Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amnessterzAvatar border
TS
amnessterz
Tersesat Dalam Kabut Gunung Bromo


Cerita ini berawal dari suatu hari di saat kami menjalankan kegiatan KKN di sebuah desa di Kabupaten Malang (bukan di desa penari tapi). Sebelum pulang kembali ke kota, kami dan 2 kelompok lain sepakat untuk membuat sebuah perjalanan wisata sebagai kenang-kenangan.


Beberapa orang perwakilan kelompok lain berkumpul di rumah tempat kelompok kami menginap untuk membahas perjalanan yang akan dilakukan esok hari. Dalam rapat kecil itu akhirnya kami sepakat untuk menuju ke Gunung Bromo karena dianggap cukup terjangkau jaraknya.


Niat awalnya sih pengen kaya gini, naik motor sampe kaki Gunung Bromo
sumber: monkeymotoblog


Hari minggu pun tiba, dan sesuai yang telah kami sepakati, pagi itu kami bersiap-siap berangkat dengan menggunakan motor berboncengan, dua orang per motor. Kami sengaja tidak berangkat tengah malam untuk memburu matahari terbit karena diantara kami tidak ada yang tahu betul bagaimana medan perjalanan yang harus kami lewati menuju kesana.

Namun keberangkatan kami pagi itu ternyata harus diwarnai dengan sebuah cekcok yang cukup panas. Adalah Nuni, salah satu cewek dalam kelompok ku yang tiba-tiba melotot seperti orang kesurupan, dan langsung menyembur api amarah ke arahku.
“ Apa maksudnya ini, aku naik apa kesana nya!”
“ Apa nya yang gimana sih?” Tanyaku dengan heran.
“ Kalo kamu boncengan dengan Paijo, lalu aku sama siapa!” Kata Nuni sambil melotot seolah hendak mencekik ku.
“ Lho emang semalam kamu janji berangkat dengan siapa?” Aku berusaha selow.

Nuni dengan mata nya yang masih melotot kemudian masuk rumah dan membawa Wita bersamanya untuk memelototi aku rame-rame.

“ Oi, kalian tahu kan motornya sedang rusak, jadi dia bareng aku.” Paijo sahabat ku datang membelaku.
“ Tapi Jo, kalo dia engga bawa motornya, maka kita akan kurang orang!” Balas Nuni.
“ Udahlah, engga usah di perpanjang, kalian emangnya mau, kalo nanti harus dorong motor mogok?” Paijo dengan gayanya yang selow berusaha menurunkan emosi Nuni.


Tidak lama kemudian Paijo masuk rumah dan mengambil kunci kontak motorku dan melemparnya ke hadapan Nuni dan Wita.
“ Nih kalo engga percaya, bawa tuh motor, kalo nanti sampe gunung mogok, jangan protes!” Paijo dengan nada serius mengancam.
“ Jo, kalo mereka nekat bawa motorku gimana ini?” Aku berbisik ke Paijo yang tanpa ijin telah mengambil kunci kontak ku. Paijo tidak menjawab.
“ Ya udah, aku engga jadi ikut!” Kata Nuni lagi sambil mengabaikan kunci kontak yang tergeletak di hadapan nya.


Nuni tidak tahu bahwa alasan aku berboncengan dengan Paijo sebenarnya bukan karena motorku rusak, tapi aku dan Paijo sepakat untuk  bergantian membawa motor bila salah satu merasa lelah. Sedangkan bila membonceng cewek, pasti naik dan turun gunung, selalu cowok yang disuruh bawa motornya.

“Ya udah, aku panggil cowo ku aja.” Tiba-tiba Wita asal memberi usul.
“ Ntar kamu boncengan ama si Fauzi, biar aku boncengan sama cowo ku.” Lanjut Wita.
Nuni akhirnya setuju bila harus boncengan dengan Fauzi, yang penting bisa ikutan berangkat. Temanku si Fauzi yang awalnya harus memboncengkan Wita juga tidak menolak, karena takut bila harus melihat mata Nuni yang melotot seperti kejadian yang barusan ku alami.

Wita dengan riang menelpon sang pacar yang memintanya untuk segera datang dan berpartisipasi dalam wisata kali ini. Namun keputusan yang diambil Wita rupanya mendapat ketidaksetujuan dari Paijo dan beberapa anggota kelompok lain.
“Wit, sebenernya aku engga setuju lho kalo kamu boncengan dengan pacarmu. Bukan bermaksud apa-apa, tapi tolong bisa engga sepanjang jalan sampe tujuan kamu engga mesra-mesra-an.” Kata Paijo agak sedikit keras.
“ Kenapa emangnya Jo, kamu iri ya? Salah sendiri engga bawa cewe.”

“ Bukan gitu Wit, kita pergi ke daerah yang belum kita kenal, jadi sebaiknya jaga sikap dan sopan santun.” Paijo berusaha menutup perdebatan.
Wita pun terlihat cuek dan tidak sedikit pun menggubris usul Paijo.


Tidak lama kemudian, pacar Wita pun datang, seorang pemuda pendiam yang tinggalnya tidak jauh dari desa kami menginap. Sebenarnya kami sering khawatir dengan tingkah laku Wita dan pacarnya ini. Meski tidak sampai berbuat yang tidak-tidak (kami tidak tahu persis juga sih), tapi Wita tidak segan-segan sering memamerkan kemesraan dihadapan kami.


Akhirnya kami berangkat dan bergabung dengan rombongan lain yang telah menunggu sambil marah-marah karena ulah kelompok kami yang dianggap tidak konsisten. Dari kelompok kami yang turut serta adalah, Aku dan Paijo, Nuni dan Fauzi, dan Wita dengan pacarnya, kami berjalan beriringan sambil sesekali kurasakan bulu kuduk ku merinding bila Nuni melihat ke arahku.
---------------------------------


Rute yang kami rencanakan untuk dilewati adalah Poncokusumo - Coban Pelangi - Desa Ngadas dan berujung di kaki Gunung Bromo. Di beberapa titik, kami berhenti untuk istirahat dan foto- foto sekedar membuat kenang-kenangan. Kemudian setelah selesai berfoto kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, cuaca cerah dan sangat bersahabat.


Dari sini masalah mulai muncul. Sesuai dugaan Paijo, Wita dan pacarnya tidak segan-segan untuk berhenti dimanapun mereka suka, dan berpose mesra untuk berfoto. Satu-dua kali mereka tertinggal, Paijo dan aku masih dengan sabar menunggu supaya mereka tidak tersesat. Bahkan ketua rombongan pun sebenarnya sudah sering menegur mereka supaya tidak memisahkan diri dari rombongan.


sumber: amazingmalang


Sesampainya di Desa Ngadas, aku dan Paijo membantu  ketua rombongan untuk mengontrol dan menunggu peserta lain yang jalan nya lebih lambat. Ketika seluruh peserta sudah mulai terlihat, kami meneruskan perjalanan. Saat itu kira-kira jam 10 pagi kami beranjak pergi dari Desa Ngadas untuk menuju ke kaki Gunung Bromo. Namun di tengah jalan, kabut tebal mulai turun menyelimuti daerah sepanjang jalan. Semakin siang, semakin mendekati daerah Gunung Bromo, kabut semakin tebal, jalanan mulai tidak terlihat. Kami hanya bisa saling memandang ke arah lampu rem motor lain di depan. Dan ketua rombongan memutuskan untuk berjalan terus menembus kabut.


Celaka nya, kami tidak membawa satupun orang yang berpengalaman menembus daerah berkabut dan memahami daerah Gunung Bromo. Dengan kabut yang sangat tebal, pandangan menjadi sangat terbatas. Yang bisa kami lihat hanyalah permukaan jalan yang tepat berada di bawah ban sepeda motor kami dan lampu rem dari sepeda motor yang berada persis di depan kami. Di tengah kebingungan itu, kami memutuskan untuk terus berjalan mengikuti jalanan berbatu hingga kabut mulai terasa menipis. Disitulah kemudian kami merasa bahwa kami telah melakukan kesalahan. Tempat dimana akhirnya tidak berkabut, ternyata berada di daerah Danau Ranu Pane, lokasi yang mengarah menuju Gunung Semeru, yang artinya kami telah berjalan ke arah yang berlawanan dengan Gunung Bromo.


sumber: greeners

Kami yang telah sampai disini merasa lelah dan bingung, apalagi setelah perjalanan menembus kabut yang menguras energi itu. Pada waktu itu belum ada yang memiliki smartphone dengan fitur GPS. Tidak ada pilihan lain selain kami harus kembali ke arah jalan kami datang, sambil berharap kabut sudah hilang sehingga perjalanan bisa dilakukan dengan mudah.


Di tengah kondisi itu, Tiba-tiba Nuni berteriak. 
“Wita hilang, Wita hilang.”  
“Kan aku udah bilang, jangan berpisah dari rombongan!” Paijo menyela.
“Tadi ada, tadi dia berjalan di sebelahku.”
Kejadian ini terdengar oleh ketua rombongan yang kemudian berinisiatif segera berangkat menyusuri kembali jalan yang tadi kami lewati. Rombongan kami pun kembali memasuki kabut tebal.


Setelah berusaha kembali menyusuri jalanan berkabut tebal itu, kami menemukan sebuah pos yang kami duga adalah sebuah tanda dari persimpangan jalan menuju kawasan kaki Gunung Bromo. Di situ kami baru berusaha mencari sinyal untuk menelpon Wita, karena sepanjang jalan dari Danau Ranu Pane kami tidak bisa mendapatkan sinyal. Nuni kemudian sesekali berhasil menyambung ke telepon seluler milik Wita, namun dengan suara yang terputus-putus, dia hanya bisa mendengar suara Wita yang mengatakan.
“Kami masih berjalan.....”
“Kami sedang berhenti....”
“Kalian dimana....”
“Kami berada di sekitar......”
“Kami terus berjalan ke ......”


Waktu itu belum ada papan petunjuk ini dan pemandangannya tidak sejernih ini
sumber: dakatour

Setelah itu sambungan telepon pun sama sekali tidak bisa dilanjutkan. Kami masih berusaha menunggu Wita dan pacarnya itu dan berharap mereka belum sampai di titik pos ini. Berbagai perdebatan pun bermunculan, dari menduga-duga dimana keberadaan Wita, sampai ada juga yang mengusulkan untuk mencoba menjelajahi jalan di persimpangan pos itu. Saat itu pukul 12 atau 13 siang, anehnya bukannya menipis atau berkurang, kabut malah semakin tebal dan membuat suasana menjadi semakin gelap dan dingin.


Di sebelah pos itu kami memang merasa melihat sebuah jalan, namun karena area sekitar kami tertutup kabut tebal dan semak yang tinggi, kami tidak bisa melihat kemana jalan itu berujung atau mengarah. Ketua rombongan tidak ingin mengambil resiko dengan kehilangan anggota lagi ke daerah yang tidak kami ketahui, tersesat di tengah hutan atau masuk ke jurang. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengirim siapapun untuk memeriksa keberadaan Wita di jalan tersebut.


Ketua rombongan memutuskan untuk pulang kembali ke desa kami menginap. Dengan sebuah kesimpulan bahwa, melalui sambungan telepon terakhir tadi suara Wita menandakan bahwa dia masih bisa menjawab, jadi kami merasa Wita baik-baik saja dan hanya tersesat ke sebuah daerah lain.

Dengan perasaan takut dan cemas, kami pun memutuskan untuk melanjutkan mencari Wita dengan menyusuri jalanan berkabut hingga keluar dari daerah pegunungan. Dan Wita pun tetap tidak bisa ditemukan.


Kami kemudian sepakat untuk menunggu kabar dari Wita hingga senin pagi. Bila tidak ada kabar, kami mungkin akan membuat laporan ke polisi. Malam itu kami tidak bisa tidur, menunggu kabar dari Wita.
---------------------------------


Sekira jam 3 pagi, tiba-tiba pintu di gedor, Wita dan pacarnya muncul.
“Kalian ini gimana sih, katanya wisata ke Gunung Bromo, kok kita engga ketemu sih?” Kata Wita.
“Jadi kamu sampe Bromo, Wit?” Tanya Nuni penasaran.
“Yaiyalah! Emang kemana lagi!”

Dan akhirnya, kecemasan semalam itu berhasil terobati dengan kembalinya Wita.

Menurut Wita, dia dan pacarnya selalu berkendara mengikuti rombongan, namun kehilangan jejak di jalanan berkabut hingga mereka tiba di kaki Gunung Bromo. Kemudian karena mereka juga merasa takut untuk kembali melewati jalanan berkabut, mereka memutuskan untuk pulang melewati jalan sebelah utara yaitu melewati Pasuruan, itulah yang akhirnya membuat mereka kembali hingga tengah pagi. 

Kejadian ini membuat kami tertawa, karena kami berangkat dalam keadaan berantem, kemudian tersesat di dalam kabut, lalu panik karena kehilangan Wita, pada akhirnya kami (kecuali Wita dan pacarnya) malah gagal berwisata ke Gunung Bromo. Kami tidak pernah sampai ke Gunung Bromo, hanya berputar-putar di dalam kabut tebal di daerah antara Desa Ngadas dan Ranu Pane.


Hari itu pun akhirnya harus ditutup dengan celetukan Paijo.
“Wit, kamu kok ga sekalian aja sih nginap di hotel!”
“Lha emang kenapa, Jo?” Sahut Wita.
“Biar kalo kami udah terlanjur lapor polisi, kalian bisa digrebek pas lagi berduaan di kamar hotel!” Ujar Paijo.
Lengan Paijo pun akhirnya harus membiru akibat cubitan maut dari Wita.



sumber cerita:
based on true story


sumber gambar:
Monkeymotoblog
Amazingmalang
Greeners
Dakatour
sebelahblogAvatar border
zafinsyurgaAvatar border
deadsec09Avatar border
deadsec09 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
849
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan