TS
nyunwie
Pendidikan Itu Tidak Wajib!
"Setiap orang adalah jenius. Tapi kalau kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka selama hidupnya dia akan mempercayai bahwa dia bodoh". - Albert Einstein
Quote:
Bicara tentang pendidikan, terkhusus pendidikan di Indonesia tentu bukan hal yang mudah. Karena jika kita mulai berbicara tentang pendidikan, kita tidak akan bisa hanya membicarakan tentang pendidikan itu saja. Seperti halnya kita membicarakan tentang bahgaimana orang bisa bergerak, kita tidak akan bisa mengatakan kalau orang bergerak hanya karena adanya gaya yang membuat orang itu bergerak. Bagaimana jika orang tersebut tidak ingin bergerak? Atau seseorang bergerak karena keterpaksaan; menerima dorongan yang tidak diinginkan? Kurang lebih seperti itulah perumpamaan jika kita sudah membahas tentang pendidikan, wabilkhusus pendidikan di Negeri kita tercinta ini. Ini sesuatu yang kompleks, pikir saya pribadi.
Menurut saya pribadi, pendidikan bukan suatu kewajiban. Tapi kebutuhan! Maksud saya, kita tidak wajib mengecap pendidikan. menjalani atau tidak, terserah saja. Tidak ada hukuman jika kamu tidak menempuh pendidikan sekali pun. Karena itu, menurut saya pendidikan bukan kewajiban, melainkan kebutuhan. Seperti halnya makan adalah kebutuhan, bayangkan saja jika seumur hidup, kamu tidak memenuhi kebutuhanmu? Laper Bosque
Namun timbul pertanyaan yang menggelitik dalam benak saya pribadi: "Di Negeri ini, sudahkah kita memenuhi kebutuhan secara baik dan sesuai dengan keinginan?"
Seperti saat kamu membutuhkan protein, kamu hanya butuh berjalan ke warung untuk membeli telur, atau ke pasar untuk membeli daging, atau kemana pun tujuanmu yang pada akhirnya membawa kamu ke tempat di mana kamu bisa mendapatkan sumber protein lain. Tanpa perlu mencari-cari bahan kimian untuk membuat protein sintesis dan menyuktiknya ke dalam tubuhmu.
Atau… Seperti kamu yang bercita-cita menjadi seorang Pianist kamu hanya perlu fokus pada tuts nada-nadamu dan panca indramu tanpa perlu kekayaan nadamu terkontaminasi oleh kebingunganmu mencari hasil penjumlahan jika x ditambah dengan y yang dikurung dalam akar berpangkat.
Saya tidak mengatakan ada suatu mata pelajaran tidak penting atau tidak berguna. Namun seperti kata Mbah Einstein yang sudah saya kutip di atas. "Setiap orang adalah jenius", namun tidak ada orang yang jenius dalam segala hal. Karena itu tujuan pendidikan seharusnya menurut saya, menjadi jalan untuk kamu menuju ke titik di mana kamu menjadi jenius sesuai tujuan keinginan kamu.
Lalu pertanyaan saya berkembang: "Sudahkah penyelenggara negara ini menyediakan jalan untuk aku, kamu, dan kita agar bersama kita bisa menempuh jalan itu menuju tujuan aku, kamu, dan kita yang pasti berbeda; aku ingin menjadi seorang ahli nuklir, kamu ingin menjadi pengusaha yang berpendatan 80 juta setiap 30 menit (terserah saja)".
Saya pun tidak mengatakan pemerintah Indonesia kurang concerndalam mengurusi pendidikan untuk warganya. Tidak! Pemerintah kita jelas menaruh perhatian khusus untuk pendidikan warganya. Terbukti anggaran dana untuk pendidikan bukanlah sesuatu angka yang kecil. Jumlah itu juga sudah meningkat jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Itu menandakan kalau Pemerintah Indonesia serius, dalam mewujudkan tujuan Negara yang tertulis dalam pembukaan UUD dasar 1945: "Mencerdaskan kehidupan Bangsa".
Namun, menurut saya pribadi. Keseriusan bukanlah hal yang utama. Kamu serius menaruh perhatian pada seorang lawan jenis, kamu ingin menaklukan hatinya tapi caramu menaklukan hatinya dengan cara kamu berbicara; mengatakan pada dia kamu serius dengan tingkah kamu yang cengangas-cengenges. Atau kamu serius dalam membidik seekor gajah namun kamu menembaknya dengan pistol beramunisikan air. What the hell.
Sebuah keseriusan yang ditunjukan dengan cara yang salah tidak akan mendapatkan hasil apa-apa selain membuang-buang waktu menjadi sia-sia. Ingat! Indonesia bukan Konoha.
Lagi-lagi saya tidak mengatakan keseriusan Pemerintah kita ditunjukan dengan cara yang salah. Tidak! Nyatanya berkali-kali sistem pendidikan di Negeri kita tercinta ini terus berkembang. Entah sudah berapa kali kurikulum berganti. Demi menemukan metode yang cocok diterapkan untuk kurang lebih 50juta pelajar yang ada di Indonesia (Data Kemendikbud).
Namun, dari beberapa kali pergantian dalam penerapan kurikulum, ada kah yang benar-benar tepat?
Pertanyaan saya jangan dulu dijawab. Saya sedikit memberi tahumu dulu latar belakang saya. Saya adalah anak yang tumbuh belajar saat masih kanan-kanak dalam pendidikan tingkat dasar dalam kurikulum 94 yang disuplementasi kurikulum 99, belum selesai pendidikanku di sendimen dasar, aku beralih sistem pendidikan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beralih ke sendimen di atasnya, saya kembali menjalani sistem pendidikan kurikulim 99. Hanya bertahan tak sampai satu putaran bumi, saya kembali menjalani sistem pendidikan kurikulum berbasis kompetensi, atau kurikulum 2004. Lagi dan lagi, belum selesai saya menjalani pendidikan di tingkat menengah pertama. Saya kembali berganti sistem pendidikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kerennya saat itu saya menyebut kurikulum "KATE SIAPE".Hingga akhirnya di tingkat akhir saya menjalani pendidikan sebagai siswa. Saya juga harus menghapi kenyataan yang sama, berganti kurikulum sebelum di tengah perjalanannya.
Ya… Jika kamu lulus SMA di tahun 2010 pasti kamu merasakan hal yang sama dengan saya. Terlebih jika kamu bersekolah di sekolah yang berembel "percontohan", yang pada kenyataanya kita adalah kelinci percobaan. Lalu jawablah pertanyaan saya (Untuk kamu generasi setelah KTSP juga silahkan jawab pertanyaan saya). Sudah tepatkah sistem pendidikan negeri ini?
Saya pribadi menilai sistem pendidikan kita (terdahulu) hingga saat ini tidaklah salah, tidak juga benar, tidak tepat, tidak juga melenceng loncat.
Saya memiliki opini yang saya tarik dari pengalaman saya menempuh pendidikan dari dulu saya masih menjadi siswa, MAHA-siswa, hingga kini menjadi murid dunia. Kalau sistem pendidikan di Indonesia hanyalah menjadikan kedudukan pendidikan di Negeri ini adalah sebuah kewajiban saja. Dan hukum kewajiban adalah: Dilakukan harus, jika tidak dilakukan aku, kamu, dan kita yang tidak melakukannya akan mendapatkan hukuman (dosa).
SEHINGGA… banyak orang yang akhirnya menempuh pendidikan selama ini hanya untuk melunturkan kewajiban saja; syarat agar tidak mendapat hukuman. Padahal, menurutku (aku yakin kamu juga) pendidikan adalah sebuah kebutuhan; Kita ingin menjadi Pianist yang kita butuh adalah bagaimana kita terdidik memainkan piano bukan menjalani kewajiban sebagai seorang Pematri.
Memang selalu ada korelasi dari setiap mata pelajaran. Seorang Pianist pasti tidak akan bisa menjadi seorang Pianist tanpa tahu cara kerja bunyi. Tapi seorang Pianist tetap seorang Pianist walau dia tidak mengerti jumlah besaran nilai angka skala desibel yang bisa memecahkan sebuah gelas kaca.
Oke, sampai di sini saya harap kamu sedang membaca thread saya yang membosankan ini ditemani dengan minuman kesukaanmu dan dengan alunan musik-musik favoritmu.
Kembali kepada mahzabpendidikan yang dianut kementrian terkait dalam penerapan sistem pendidikan di Negeri kita ini yang menurut opini saya hanya akan berakhir pada proses PENYERAGAMAN INTELEGENSI.
"Ikan dipaksa memanjat, burung dipaksa menyelam". Itulah kenyataan yang terjadi yang saya lihat dari kacamata saya sendiri. Kamu boleh setuju atau tidak; kita tidak sedang berdebat.
Logika sederhananya seperti ini: kamu ahli dalam bidang olahraga, namun kamu adalah sampah dalam bidang Bahasa. Nilai olah fisikmu melesat tinggi. Sedangkan nilai Bahasamu, 6 saja sudah seperti mimpi. Lantas kamu tidak bisa melanjutkan pendidikanmu ketingkat selanjutnya hanya karena satu mata pelajaran yang tidak kamu kuasai. Beruntung jika mentalmu kuat hingga kamu tidak membunuh dirimu. Tapi bagaiman jika mental kamu tidak sekuat batu karang? Pasti lah kamu berakhir di pojokan ruangan.
Sadar atau tidak itulah yang terjadi dalam sistem pendidikan kita dari dahulu hingga kini. Tapi saya sadar. Orang-orang yang berada di instansi yang terkait soal ini pasti lebih mengerti dibanding saya yang hanya mantan "Kelinci percobaan". Itulah kenapa ada yang namanya SEKOLAH KEJURUAN.
Mari berhenti sejenak dari sistem pendidikan, kita beralih pada kalimat yang baru saja saya ucapkan; SEKOLAH KEJURUAN.
Namun… lagi-lagi pertanyaan saya berkembang. "Apakah tujuan sekolah kejuruan diselenggarakan untuk menampung minat dan bakat peserta didik yang ada di Negeri ini? Atau hanya untuk menjawab kebutuhan golongan pekerja tingkat buruh dan karyawan bawahan?"
Maaf-maaf saya harus mengatakan, pada kenyataanya sekolah kejuruan diselenggarakan hanya untuk menjawab tantangan ekonomi kala itu; di saat banyaknya permintaan sumber daya manusia dari para pelaku-pelaku bisnis yang kala itu baru mengembangkan sayapnya di negeri ini; di umur-umur remaja Bangsa ini. Hingga akhirnya muncul paradigma kalau sekolah kejuruan hanya untuk mereka (siswa-siswi) yang berorientasi bekerja setelah menyelesaikan kewajiban mereka; sekolah.
Tapi dewasa ini, hal itu justru menjadi blunder sendiri. Lagi-lagi saya mengatakan kalau ini hanya opini saya sebagai murid dunia. Kamu dan saya harus melihat realitanya, jumlah ketersediaan lapangan pekerjaan dengan jumlah lulusan baru sekolah kejuruan tidaklah sebanding saat ini.
Itu baru saja kita bahas dari tujuan sekolah kejuruan. Dalam pelaksanaanya sekolah kejuruan juga belum optimal untuk menjawab tantangan ekonomi Negeri ini. Apalagi untuk menampung minat dan bakat ana-anak usia sekolah. Masih jauh dari harap.
Dalam pelaksanaanya sekolah kejuruan sama sekali tidak memenuhi ekspetasi dari tujuan diselenggarakanya; Memberikan keahlian dan pengalaman sesuai jurusan yang ditempuh pesertanya.
Mari saya ajak kamu bermain ungkap kejujuran hati. Kamu, kamu, kamu, yang di sana yang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan akuntansi, tunjuk tangan! Coba jelaskan pada saya apa yang kalian pelajari selama 3 tahun kalian menempuh pendidikan jurusan akuntansi. Kas kecil? Jurnal keuangan? Neraca perdagangan? Penyusunan laporan keuangan menggunakan tabel sederhana 3 kolom? Atau penjurnalan aktifitas dagang menggunakan metode First In First Out atau Last In First Out? Jika iya, seberapa mengerti kamu sekarang? Sudah sedalam apa kamu menjabat dalam divisi keuangan sebuah perusahaan?
Ayo siapa yang berani jujur kalau selama 3 tahun menempuh pendidikan SMK akuntansi hanya di perkenalkan pada kulit kuar ilmu akuntansi saja, tanpa bisa membedahnya lebih dalam, bahkan tanpa bisa menyelesaikan permasalahan yang merobek kulit luarnya saja. Atau bahkan siapa yang berani jujur kalau selama menjalankan program praktik kerja, kamu hanya menjadi tukang photo copy?
Atau saya ingin bertanya pada kamu, kamu, kamu dan kamu yang menempuh sekolah kejuruan teknik penerbangan. Kamu berani jujur kalau selama 3 tahun kamu hanya belajar bagaimana mesin berjenis piston dengan propeller besar, sedangkan rata-rata pesawat sekarang sudah memakai mesin GTE (Gas Turbine Engine). Atau kamu belajar sistem avionic pesawat dengan model-model angka-angka berputar sedangkan pesawar modern sudah menggunakan sistem led.
Lihat betapa hidupku sia-sia mempelajari sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah aku terapkan ilmunya; yang telah aku pelajari.
Jika masih menganggap opiniku tak berdasar, kalian bisa boleh datang ke salah satu restoran Jepang yang ada di Mall Kelapa Gading. Tanya pada kepala dapur di sana, apa dia seorang yang pernah mengecap pendidikan masak-memasak? Tidak! Dia adalah seseorang yang mengecap pendidikan Akuntansi semasa sekolahnya dan kini ilmu yang dipelajarinya hanya digunakan untuk kelakarnya memasukan wortel-wortel dengan metode First Cut First Cook.
Seperti yang saya tuliskan di awal, kalau pendidikan adalah suatu hal yang kompleks. Soal pendidikan tidak bisa dibahas tanpa membahas unsur kehidupan lainnya. Karena menurut saya pribadi pendidikan adalah suatu jembatan antara ketidak beradaan dan keeksistensian; sebuah penghubung antara mimpi dan kenyataan; sebuah jalan menanjak yang menuju pada suatu puncak hierarki yang disebut kehidupan.
Dari itu saya berpendapat kalau pendidikan harusnya tidak di/terposisikan menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalani; ada orang yang memiliki bakat untuk tidak bermimpi. Pendidikan harusnya diletakan pada nilai yang sebanding atau bahkan lebih dari sebuah kebutuhan. Dan berbicara kebutuhan, setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda yang pastinya dengan menyeragamkan dan menstandarisasi pemenuhan kebutuhan adalah cara yang kurang tepat jika saya, kamu, dan kita ingin di atas tanah bumi Indonesia ini terlahir manusia-manusia yang mampu meraih bintang terjauh dari alam semesta bimaksati kita.
Sekian thread membosankan dari saya, jika ada salah-salah kata mohon maaf. Jika ada opini saya yang kurang tepat mohon dianggap angin lalu karena saya hanyalah manusia yang demi apapun tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bangku sekolah.
Menurut saya pribadi, pendidikan bukan suatu kewajiban. Tapi kebutuhan! Maksud saya, kita tidak wajib mengecap pendidikan. menjalani atau tidak, terserah saja. Tidak ada hukuman jika kamu tidak menempuh pendidikan sekali pun. Karena itu, menurut saya pendidikan bukan kewajiban, melainkan kebutuhan. Seperti halnya makan adalah kebutuhan, bayangkan saja jika seumur hidup, kamu tidak memenuhi kebutuhanmu? Laper Bosque
Namun timbul pertanyaan yang menggelitik dalam benak saya pribadi: "Di Negeri ini, sudahkah kita memenuhi kebutuhan secara baik dan sesuai dengan keinginan?"
Seperti saat kamu membutuhkan protein, kamu hanya butuh berjalan ke warung untuk membeli telur, atau ke pasar untuk membeli daging, atau kemana pun tujuanmu yang pada akhirnya membawa kamu ke tempat di mana kamu bisa mendapatkan sumber protein lain. Tanpa perlu mencari-cari bahan kimian untuk membuat protein sintesis dan menyuktiknya ke dalam tubuhmu.
Atau… Seperti kamu yang bercita-cita menjadi seorang Pianist kamu hanya perlu fokus pada tuts nada-nadamu dan panca indramu tanpa perlu kekayaan nadamu terkontaminasi oleh kebingunganmu mencari hasil penjumlahan jika x ditambah dengan y yang dikurung dalam akar berpangkat.
Saya tidak mengatakan ada suatu mata pelajaran tidak penting atau tidak berguna. Namun seperti kata Mbah Einstein yang sudah saya kutip di atas. "Setiap orang adalah jenius", namun tidak ada orang yang jenius dalam segala hal. Karena itu tujuan pendidikan seharusnya menurut saya, menjadi jalan untuk kamu menuju ke titik di mana kamu menjadi jenius sesuai tujuan keinginan kamu.
Lalu pertanyaan saya berkembang: "Sudahkah penyelenggara negara ini menyediakan jalan untuk aku, kamu, dan kita agar bersama kita bisa menempuh jalan itu menuju tujuan aku, kamu, dan kita yang pasti berbeda; aku ingin menjadi seorang ahli nuklir, kamu ingin menjadi pengusaha yang berpendatan 80 juta setiap 30 menit (terserah saja)".
Saya pun tidak mengatakan pemerintah Indonesia kurang concerndalam mengurusi pendidikan untuk warganya. Tidak! Pemerintah kita jelas menaruh perhatian khusus untuk pendidikan warganya. Terbukti anggaran dana untuk pendidikan bukanlah sesuatu angka yang kecil. Jumlah itu juga sudah meningkat jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Itu menandakan kalau Pemerintah Indonesia serius, dalam mewujudkan tujuan Negara yang tertulis dalam pembukaan UUD dasar 1945: "Mencerdaskan kehidupan Bangsa".
Namun, menurut saya pribadi. Keseriusan bukanlah hal yang utama. Kamu serius menaruh perhatian pada seorang lawan jenis, kamu ingin menaklukan hatinya tapi caramu menaklukan hatinya dengan cara kamu berbicara; mengatakan pada dia kamu serius dengan tingkah kamu yang cengangas-cengenges. Atau kamu serius dalam membidik seekor gajah namun kamu menembaknya dengan pistol beramunisikan air. What the hell.
Sebuah keseriusan yang ditunjukan dengan cara yang salah tidak akan mendapatkan hasil apa-apa selain membuang-buang waktu menjadi sia-sia. Ingat! Indonesia bukan Konoha.
Lagi-lagi saya tidak mengatakan keseriusan Pemerintah kita ditunjukan dengan cara yang salah. Tidak! Nyatanya berkali-kali sistem pendidikan di Negeri kita tercinta ini terus berkembang. Entah sudah berapa kali kurikulum berganti. Demi menemukan metode yang cocok diterapkan untuk kurang lebih 50juta pelajar yang ada di Indonesia (Data Kemendikbud).
Namun, dari beberapa kali pergantian dalam penerapan kurikulum, ada kah yang benar-benar tepat?
Pertanyaan saya jangan dulu dijawab. Saya sedikit memberi tahumu dulu latar belakang saya. Saya adalah anak yang tumbuh belajar saat masih kanan-kanak dalam pendidikan tingkat dasar dalam kurikulum 94 yang disuplementasi kurikulum 99, belum selesai pendidikanku di sendimen dasar, aku beralih sistem pendidikan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beralih ke sendimen di atasnya, saya kembali menjalani sistem pendidikan kurikulim 99. Hanya bertahan tak sampai satu putaran bumi, saya kembali menjalani sistem pendidikan kurikulum berbasis kompetensi, atau kurikulum 2004. Lagi dan lagi, belum selesai saya menjalani pendidikan di tingkat menengah pertama. Saya kembali berganti sistem pendidikan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kerennya saat itu saya menyebut kurikulum "KATE SIAPE".Hingga akhirnya di tingkat akhir saya menjalani pendidikan sebagai siswa. Saya juga harus menghapi kenyataan yang sama, berganti kurikulum sebelum di tengah perjalanannya.
Ya… Jika kamu lulus SMA di tahun 2010 pasti kamu merasakan hal yang sama dengan saya. Terlebih jika kamu bersekolah di sekolah yang berembel "percontohan", yang pada kenyataanya kita adalah kelinci percobaan. Lalu jawablah pertanyaan saya (Untuk kamu generasi setelah KTSP juga silahkan jawab pertanyaan saya). Sudah tepatkah sistem pendidikan negeri ini?
Saya pribadi menilai sistem pendidikan kita (terdahulu) hingga saat ini tidaklah salah, tidak juga benar, tidak tepat, tidak juga melenceng loncat.
Saya memiliki opini yang saya tarik dari pengalaman saya menempuh pendidikan dari dulu saya masih menjadi siswa, MAHA-siswa, hingga kini menjadi murid dunia. Kalau sistem pendidikan di Indonesia hanyalah menjadikan kedudukan pendidikan di Negeri ini adalah sebuah kewajiban saja. Dan hukum kewajiban adalah: Dilakukan harus, jika tidak dilakukan aku, kamu, dan kita yang tidak melakukannya akan mendapatkan hukuman (dosa).
SEHINGGA… banyak orang yang akhirnya menempuh pendidikan selama ini hanya untuk melunturkan kewajiban saja; syarat agar tidak mendapat hukuman. Padahal, menurutku (aku yakin kamu juga) pendidikan adalah sebuah kebutuhan; Kita ingin menjadi Pianist yang kita butuh adalah bagaimana kita terdidik memainkan piano bukan menjalani kewajiban sebagai seorang Pematri.
Memang selalu ada korelasi dari setiap mata pelajaran. Seorang Pianist pasti tidak akan bisa menjadi seorang Pianist tanpa tahu cara kerja bunyi. Tapi seorang Pianist tetap seorang Pianist walau dia tidak mengerti jumlah besaran nilai angka skala desibel yang bisa memecahkan sebuah gelas kaca.
Oke, sampai di sini saya harap kamu sedang membaca thread saya yang membosankan ini ditemani dengan minuman kesukaanmu dan dengan alunan musik-musik favoritmu.
Kembali kepada mahzabpendidikan yang dianut kementrian terkait dalam penerapan sistem pendidikan di Negeri kita ini yang menurut opini saya hanya akan berakhir pada proses PENYERAGAMAN INTELEGENSI.
"Ikan dipaksa memanjat, burung dipaksa menyelam". Itulah kenyataan yang terjadi yang saya lihat dari kacamata saya sendiri. Kamu boleh setuju atau tidak; kita tidak sedang berdebat.
Logika sederhananya seperti ini: kamu ahli dalam bidang olahraga, namun kamu adalah sampah dalam bidang Bahasa. Nilai olah fisikmu melesat tinggi. Sedangkan nilai Bahasamu, 6 saja sudah seperti mimpi. Lantas kamu tidak bisa melanjutkan pendidikanmu ketingkat selanjutnya hanya karena satu mata pelajaran yang tidak kamu kuasai. Beruntung jika mentalmu kuat hingga kamu tidak membunuh dirimu. Tapi bagaiman jika mental kamu tidak sekuat batu karang? Pasti lah kamu berakhir di pojokan ruangan.
Sadar atau tidak itulah yang terjadi dalam sistem pendidikan kita dari dahulu hingga kini. Tapi saya sadar. Orang-orang yang berada di instansi yang terkait soal ini pasti lebih mengerti dibanding saya yang hanya mantan "Kelinci percobaan". Itulah kenapa ada yang namanya SEKOLAH KEJURUAN.
Mari berhenti sejenak dari sistem pendidikan, kita beralih pada kalimat yang baru saja saya ucapkan; SEKOLAH KEJURUAN.
Namun… lagi-lagi pertanyaan saya berkembang. "Apakah tujuan sekolah kejuruan diselenggarakan untuk menampung minat dan bakat peserta didik yang ada di Negeri ini? Atau hanya untuk menjawab kebutuhan golongan pekerja tingkat buruh dan karyawan bawahan?"
Maaf-maaf saya harus mengatakan, pada kenyataanya sekolah kejuruan diselenggarakan hanya untuk menjawab tantangan ekonomi kala itu; di saat banyaknya permintaan sumber daya manusia dari para pelaku-pelaku bisnis yang kala itu baru mengembangkan sayapnya di negeri ini; di umur-umur remaja Bangsa ini. Hingga akhirnya muncul paradigma kalau sekolah kejuruan hanya untuk mereka (siswa-siswi) yang berorientasi bekerja setelah menyelesaikan kewajiban mereka; sekolah.
Tapi dewasa ini, hal itu justru menjadi blunder sendiri. Lagi-lagi saya mengatakan kalau ini hanya opini saya sebagai murid dunia. Kamu dan saya harus melihat realitanya, jumlah ketersediaan lapangan pekerjaan dengan jumlah lulusan baru sekolah kejuruan tidaklah sebanding saat ini.
Itu baru saja kita bahas dari tujuan sekolah kejuruan. Dalam pelaksanaanya sekolah kejuruan juga belum optimal untuk menjawab tantangan ekonomi Negeri ini. Apalagi untuk menampung minat dan bakat ana-anak usia sekolah. Masih jauh dari harap.
Dalam pelaksanaanya sekolah kejuruan sama sekali tidak memenuhi ekspetasi dari tujuan diselenggarakanya; Memberikan keahlian dan pengalaman sesuai jurusan yang ditempuh pesertanya.
Mari saya ajak kamu bermain ungkap kejujuran hati. Kamu, kamu, kamu, yang di sana yang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan akuntansi, tunjuk tangan! Coba jelaskan pada saya apa yang kalian pelajari selama 3 tahun kalian menempuh pendidikan jurusan akuntansi. Kas kecil? Jurnal keuangan? Neraca perdagangan? Penyusunan laporan keuangan menggunakan tabel sederhana 3 kolom? Atau penjurnalan aktifitas dagang menggunakan metode First In First Out atau Last In First Out? Jika iya, seberapa mengerti kamu sekarang? Sudah sedalam apa kamu menjabat dalam divisi keuangan sebuah perusahaan?
Ayo siapa yang berani jujur kalau selama 3 tahun menempuh pendidikan SMK akuntansi hanya di perkenalkan pada kulit kuar ilmu akuntansi saja, tanpa bisa membedahnya lebih dalam, bahkan tanpa bisa menyelesaikan permasalahan yang merobek kulit luarnya saja. Atau bahkan siapa yang berani jujur kalau selama menjalankan program praktik kerja, kamu hanya menjadi tukang photo copy?
Atau saya ingin bertanya pada kamu, kamu, kamu dan kamu yang menempuh sekolah kejuruan teknik penerbangan. Kamu berani jujur kalau selama 3 tahun kamu hanya belajar bagaimana mesin berjenis piston dengan propeller besar, sedangkan rata-rata pesawat sekarang sudah memakai mesin GTE (Gas Turbine Engine). Atau kamu belajar sistem avionic pesawat dengan model-model angka-angka berputar sedangkan pesawar modern sudah menggunakan sistem led.
Lihat betapa hidupku sia-sia mempelajari sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah aku terapkan ilmunya; yang telah aku pelajari.
Jika masih menganggap opiniku tak berdasar, kalian bisa boleh datang ke salah satu restoran Jepang yang ada di Mall Kelapa Gading. Tanya pada kepala dapur di sana, apa dia seorang yang pernah mengecap pendidikan masak-memasak? Tidak! Dia adalah seseorang yang mengecap pendidikan Akuntansi semasa sekolahnya dan kini ilmu yang dipelajarinya hanya digunakan untuk kelakarnya memasukan wortel-wortel dengan metode First Cut First Cook.
Seperti yang saya tuliskan di awal, kalau pendidikan adalah suatu hal yang kompleks. Soal pendidikan tidak bisa dibahas tanpa membahas unsur kehidupan lainnya. Karena menurut saya pribadi pendidikan adalah suatu jembatan antara ketidak beradaan dan keeksistensian; sebuah penghubung antara mimpi dan kenyataan; sebuah jalan menanjak yang menuju pada suatu puncak hierarki yang disebut kehidupan.
Dari itu saya berpendapat kalau pendidikan harusnya tidak di/terposisikan menjadi sebuah kewajiban yang harus dijalani; ada orang yang memiliki bakat untuk tidak bermimpi. Pendidikan harusnya diletakan pada nilai yang sebanding atau bahkan lebih dari sebuah kebutuhan. Dan berbicara kebutuhan, setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda yang pastinya dengan menyeragamkan dan menstandarisasi pemenuhan kebutuhan adalah cara yang kurang tepat jika saya, kamu, dan kita ingin di atas tanah bumi Indonesia ini terlahir manusia-manusia yang mampu meraih bintang terjauh dari alam semesta bimaksati kita.
Sekian thread membosankan dari saya, jika ada salah-salah kata mohon maaf. Jika ada opini saya yang kurang tepat mohon dianggap angin lalu karena saya hanyalah manusia yang demi apapun tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bangku sekolah.
Jika ada sumur di ladang, boleh lah saya menumpang mandi
Jika ada kuota ini panjang, boleh lah kita ketemu di thread lain lagi
Jika ada kuota ini panjang, boleh lah kita ketemu di thread lain lagi
Salam
Kita Bangsa Indonesia
Sumber: Opini pribadi, Data Kemendikbud
Gambar: ngedit sendiri
sekelumitkecil memberi reputasi
1
764
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan