Tapi di sini? Jangan bikin takut. Lu tahu sendiri, kan, kalau orang udah takut jadi susah konsentrasi? Susah mau ngapa-ngapain? Kepikiran melulu? Padahal di alam bebas kayak gini, kita mesti penuh konsentrasi.”

Gue mengerti. “Maaf.”

Pukul 10 malam, kami memutuskan tidur. Dengan latar musik angin yang masih berhembus, gue merasa malam itu terasa begitu panjang. Jujur mata ini sudah terasa ingin memejam. Tapi tidak bisa tidur. Pernah mengalami hal serupa?

“Bang, udah tidur belum?” tanya gue ke Kevin. Sial, gue kebelet kencing. Lagi. Gue melihat jam di hp. Masih pukul 22.42.

Kevin hanya bergumam.

“Temen gue yuk, kebelet kencing, nih.”

“baik lu bocor apa gimana, sih?”

“Serius, Bang. Temenin gue.”

Kevin menggeram.

“Apa gue pipis di botol aja?”

Kevin berdecak sebal. “Jangan! Mending lu pipis deket tenda aja sana! Gue mau tidur.”

Dengan sebal gue bangkit dari tidur dan menyalakan senter.

Ketika membuka tenda, baru dibuka setengah, niat buang air kecil gue sirna. Dari tempat gue duduk, gue melihat sebuah kain putih, seperti rok panjang, melayang di depan pintu tenda gue. Gue menelan ludah mendapati ‘rok’ tersebut melayang ke kanan dan kiri.

Tanpa sempat gue tutup lagi, gue segera berbaring di sebelah Kevin. Menutup diri rapat-rapat di dalam sleeping bag. Kevin bergeming.

Gue berusaha menenangkan diri di tengah takut yang luar biasa. Tadi itu apa? Tadi itu apa? 

Belum selesai dengan ‘itu’, gue merasa ada seseorang yang mengelilingi tenda. Tidak terdengar langkah kaki, tidak tampak bayangan, namun gue benar-benar merasa ada sesuatu yang mengawasi gue dari sekeliling tenda. Lama sekali. Puncaknya, muncul suara tertawa perempuan. Melengking, nyaring, menakutkan, dan bersahut-sahutan.

Padahal seluruh pendaki yang bermalam di Pos 2 adalah cowok.

Lantas itu suara siapa?

Gue menutup telinga rapat-rapat. Tidak mau mendengar suara tersebut. Gue baca doa sebisa-bisanya.

Suara tawa itu perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya menghilang.

Hening.

Jantung gue berdegup kencang. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Sebelum memutuskan untuk tidur, gue ingat pintu tenda masih setengah terbuka. Bahaya jika tidak ditutup.

Baru saja menoleh, diri ini dikejutkan oleh kemunculan sesosok wajah Pucat dengan mata melotot di balik pintu tenda.

Gue mengurungkan diri, memejamkan mata, memeluk Kevin dari belakang, dan akhirnya tertidur akibat kelelahan.

Esok paginya, tidak gue ceritakan apa yang gue lihat tadi malam. Celetukan gue tentang ketemu setan gunung telah terwujud. Dan gue enggan mengulang kejadian yang sama. Gara-gara itu gue jadi lebih pendiam esok paginya.

Kevin yang melihat perubahan perilaku temannya, bertanya, “Lu kenapa?”

Gue hanya menggeleng. “Nggak apa-apa. Dingin banget, anjay!” balas gue, asal. “Eh, Bang, ntar malem kita nggak nginep di sini lagi, kan?”

Kevin melihat gue dengan aneh kemudian menggeleng. Syukurlah.

Pendakian kami menuju puncak gunung M dilakukan bersama para pendaki lain. Sepanjang perjalanan yang cukup memakan banyak tenaga itu terbayar saat kaki kami menginjak tanah paling tinggi di gunung ini.

Perjalanan menuruni gunung tidak ada masalah atau kejadian apapun. Semua berjalan lancar. Malah lebih menyenangkan ketimbang pas berangkat. Semua orang saling menghibur sepanjang perjalanan hingga akhirnya kami tiba di basecamp dan berpisah di sana.

Sembari menunggu jemputan, Kevin bertanya. “Lu bener nggak apa-apa? Kok pendiem dari pagi. Sehat, kan?”

“Sehat. Gue nggak kenapa-napa, kok, Bang. Cuman…”

“Gue tahu, kok,” potongnya. “Makanya Bro, jangan suka ngomong sembarangan. Apalagi di gunung. Kualat, kan, lu?”



Cerpen oleh MukamuKaos


Based on (censored) experience

Diubah oleh mukamukaos 24-09-2019 14:28
sebelahblogAvatar border
zafinsyurgaAvatar border
saphirazahra535Avatar border
saphirazahra535 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
4.3K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan